Dua perwira tinggi Polri kembali dicopot terkait perkara pelarian Joko Tjandra. Butuh sinergi antarpenegak hukum untuk menangkap Joko.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/ Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis, Jumat (17/7/2020), kembali mencopot dua perwira tinggi Polri dari jabatannya terkait pelarian narapidana perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Langkah tegas ini diharapkan berlanjut dengan mengusut tuntas pihak-pihak yang membantu Joko bergerak bebas masuk-keluar Indonesia serta menangkap Joko yang telah buron sejak 2009.
Dua perwira tinggi Polri yang kemarin dicopot adalah Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte dari jabatannya sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri serta Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo dari posisinya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Keduanya dicopot karena melanggar kode etik Polri terkait penerbitan surat pemberitahuan penghapusan red notice Joko Tjandra.
Pencopotan keduanya tertuang dalam surat telegram ST/2074/VII/KEP./2020 yang ditandatangani Asisten Sumber Daya Manusia Kapolri Irjen Sutrisno Yudi. ”Betul (dicopot). Pelanggaran kode etik,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Pada 5 Mei 2020 muncul surat dari NCB Interpol Indonesia ke Dirjen Imigrasi perihal penyampaian penghapusan red notice Interpol Joko Tjandra. Surat itu atas nama Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dan ditandatangani oleh Nugroho.
Perbuatan Nugroho tersebut, menurut Argo, telah melanggar kode etik. Sebab, surat ditandatangani tanpa sepengetahuan atasannya. ”Jadi, ada satu kesalahan di sana yang tidak dilalui di proses administrasi itu. Jadi, kami kenakan (pelanggaran) etik di sana,” tutur Argo.
Sementara itu, menurut Argo, Napoleon dicopot dari jabatannya karena tidak dapat melakukan kontrol atau pengawasan terhadap jajarannya. ”Sebagai komandan, (ia) lalai mengawasi anak buahnya,” katanya.
Surat jalan
Sebelumnya, Kapolri juga mencopot Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri karena telah menerbitkan surat jalan bagi Joko (Kompas, 16/7/2020).
Terkait hal itu, kata Argo, jika terdapat dugaan aliran uang dari Joko kepada Prasetijo, Bareskrim akan menyidiknya. ”Tim Bareskrim yang akan menelusurinya,” ujarnya.
Surat jalan bagi Joko itu untuk tujuan Jakarta-Pontianak, Kalimantan Barat, pada 19 Juni. Sebelumnya, Joko yang divonis 2 tahun penjara kabur dari Indonesia pada 2009 ke Papua Niugini. Pada 8 Juni 2020, dia kembali ke Indonesia, mengurus KTP elektronik, kemudian mendaftarkan peninjauan kembali perkaranya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Menunggu
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi langkah cepat dan komitmen Kapolri dalam membersihkan institusinya. Apalagi, ironisnya, oknum yang terbukti melanggar adalah perwira tinggi.
Menurut Fickar, mereka yang terlibat harus diproses secara pidana apabila memenuhi unsur. Ia juga mendorong Polri mengejar oknum yang mengusahakan terjadinya pelarian Joko. Pelarian Joko mesti bisa segera diakhiri dan untuk mewujudkan hal itu institusi penegak hukum perlu bersinergi.
”Ini harus tertangkap agar terungkap semua yang terlibat. Kalau tidak mafia hukum akan terus ada,” ujarnya.
Sejauh ini, Joko diduga berada di Malaysia. Dugaan itu pernah disampaikan kuasa hukum Joko, Anita Kolopaking. Joko juga memiliki bisnis yang mapan di Malaysia.
Sementara itu, Kejaksaan Agung masih mendalami dugaan keterkaitan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nanang Supriatna dengan Joko.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, pemeriksaan atau klarifikasi terhadap Nanang Supriatna telah selesai dilakukan. Namun, proses masih belum selesai dan belum ada hasil karena pihak lain yang diduga terkait di video itu belum bisa diklarifikasi.
Beberapa hari lalu, di media sosial, tersebar video yang menampilkan Nanang yang disebutkan sedang bersama kuasa hukum Anita Kolopaking. Dalam utas dari akun itu dikatakan pembicaraan terkait Joko.
Namun, menurut Hari, hal itu sulit dipastikan mengingat video itu tidak memuat suara ataupun gambar secara utuh. Kejati DKI Jakarta akan kembali memanggil pihak-pihak yang diduga terkait dalam persoalan ini, Senin depan.
Terkait beredarnya surat dari Kejaksaan Agung ke Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri tentang konfirmasi mempertahankan red notice Interpol Joko, Hari menolak menanggapi. Surat bertanggal 21 April 2020 itu bersifat rahasia dan sangat segera. ”Maaf, surat itu kodenya R=Rahasia, kami tak menanggapi,” tuturnya.
Jika ingin serius menangkap Joko, menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Kejaksaan Agung harus berkontak dengan Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian, Kemenkumham akan berkontak dengan otoritas pusat di Malaysia. ”Jadi, tinggal ada upaya atau tidak dari penegak hukum kita untuk itu,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Hikmahanto, juga harus ada lokasi akurat terkait keberadaan Joko yang dimiliki otoritas Indonesia.