Bela negara bisa dilakukan sesuai profesi dan tidak hanya secara militeristik belaka. Rencana Kemenhan dan Kemendikbud mengadakan pendidikan militer di kampus pun dinilai tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Kementerian Pertahanan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan pendidikan militer di kampus dinilai tidak sesuai perkembangan zaman. Bela negara bisa dilakukan sesuai profesi dan tidak hanya secara militeristik.
”Pendidikan kewarganegaraan yang perlu dipertajam,” kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, Minggu (23/8/2020), dalam konferensi pers yang diadakan secara daring oleh Setara Institute di Jakarta.
Ikhsan Yosarie, peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara, mengatakan, rencana latihan militer itu terjadi ketika ada berbagai keluhan di dalam kasus tentang kebebasan mimbar akademik yang terbungkam. ”Dikhawatirkan dengan adanya pendidikan militer, bukannya menyelesaikan masalah, malah tambah mengafirmasi militerisasi sektor pendidikan,” kata Ikhsan.
Pendidikan militer di kampus dinilai tidak sesuai perkembangan zaman. Bela negara bisa dilakukan sesuai profesi dan tidak hanya secara militeristik.
Ikhsan mengatakan, cara menangkal intoleransi dan radikalisme di lingkungan perguruan tinggi seharusnya dilaksanakan secara inklusif dan tetap menghargai kebebasan akademik kampus. Aturan pelaksanaan untuk Undang-Undang Pengaturan Sumber Daya Nasional, katanya, belum lengkap dan juga belum banyak sosialisasi. I
Penguatan nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan lewat program Bela Negara, kata Ikhsan, seharusnya dilakukan sesuai dengan profesi. ”Sesuai Pasal 6 Ayat 2 UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional,” katanya.
Tigor menyesalkan adanya asumsi selama ini bahwa institusi militer lebih nasionalis dan kompeten daripada sipil. Masyarakat sipil juga selalu dituding terpecah belah sehingga selalu butuh militer untuk menyatukan.
Menurut Tigor, daripada melaksanakan pendidikan dan latihan militer di kampus, lebih baik pendidikan kewarganegaraan dipertajam dan dibuat relevan dengan perkembangan zaman. ”Perang saat ini sudah tidak lagi terlihat, pengembangan profesi yang penting untuk bela negara yang sesuai dengan semangat nasionalisme,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, pendidikan militer di kampus akan diadakan dalam satu semester dan nilainya dimasukkan ke dalam satuan kredit semester (SKS) yang diambil mahasiswa. Trenggono juga mengatakan, kecintaan generasi milenial terhadap negara juga bisa ditunjukkan dengan bergabung dalam komponen cadangan (Komcad).
Perang modern
Presiden Eksekutif Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya Muhammad Farhan Azis mengatakan, selain masalah kebebasan akademik, pihaknya melihat bahwa latihan militer di kampus tidak sesuai perkembangan zaman.
Menurut Farhan, bela negara itu diwujudkan dengan menguatkan kualitas mahasiswa dan hasil riset dalam bidang-bidang keilmuan. Dengan demikian, mahasiswa membela negaranya sesuai dengan kemampuannya. ”Harusnya tidak militeristik, tetapi sesuai dengan profesi,” katanya.
Harusnya tidak militeristik, tetapi sesuai dengan profesi.
”Kalau yang terjadi braindrain itu bukan karena tidak nasionalis, melainkan karena tidak ada kesempatan dari negara yang menghargai karya-karya,” kata Farhan.
Farhan mengatakan, solusi seharusnya bukan pendidikan militer, melainkan akses dan juga kebebasan akademis. Ia mengatakan, ke depan perang telah bersifat modern dan membutuhkan kemampuan-kemampuan yang sifatnya spesifik keilmuan dan berbeda dengan hasil pendidikan militer.