Perkara Jiwasraya Dinilai Bukan Tindak Pidana Korupsi
Kuasa hukum enam terdakwa korupsi dana investasi PT Asuransi Jiwasraya menilai dakwaan jaksa tak tepat karena kasus tersebut berada di ranah perkara perasuransian dan pasar saham. Kasus itu disebut bukan tindak pidana.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para kuasa hukum terdakwa korupsi pengelolaan investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menilai, dakwaan jaksa dalam kasus tersebut tidak tepat. Sebab, kasus Jiwasraya sejatinya bukan pidana korupsi, melainkan perkara di bidang perasuransian dan pasar modal.
Uang senilai Rp 16,807 triliun yang diklaim jaksa sebagai kerugian negara, menurut para penasihat hukum itu, juga dinilai tak tepat. Sebab, kerugian itu bukan merupakan uang negara yang berasal dari penyertaan modal negara (PMN), melainkan dana nasabah atau pemegang polis dan pihak ketiga.
Selain itu, tidak tepat pula disebut sebagai kerugian. Hal ini karena investasi dalam bentuk saham dan reksa dana tersebut masih dimiliki PT Asuransi Jiwasraya. Saham dan reksa dana tersebut masih memiliki nilai meskipun bergantung pada kondisi pasar modal.
”Perhitungan kerugian negara itu keji karena uang yang dikeluarkan dianggap kerugian PT Asuransi Jiwasraya. Padahal, saham-saham dan unit penyertaan reksa dana tersebut masih dimiliki Asuransi Jiwasraya,” kata Soesilo Aribowo, penasihat hukum terdakwa Direktur PT Maxima Integra Tbk Joko Hartono Tirto dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Perhitungan kerugian negara itu keji karena uang yang dikeluarkan dianggap kerugian PT Asuransi Jiwasraya. Padahal, saham-saham dan unit penyertaan reksa dana tersebut masih dimiliki Asuransi Jiwasraya.
Selain Joko Hartono Tirto dan Heru Hidayat, terdakwa lain dalam perkara tersebut, antara lain, bekas pimpinan PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan, serta Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk Benny Tjokrosaputro. Dari keenam terdakwa, hanya Benny yang juga membacakan eksepsi pribadi.
Para kuasa hukum terdakwa sama-sama menyoroti penggunaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat klien mereka. Menurut mereka, kasus Jiwasraya merupakan ranah perkara perasuransian dan pasar modal seperti diatur di dalam UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Pengenaan pasal korupsi dinilai tidak tepat. Demikian pula dengan pemeriksaan dan penyidikan perkara yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Pasalnya, jika mengacu pada UU Perasuransian, hal itu menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas di sektor keuangan, baik terkait asuransi maupun pasar modal. Dengan demikian, perkara Jiwasraya ini menjadi tidak tepat jika diperiksa dan nantinya diputus oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
”Yang berwenang melakukan penyelidikan di bidang keuangan adalah OJK sebagaimana diatur pada Peraturan OJK,” kata Muchtar Arifin, penasihat hukum Benny Tjokrosaputro.
Pemeriksaan dan penyidikan perkara yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Pasalnya, jika mengacu pada UU Perasuransian, hal itu menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas di sektor keuangan, baik terkait asuransi maupun pasar modal.
Berkaitan dengan hal itu, para penasihat hukum meminta agar majelis hakim membatalkan dakwaan jaksa. Sebelum memberikan putusan sela, majelis hakim memberi kesempatan kepada jaksa untuk menanggapi eksepsi kuasa hukum para terdakwa.
Majelis hakim memberi waktu seminggu bagi jaksa untuk menyiapkan tanggapan. Menurut rencana, sidang akan digelar tujuh hari lagi, yakni Rabu (17/6/2020).