Hanya Dibahas Tujuh Hari, DPR Sahkan RUU Mahkamah Konstitusi
RUU MK dibahas pertama kali pada 24 Agustus 2020 dan tuntas dibahas dalam pembicaraan tingkat pertama, 31 Agustus 2020. Hanya butuh tujuh hari membahasnya. RUU tersebut hari ini disahkan dalam rapat paripurna DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat membawa sejumlah dampak bagi kelembagaan MK. Perpanjangan masa jabatan hakim dinilai kalangan masyarakat sipil tidak membawa perbaikan bagi MK, bahkan berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
RUU MK disahkan dalam rapat paripurna, Selasa (1/9/2020) siang. Sebelumnya, sembilan fraksi secara prinsip dapat menerima susbtansi RUU MK itu untuk diteruskan ke rapat paripurna. Dengan demikian, RUU MK tuntas dibahas hanya dalam tujuh hari. Penuntasan RUU MK ini bahkan lebih cepat daripada pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 yang memerlukan waktu hanya 12 hari.
Poin menonjol yang disepakati dalam RUU MK ini ialah mengenai perpanjangan masa jabatan hakim menjadi 15 tahun, dari yang sebelumnya dipilih dalam satu periode untuk waktu lima tahun dan selanjutnya dapat dipilih untuk satu periode kembali. Total, UU MK yang lama hanya memungkinkan seorang hakim untuk menjabat 10 tahun. Selain itu, RUU MK juga mengatur usia pensiun hakim 70 tahun dan usia minimal hakim untuk menjabat ialah 55 tahun.
Dalam laporannya, Ketua Panja RUU MK Adies Kadir mengatakan, RUU MK telah mengikuti proses sesuai tahapan pembentukan UU. RUU itu dibahas pertama kali pada 24 Agustus 2020 dan tuntas dibahas dalam pembicaraan tingkat pertama pada 31 Agustus 2020. Dengan disahkannya RUU MK dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, RUU itu tuntas dibahas hanya dalam tujuh hari.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, bagi MK secara kelembagaan, revisi UU MK ini merugikan. Sebab, revisi tidak mengatur secara jelas mengenai tata cara seleksi hakim konstitusi di pemerintah, DPR, ataupun Mahkamah Agung (MA).
Kondisi ini membuat seleksi hakim MK di masa depan berpotensi sekadar menjadi formalitas semata. Tiap lembaga pengusul, yakni Presiden, DPR, ataupun MA, semakin memiliki nilai tawar yang kuat dalam memilih hakim MK lantaran masa jabatan mereka yang panjang.
”Bisa saja nanti hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang memang sudah disiapkan oleh lembaga pengusul dan sudah dapat dipastikan loyalitasnya kepada kepentingan pengusul. Hal ini tentu merugikan MK secara kelembagaan sebagai penjaga konstitusi,” tuturnya.
Karena tidak ada aturan yang sama dalam seleksi hakim MK, publik tidak dapat memastikan seleksi hakim yang dilakukan oleh Presiden, DPR, ataupun MA itu telah memenuhi prinsip obyektif, akuntabel, dan transparan.
Bukan tidak mungkin, menurut Bayu, hakim yang terpilih bukanlah orang yang berkualitas baik. Akibatnya, hakim yang terpilih tersebut akan terus menjadi hakim selama 15 tahun dan tidak dapat dievaluasi karena tidak ada pengetatan kode etik yang diatur di dalam revisi UU MK.
Dampak lanjutan dari pengesahan RUU MK, publik semakin kehilangan kepercayaan pada putusan-putusan MK. ”Misalnya, ketika MK memutus tentang UU Minerba, UU Stabilitas Keuangan Negara dalam masa pandemi Covid-19 (Perppu Nomor 1 Tahun 2020), dan RUU Cipta Kerja yang juga berpotensi diundangkan, publik akan mengaitkannya dengan dugaan barter masa jabatan hakim MK,” katanya.
Di sisi lain, putusan MK juga makin kehilangan wibawa dan tidak menutup kemungkinan akan banyak yang tidak mematuhi putusan MK.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, evaluasi terhadap hakim MK itu sempat mengemuka dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR. Namun, pada akhirnya, usulan itu tidak diakomodasi karena berpotensi mengganggu independensi hakim. Adanya evaluasi kepada hakim dikhawatirkan membuat hakim merasa terikat karena sewaktu-waktu dapat diganti jika tidak sesuai dengan kemauan pengusul.
”Ada kekhawatiran itu akan mengganggu independensi hakim. Sama saja itu dianggap dengan periodisasi kalau ada evaluasi lima tahunan. Adapun terkait dengan pengaturan kode etik, hal itu tetap sesuai dengan aturan sebelumnya,” katanya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, tidak adanya mekanisme evaluasi sangat membahayakan kelembagaan MK karena hakim menjabat sangat lama. Masa jabatan yang lama seharusnya diimbangi dengan pengetatan dan pengawasan terhadap hakim MK. Sayangnya, hal itu tidak diatur di dalam revisi UU MK. Dengan ketiadaan evaluasi, penyalahgunaan kewenangan sangat mungkin terjadi.