Joko Tjandra Tak Hadir Saat Sidang, Permohonan PK Kandas
Buron perkara pengalihan hak tagih utang atau ”cessie” Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, masih dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali. Syaratnya, ia mendaftar sendiri dan wajib hadir di persidangan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / PRAYOGI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permohonan peninjauan kembali yang diajukan buron perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, tidak dapat diterima Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berkas perkara pun tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Keputusan itu ditetapkan karena Joko Tjandra sebagai pemohon tak menghadiri persidangan.
Suharno dari Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan saat jumpa pers di kantor PN Jakarta Selatan, Rabu (29/7/2020), mengatakan, setelah Ketua PN Jakarta Selatan mempelajari berkas permohonan peninjauan kembali (PK) atas Joko Tjandra, berkas tersebut tidak memenuhi syarat formil yang mengharuskan kehadiran pemohon di persidangan. Atas dasar itu, berkas perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
Keputusan itu mengacu pada Pasal 263 Ayat 1, Pasal 265 Ayat 2 dan Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 juncto SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana dinyatakan bahwa pemeriksaan PK di pengadilan yang tidak dihadiri terpidana tidak dapat diterima.
”Kami sampaikan, sudah dikeluarkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkaitan dengan PK tersebut dan dinyatakan bahwa PK tersebut tidak diterima,” ujar Suharno.
Penetapan itu tertuang dalam surat penetapan nomor 12/Pid/PK/2020/PN.Jkt.Sel yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Selatan Bambang Myanto pada 28 Juli 2020.
Suharno menjelaskan, dengan penetapan itu, berkas perkara tidak dilanjutkan ke MA. ”Jadi, untuk PK ini sudah selesai, tidak ada tindak lanjut lagi karena sudah ada penetapan ini dan berkas tidak dikirim ke MA,” katanya.
Meski PK Joko Tjandra kali ini tidak dapat diterima, menurut Suharno, terpidana tetap bisa mengajukan PK kembali. Dia menegaskan, pada prinsipnya, tugas pokok PN Jakarta Selatan atau pengadilan negeri di seluruh Indonesia adalah menerima, memeriksa, dan memutus suatu perkara.
”Apa pun itu yang diajukan oleh masyarakat atau pencari keadilan, kami tidak boleh menolaknya. Itu suatu asas. Harus kami terima, kami periksa, dan kami putus (perkaranya),” tutur Suharno.
Namun, lanjut Suharno, bukan tidak mungkin perkara itu kandas lagi apabila pemohon kembali tidak hadir ke persidangan. Sebab, ketua pengadilan akan tetap mengacu pada peraturan yang berlaku.
”Tentunya semacam begitu karena (kehadiran pemohon) merupakan suatu syarat,” ucap Suharno.
Dikirim ke rumah
PN Jakarta Selatan juga telah memberitahukan penetapan PK tersebut kepada semua pihak, seperti pemohon, kuasa hukum, dan jaksa. Pemohon dalam hal ini meliputi Joko Tjandra dan kuasa hukumnya.
Namun, saat dikirimkan ke rumah pemohon, Suharno mengatakan, surat pemberitahuan penetapan itu tidak diterima langsung oleh Joko Tjandra, melainkan oleh pihak keamanan di rumahnya. ”Yang terima (surat pemberitahuan penetapan) adalah sekuritinya. Alamatnya sesuai KTP (Joko Tjandra),” kata Suharno.
Dari surat pemberitahuan penetapan yang dikirim kepada Joko Tjandra, tertulis, setelah diterima sekuriti bernama Suharto, surat diteruskan ke pihak kelurahan. Dituliskan juga dalam surat pemberitahuan tersebut, menurut keterangan Suharto, Joko Tjandra tidak berada di rumah.
Sementara itu, dari pihak kuasa hukum, surat pemberitahuan penetapan diterima Doly Pratama Siregar. Sementara untuk pihak kejaksaan, surat penetapan diterima petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu atas nama Astri.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengapresiasi putusan PN Jakarta Selatan tersebut.
Boyamin mengatakan, syarat kehadiran pemohon sudah sangat jelas diatur dalam aturan hukum yang berlaku. Permohonan praperadilan saja, menurut dia, tidak bisa diterima apabila buron berada di dalam dan luar negeri, apalagi PK yang lebih kepada materi perkara.
”Kalau praperadilan itu hanya kulit. Kalau PK itu isi materi perkara. Itu sudah jelas, kalau tidak hadir, tidak bisa diteruskan ke MA. Itu sudah selesai dan sudah baku. Tidak ada perdebatan MA tiba-tiba mengabulkan. Kan, tidak mungkin. Karena itu tidak dikirimkan ke sana,” tutur Boyamin.