Kasus Pelarian Joko Tjandra Momentum Membongkar Mafia Hukum
Pelarian Joko Tjandra diduga menyangkut banyak orang sebagaimana sebuah mafia. Karena itu, penangkapan Joko harus diikuti pengungkapan kejadian itu ke publik. Pembentukan tim terpadu lintas lembaga perlu dipertimbangkan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Penangkapan terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, oleh Kepolisian Diraja Malaysia dan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, patut diapresiasi. Keraguan dan spekulasi ditepis dengan tindakan tegas Polri di antaranya pencopotan tiga perwira tinggi Polri yang diduga punya keterkaitan dengan pelarian Joko Tjandra.
Joko Tjandra merupakan terpidana kasus pengalihan surat utang (cessie) Bank Bali yang kabur ke luar negeri tahun 2009. Pada awal Juni 2020, dia kembali ke Jakarta, mengurus KTP-elektronik, lalu mendaftarkan peninjauan kembali perkaranya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat keberadaannya di Indonesia terungkap ke publik, ia menghilang kembali. Baru pada akhir Juli, ia ditangkap di Malaysia.
Skandal pelarian Joko Tandra berbuah kasus pidana lain. Pertama, dugaan pidana pemalsuan surat jalan dengan tersangka Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dan kuasa hukum Joko Tjandra, Anita Kolopaking. Surat jalan itu diberikan kepada Joko Tjandra untuk rute Pontianak (Kalimantan Barat) menuju Jakarta, dan Jakarta menuju Pontianak, pada dua titik waktu berbeda. Surat ditandatangani Prasetijo.
Kemudian, pada Kamis (6/8/2020), Bareskrim Polri meningkatkan kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait penghapusan red notice Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra, dari penyelidikan ke penyidikan.
Pertengahan Juli, terkait red notice, Sekretaris Divisi Hubungan Internasional Polri Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo dan Kepala Divhubinter Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dicopot dari jabatannya karena dugaan pelanggaran kode etik.
Di Kejaksaan Agung, juga ada sejumlah nama yang diadukan terkait Joko Tjandra. Salah satunya, jaksa Pinangki yang diduga menemui Joko Tjandra di Malaysia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Joko Tjandra dan Pertarungan Para Jenderal” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (5/8/2020) malam, mengatakan, penangkapan Joko Tjandra adalah perintah Presiden Joko Widodo. Kegaduhan yang disertai dengan berbagai pandangan negatif terhadap pemerintah telah menggugah perhatian Presiden.
”Sebelum itu, kan, kita tidak tahu dia keluar masuknya. Baru kemudian bocor keluar-masuknya dan kita semua kaget,” kata Mahfud.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu dihadiri narasumber lain, yakni anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman, mantan Wakil Sekretaris NCB Interpol Mabes Polri Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana, anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Hasto Atmojo Suroyo.
Mahfud mengatakan, penangkapan itu merupakan pembuktian bahwa pemerintah tidak terkait dengan pelarian Joko Tjandra. Penangkapan itu sekaligus untuk menepis segala tuduhan dan spekulasi bahwa pemerintah tidak serius menangkap Joko Tjandra.
Menurut Mahfud, kasus pelarian Joko Tjandra itu kemungkinan akan menyangkut banyak orang sebagaimana sebuah mafia. Sebab, polah tingkah Joko Tjandra yang luar biasa itu tidak akan begitu saja terjadi tanpa bantuan para pejabat sejak terjadinya kasus itu 21 tahun lalu.
Menurut Benny K Harman, penangkapan Joko Tjandra adalah prestasi luar biasa. Sangat mungkin ada perwira tinggi Polri yang mendapatkan kredit dari peristiwa itu. Namun, lanjut Benny, kasus ini juga memperlihatkan lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia. Maka, penangkapan Joko Tjandra harus diikuti pengungkapan kejadian sebenarnya kepada publik.
”Harapan saya tidak berhenti pada penangkapan saja untuk mencegah spekulasi dimanfaatkan dalam rangka menuju Trunojoyo 1 (jabatan Kapolri). Saya mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk tim independen memeriksa Joko. Kedua, jadikan kasus ini untuk pembenahan total institusi penegakan hukum,” kata Benny.
Haris berpandangan, kasus Joko Tjandra perlu ditindaklanjuti dengan menempatkannya sebagai kejahatan sistemik, yakni kurun waktu panjang, terjadi di banyak lokasi, serta melibatkan banyak orang.
Dalam konteks itu, lanjut Haris, yang terlibat tidak mungkin hanya Prasetijo. Diyakini ada pihak-pihak lain yang bisa jadi tingkatnya di atas Prasetijo yang harus diusut Polri. Karena itu, kata Haris, dalam pengungkapan kasus itu diperlukan tim dengan dukungan kuat, semisal tim yang langsung di bawah kendali Menkopolhukam.
Menurut Kurnia, skandal pelarian Joko Tjandra memiliki beberapa tahap yang perlu dibongkar satu per satu, mulai dari bocornya putusan Mahkamah Agung yang menyebabkan Joko kabur pada 2009, proses pelarian dan penyembunyian, dan pasca-penangkapan Joko.
”Seluruh proses, baik itu dugaan tindak pidana suap, surat palsu, red notice, maupun menyembunyikan Joko Tjandra, harus diungkap transparan,” katanya.
Tim terpadu
Menurut Benny Mamoto, dari pengalamannya dalam menangani kasus lintas instansi, akan lebih efektif dan efisien jika dibentuk tim terpadu. Setiap instansi terkait akan bisa saling membuka hasil investigasinya untuk membuat gambaran yang lebih utuh.
Dari pengalamannya bergabung di tim pemburu koruptor, lanjut Benny, ada buron yang ditangkap mengeluh telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Beberapa buron mengaku diperah pihak tertentu. ”Ada pihak yang datang dan mengambil uang, memanfaatkan kesempatan,” ujar Benny.
Poengky berpandangan, kasus Joko Tjandra merupakan hasil dari mafia hukum yang melibatkan orang-orang dari berbagai macam institusi. Untuk membongkarnya, diperlukan kehendak, baik dari para pimpinan institusi tersebut.
Menurut Poengky, bisa jadi oknum polisi yang terlibat tidak hanya Prasetijo. Tindakan pencopotan tiga perwira tinggi yang diikuti dengan penyidikan yang kini sedang berjalan dinilai Poengky sebagai bentuk ketegasan Polri. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang sama dari pihak yang terkait serta koordinasi antarinstitusi.
Menurut Hasto, Anita Kolopaking memang mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK. Namun, sampai saat ini pihaknya tidak melihat adanya indikasi berupa ancaman yang sampai membahayakan jiwa Anita Kolopaking.
Terkait hal itu, lanjut Hasto, LPSK tak bisa memberikan perlindungan kepada Anita yang berstatus tersangka. LPSK telah menyampaikan kepadanya untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator. Anita belum menyatakan kesediaannya.
Hasto sependapat bahwa pelarian Joko Tjandra ini sebagai kejahatan yang terorganisasi dan sistemik. Jika semua pihak serius untuk mengungkap, kata dia, hal itu dapat dimulai melalui Anita Kolopaking.
Bisakah semua simpul itu diurai secara terang benderang? Kita tunggu saja keseriusan para elite penegak hukum.