Lihainya Sang Buronan Memperdaya Kekuasaan
Kejagung gagal menangkap Joko S Tjandra pada Senin (29/6/2020) kemarin. Terpidana kasus ”cessie” Bank Bali tersebut memang sulit untuk dijerat hukum, bahkan sejak awal ketika kasusnya masih berjalan.
Pada 10 Juni 2009 malam, Joko Tjandra meninggalkan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ia menumpang pesawat carter Cl 604 dengan nomor penerbangan N 720 AS. Tujuannya Port Moresby, Papua Niugini. Sejak itulah ia menjadi buron. Fragmen itu dicatat dalam reportase harian Kompas.
Tentu saja, informasi ihwal kaburnya Joko tidak segera diinformasikan oleh otoritas berwenang. Kejaksaan Agung baru memaparkan fakta itu pada 18 Juni 2009. Delapan hari setelah Djoko melarikan diri. Harian Kompas memuat berita itu pada 19 Juni 2009.
Kini, setelah sekitar 11 tahun melarikan diri, kabar mengejutkan datang setelah sang buronan disebut mendaftarkan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kini, setelah sekitar 11 tahun melarikan diri, kabar mengejutkan datang setelah sang buronan disebut mendaftarkan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal itu terkait dengan putusan atas kasus skandal transaksi cessie atau pengalihan tagihan piutang kepada pihak ketiga yang menderanya sejak 1999 lalu. Skandal ini terjadi antara PT Bank Bali Tbk dan PT Era Giat Prima (EGP). Direktur Utama PT EGP ketika itu adalah Setya Novanto serta Joko sebagai direktur.
Intensitas perhatian publik terhadap kasus tersebut mulai meninggi sejak 29 September 1999. Ketika itu Joko ditahan Kepolisian Negra Republik Indonesia bersama lima tersangka lain. Adapun empat tersangka lain, ketika itu, belum ditahan.
Berdasarkan catatan Kompas, lima tersangka yang ketika itu turut ditahan bersama Joko adalah Rudy Ramli, Rusli Suryadi, Hendry Kurniawan, Firman Soetjahja, dan Setya Novanto. Joko, yang pada 7 Agustus 1999 berusia 48 tahun, adalah ayah empat anak yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Ia merupakan salah seorang pendiri Grup Mulia dengan bisnis utama di bidang properti.
Saat krisis ekonomi, bisnisnya terpuruk. Enam perusahaan dari Grup Mulia masuk ke dalam 1.689 debitor yang pada Juni 1999 diumumkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dugaan kebocoran
Pada 6 Maret 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan selanya tidak menerima dakwaan jaksa terhadap Joko dengan pertimbangan kasus pengalihan piutang atau cessie bukan ranah pidana, tetapi perdata. Akhirnya, Joko pun bebas dari segala dakwaan. Kejagung pun melawan (verset) putusan tersebut dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pangadilan untuk Joko pun digelar kembali. Saat itu, jaksa yang menangani cessie Bank Bali, Antasari Azhar, menuntut Joko dengan pidana 18 bulan penjara. Namun, Joko kembali lolos dari segala tuntutan karena majelis hakim yang dipimpin Soedarto ketika itu juga menilai bahwa kasus tersebut merupakan kasus perdata sehingga tak dapat dipidana.
Jaksa pun mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Namun, MA pada 28 Juni 2001 menolak kasasi jaksa sehingga Joko tetap bebas. Putusan MA ini tak bulat, salah satu majelis kasasi, yaitu Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda.
Artidjo berpendapat, terdakwa Joko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana dan, karena itu, ia harus dihukum dengan pidana 20 tahun penjara. Selain itu, Joko Tjandra juga harus membayar denda sebesar Rp 30 miliar dan barang bukti uang sebesar Rp 546 miliar harus dirampas untuk negara (Kompas, 29/6/2001)
Artidjo berpendapat, terdakwa Joko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana dan, karena itu, ia harus dihukum dengan pidana 20 tahun penjara. Selain itu, Joko Tjandra juga harus membayar denda sebesar Rp 30 miliar dan barang bukti uang sebesar Rp 546 miliar harus dirampas untuk negara.
Kejaksaan Agung lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) pada 3 September 2008. Pada 11 Juni 2009, vonis 2 tahun penjara dijatuhkan kepada Joko. Akan tetapi, pada 10 Juni 2009 malam, Djoko terbang ke Papua Niugini. Dugaan kebocoran putusan PK menyeruak.
Catatan Kompas menyebutkan, kegagalan eksekusi oleh kejaksaan pernah pula terjadi pada Desember 2004. Saat itu, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan yang divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung gagal dieksekusi. Samadikun Hartono, mantan Komisaris Utama PT Bank Modern, yang dihukum empat tahun penjara juga gagal dieksekusi. Saiful Anwar, Komisaris PT Cipta Graha Nusantara, yang dihukum delapan tahun penjara oleh MA, juga gagal dieksekusi kejaksaan pada Januari 2008.
Ketua MA ketika itu, Harifin A Tumpa, mengakui kemungkinan bocornya informasi putusan. Namun, ia mengatakan bahwa majelis hakim yang menangani peninjauan kembali Joko Tjandra tidak mungkin menjadi sumber asal bocoran informasi tersebut.
Baca juga: Buronan Joko Tjandra Lepas dari Pantauan Intelijen Kejaksaan
Tertutup
Joko, yang dikenal tertutup dari sorotan publik dan sangat langka jejak digital komentarnya di media massa itu, lantas mengubah kewarganegaraannya. Ia menjadi warga negara Papua Niugini. Media Australia, ABC News, dalam publikasi tanggal 30 Oktober 2012 melaporkan tentang penolakan sebagian pihak di Papua Niugini perihal diberikannya status warga negara kepada Joko. Namun, Pemerintah Papua Niugini disebutkan membela keputusan itu.
Dalam publikasi pada 12 April 2018 di laman abc.net.au, paspor atas namanya diterbitkan di Papua Niugini pada Mei 2012. Setelah itu, Joko kembali mengajukan permohonan penerbitan paspor baru dengan nama yang sudah diubah menjadi Joe Chan. Joko juga mengubah tanggal lahir dari 27 Agustus 1951 menjadi 27 September 1963.
Pada Juni 2012, sebuah paspor baru diterbitkan dengan nama Joe Chan, lengkap dengan tanggal lahir yang baru. Laporan laman abc.net.au itu juga mengutip temuan Komisi Ombudsman Papua Niugini yang menyebutkan bahwa penerbitan status warga negara dan paspor kepada Joko Tjandra sebagai tindakan yang ”tidak pantas dan melanggar hukum”. Belum ada komentar dari Pemerintah Papua Niugini dalam laporan tersebut.
Laporan laman abc.net.au itu juga mengutip temuan Komisi Ombudsman Papua Niugini yang menyebutkan bahwa penerbitan status warga negara dan paspor kepada Joko Tjandra sebagai tindakan yang ’tidak pantas dan melanggar hukum’.
Selama menjadi buronan, Djoko disebut menjadi pebisnis di Papua Niugini. Hal itu terekam jelas dalam publikasi media Papua Niugini, Post-Courier, yang dipublikasi di laman postcourier.com.pg pada 1 April 2016. Ini merupakan kemunculan publik pertama Joko setelah ia menjejakkan kaki di negara itu dalam status sebagai buronan Pemerintah Indonesia. Ketika itu, Joko Tjandra yang muncul dengan nama Joe Chan menyerahkan gedung kantor pemerintah pusat yang sudah direhabilitasi di Waigani, pinggiran Port Moresby, Papua Niugini. Gedung hasil rehabilitasi itu senilai 145 juta kina (sekitar Rp 601,7 miliar).
”Saya adalah orang Papua Niugini dan ingin memberi kembali kepada negara saya dan berkontribusi untuk pembangunan negara ini,” kata Chan alias Joko kepada Post-Courier ketika itu.
Penahanan Joko, pelariannya, kabar kemunculannya di Indonesia, serta rencana penangkapannya oleh Kejaksaan Agung terkait dengan skandal cessie di atas. Ia disebutkan demikian sulit ditangkap. Kini, penegak hukum di Indonesia, terutama Kejaksaan Agung, seolah kecolongan dengan laporan PK oleh Joko. Ternyata, Joko yang dicegah keluar negeri oleh Ditjen Imigrasi sejak 11 Juni 2009 malam atas permintaan Kejagung bisa masuk ke Indonesia.
Baca juga: Berkomunikasi Hanya Lewat WA, Kuasa Hukum Mengaku Tidak Tahu Lokasi Joko Tjandra