Pengusutan Kasus Pinangki, Komisi Kejaksaan Minta KPK Supervisi Kejaksaan
Komisi Kejaksaan segera menuntaskan pemeriksaan atas laporan terkait oknum jaksa Pinangki yang diadukan MAKI. Salah satu rekomendasinya, meminta KPK mengawasi pengusutan kasus Pinangki dan Joko Tjandra oleh kejaksaan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiaal
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kejaksaan segera menyelesaikan pemeriksaan atas laporan terkait Pinangki Sirna Malasari, oknum jaksa yang diduga bertemu Joko Tjandra saat masih buron dan ditahan kejaksaan karena diduga menerima gratifikasi dalam kasus Joko Tjandra. Salah satu rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh Komisi Kejaksaan ialah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengawasi pengusutan kasus Pinangki.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, Kamis (13/8/2020), mengatakan, penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) memang telah menahan dan menetapkan Pinangki sebagai tersangka dalam kasus Joko Tjandra. Namun, saat ini, publik sudah telanjur meragukan proses hukum yang berjalan di Kejagung.
”Karena public trust sekarang, kan, sedang terganggu, maka kami juga memandang perlu supaya ini di-supervisi KPK. Karena ini berkaitan dengan tersangka seorang jaksa, sementara yang menyidik adalah juga jaksa. Dikhawatirkan kalau hasilnya nanti tidak dianggap kredibel oleh publik,” katanya.
Terlebih Barita menduga Pinangki tidak bekerja sendiri. Tak tertutup kemungkinan, masih ada oknum jaksa lain yang juga terlibat.
Pinangki ditahan dan ditetapkan tersangka pada Selasa (11/8/2020). Ia diduga menerima uang tunai sekitar 500.000 dollar Amerika Serikat. Di luar itu, ia diduga menerima janji imbalan sebesar 10 juta dollar AS. Ini diduga untuk membereskan persoalan hukum yang menjerat Joko Tjandra pada 2009 dalam kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali. Saat itu, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman pidana penjara selama dua tahun.
Pada 24 Juli lalu, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan Pinangki ke Komisi Kejaksaan. Pelaporan didasarkan pada dua foto yang menunjukkan pertemuan Pinangki dan Joko Tjandra saat masih buron. Pertemuan terjadi dua kali pada November 2019.
Dengan adanya supervisi dari KPK, menurut Barita, bukan berarti hal itu bentuk pelemahan terhadap institusi Kejagung. Namun, sebagai pembuktian kepada publik bahwa kejaksaan bersikap rela dan terbuka dalam kasus tersebut. Dengan berjalannya mekanisme check and balance, apa pun hasilnya, yang penting proses hukum telah dijalankan secara transparan dan akuntabel.
”Jangan main-main dengan publik. Sekeras apa pun atau seringan apa pun hukumannya nanti, kalau publik telanjur tidak percaya, tidak ada gunanya,” ujar Barita.
Rekomendasi Komisi Kejaksaan
Pentingnya supervisi dari KPK itu, Barita melanjutkan, juga akan dijadikan salah satu rekomendasi Komiisi Kejaksaan dari hasil pemeriksaan atas laporan MAKI terkait dengan Pinangki. Laporan hasil pemeriksaan berikut rekomendasi yang akan diputuskan Komiisi Kejaksaan tersebut, ditargetkan sudah keluar paling lambat pekan depan. Laporannya akan diserahkan Komiisi Kejaksaan kepada Presiden Joko Widodo.
Adapun terkait dengan laporan MAKI lainnya yang menyebutkan ada dugaan oknum jaksa lain yang terlibat dalam kasus Joko, Barita mengatakan, Komisi Kejaksaan berencana meminta keterangan dari oknum jaksa tersebut pekan depan. Namun, ia belum mau menyebutkan oknum jaksa dimaksud.
Pada Selasa (11/8/2020, Koordinator MAKI Boyamin Saiman melaporkan ada pejabat tinggi di Kejagung yang berkomunikasi melalui sambungan telepon dengan Joko Tjandra saat Joko masih buron. Kejadiannya pada Juli 2020 atau setelah Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, yang salah satu agendanya membahas Joko Tjandra, pada 29 Juni 2020.
”Ini saya laporkan ke Komisi Kejaksaan untuk ditelusuri apa isi pembicaraan pejabat tinggi itu dengan Joko Tjandra. Dari mana nomor HP berasal? Pasti ada yang memberikan dan itu harus dilacak ke sumber-sumber sebelumnya,” katanya.
Secara terpisah, Boyamin Saiman prihatin dengan ditetapkannya Pinangki sebagai tersangka dalam dugaan kasus tipikor. Menurut Boyamin, hal itu ironis mengingat aparat penegak hukum yang seharusnya memberi contoh bagi masyarakat malah diduga melanggar hukum.
”Harapan berikutnya adalah agar Kejaksaan Agung mengembangkan perkara ini ke level pemberi karena tidak mungkin jaksa Pinangki hanya menerima tanpa ada yang memberi. Dan dalam kasus korupsi, gratifikasi, suap atau penerimaan janji pasti dilakukan minimal oleh dua belah pihak,” ujar Boyamin.
Boyamin juga berharap kepada aparat penegak hukum agar tidak sekadar panas di awal, tetapi melempem di tengah dan akhir proses hukum. Sebab, penetapan tersangka masih memerlukan proses pembuktiannya yang panjang.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, Pinangki ditahan karena dua alasan.
Alasan pertama berupa alasan obyektif bahwa pasal sangkaan terhadap para tersangka dengan ancaman pidana penjara pebih dari 5 tahun. Alasan kedua adalah alasan subyektif bahwa dikhawatirkan tersangka melarikan diri, memengaruhi saksi-saksi, dan atau menghilangkan barang bukti sehingga dapat mempersulit pemeriksaan penyidikan atau menghambat penyelesaian penyidikan perkara itu.
”Keberhasilan terpidana Joko Tjandra masuk ke dalam negeri (saat masih buron) dan kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diduga ada peran tersangka PSM untuk yang mengondisikan dan mengatur upaya hukum PK tersebut,” kata Hari.
Dalam kasus itu, lanjut Hari, tersangka juga melakukan pertemuan dengan Joko Tjandra di Malaysia bersama-sama dengan Anita Kolopaking, kuasa hukum Joko Tjandra. Untuk keperluan koordinasi dan pengondisian keberhasilan PK, Joko Tjandra diduga menjanjikan hadiah atau pemberian sebanyak 500.000 dollar AS.