Persatuan Gereja-gereja Indonesia menilai substansi dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila sangat mendasar. Maka, substansinya hendaknya berasal dari sebuah proses demokrasi yang tumbuh dan berkembang di akar rumput.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI mengapresiasi keputusan pemerintah yang memutuskan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila yang diinisiasi oleh DPR. Ke depan, proses perumusan regulasi tersebut diharapkan lebih menyerap aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat.
Ketua Umum PGI Gomar Gultom melalui keterangan tertulis, Rabu (17/6/2020), Jakarta, menyampaikan, sejak awal, mestinya proses perumusan dan diskursus RUU HIP melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sebab, masalah dalam RUU HIP sangat mendasar sehingga seharusnya materi di dalamnya berasal dari sebuah proses demokrasi yang tumbuh dan berkembang di akar rumput.
”Proses legislasi seperti ini harus berakar pada aspirasi rakyat,” ujar Gomar.
Oleh karena itu, Gomar meminta agar DPR menunda pembahasan RUU HIP. Para anggota parlemen diminta terlebih dahulu mempelajari dinamika masyarakat dan menangkap aspirasi masyarakat.
”Kita hindarilah pembahasan yang potensial memicu pertentangan di antara kita karena menyangkut ideologi negara,” tutur Gomar.
Pada Selasa (16/6/2020), pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly telah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP. Selanjutnya, pemerintah meminta DPR sebagai inisiator RUU HIP untuk menyerap aspirasi masyarakat lebih luas dalam penyusunannya.
Ini menyusul banyaknya kritik terhadap materi dalam RUU HIP tersebut. Kritik itu, di antaranya, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan untuk Menyebarluaskan Komunis, Marxisme, dan Leninisme dalam konsideran draf RUU HIP. Selain itu, pemahaman Pancasila yang diperas menjadi trisila dan ekasila sehingga dinilai dapat mereduksi Pancasila.
Menurut Gomar, perluasan atau penyempitan tafsir Pancasila bisa membawa pada perdebatan antara kelompok agamis dan nasionalis. Masalah tafsir ini dapat pula membawa pada perpecahan antarsesama anak bangsa. Padahal, persatuan dibutuhkan ketika bangsa saat ini sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Ke depan, jika DPR kembali ingin membahasnya, selain harus terlebih dahulu menyerap aspirasi masyarakat, hendaknya substansi dalam RUU HIP tidak melebar ke masalah tafsir Pancasila yang bisa memicu kontroversi. Ia sepakat jika RUU HIP terbatas untuk penguatan kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Ikut mengawal
Ketua MPR Bambang Soesatyo juga mengapresiasi serta mendukung langkah pemerintah yang menunda pembahasan RUU HIP.
”Agar tak menimbulkan berbagai syakwasangka ataupun persepsi negatif di masyarakat, ada baiknya DPR dan pemerintah menyerap aspirasi publik dengan mendatangi beberapa organisasi masyarakat yang mewakili berbagai suara publik sehingga sejumlah kalangan masyarakat bisa memahami urgensi perlunya kelahiran RUU HIP tersebut,” katanya melalui siaran pers yang diterima Kompas.
Pandangan Muhammadiyah bersama organisasi kemasyarakatan lainnya bahwa RUU HIP akan mendegradasi Pancasila, misalnya, tak boleh dinafikan begitu saja tetapi harus didengar dan dipelajari lebih dalam.
Jika RUU ini masih akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR, ia berjanji akan ikut mengawal pembahasannya. ”Saya satu pandangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat kami, pimpinan MPR, bertemu pekan lalu. Kalau RUU untuk memperkuat kedudukan BPIP, tidak masalah. Asal tidak mendegradasi Pancasila sebagai ideologi,” katanya.
Oleh karena itu, ia mendorong RUU HIP kembali menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Selain itu, materi di dalamnya tidak memuat tafsir lain dari Pancasila yang sebelumnya telah menjadi konsensus kebangsaan dan kesepakatan para pendiri bangsa.
Wakil Ketua Badan Legislasi dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya menyampaikan, hingga kini, DPR masih menunggu surat dari Presiden Joko Widodo terkait penundaan pembahasan RUU HIP. Penundaan tak bisa hanya sebatas pernyataan dari menteri.
”Ini, kan, lembaga negara. Kita harus membuat suatu jalan formal prosedural. Pimpinan DPR akan menunggu supres terkait penundaan itu, lalu akan dirapatkan ulang dalam Bamus (Badan Musyawarah) DPR,” ujar Willy.
Willy pun tak bisa memastikan penundaan pembahasan RUU HIP tersebut karena keputusan akhir ada di bamus. Namun, katanya, pada prinsipnya mayoritas fraksi meminta agar pembahasan RUU HIP ditunda.
”Kita harus kembali ke fitroh bahwa Pancasila dilahirkan melalui sebuah dialog. Maka, perumusan RUU ini juga harus dialogis agar tak jadi klaim sekelompok orang. Dialog tak hanya fraksi-fraksi di DPR, tetapi juga elemen masyarakat sipil dan lembaga kajian. Pancasila, kan, menjadi nilai dasar semua bangsa, tak hanya parpol. Jadi, sejauh ini fraksi-fraksi senadalah, harus didengarkan masukan masyarakat dan didialogkan ulang,” katanya.