Peluang Revisi Menggerus Citra MK
Penyikapan publik terhadap revisi UU Mahkamah Konstitusi terlihat dari hasil jajak pendapat ”Kompas”. Sebagian responden (42,7 persen) menilai bahwa revisi UU MK cukup mendesak, sedangkan 49,7 persen justru sebaliknya.
Mahkamah Konstitusi diharapkan tetap menjadi penjaga marwah konstitusi. Publik cukup mengapresiasi kinerja lembaga yang berdiri sejak 2003 ini di tengah revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Penyikapan publik terhadap revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pekan ini. Sebagian responden (42,7 persen) menilai revisi UU MK cukup mendesak dilakukan, sedangkan sebagian lainnya (49,7 persen) menilai sebaliknya. Sikap yang relatif terbelah ini tampaknya dipengaruhi minimnya pengetahuan publik akan isu ini. Mayoritas publik (75,8 persen) menyatakan tidak mengetahui ada pembahasan revisi UU MK di DPR.
Relatif minimnya pembahasan di media massa tentang materi revisi UU MK membuat publik lebih banyak menilai proses pelaksanaan revisi dari sudut pandang kepantasan dan etika di tengah pandemi. Padahal, materi revisi UU MK tergolong strategis karena menyangkut kewenangan, transparansi kinerja, hak dan kewajiban, serta profesionalitas MK.
Revisi yang kembali dilaksanakan saat ini menimbulkan banyak pertanyaan karena materi revisi tidak terkait dengan upaya perbaikan kinerja MK, tetapi cenderung hanya berkutat pada diri hakim konstitusi dan memberikan keuntungan parsial kelembagaan.
Salah satu yang menjadi polemik adalah terkait batas usia hakim konstitusi yang dinilai hanya menguntungkan hakim konstitusi saat ini karena batas usianya menjadi 60 tahun, memperpanjang masa jabatan menjadi lima tahun, serta usia pensiun menjadi 70 tahun.
Baca juga : DPR dan Pemerintah Sepakat Sahkan RUU MK
Sejumlah pihak menyoroti kerugian publik pencari keadilan yang ”dipaksa” menerima keberadaan hakim konstitusi dalam periode yang lebih panjang, termasuk jika kualifikasi dan kinerja sang hakim dianggap kurang. Pada periode sebelumnya yang lebih pendek, hakim bisa diganti jika dinilai tidak berkinerja baik.
Ada pula pandangan bahwa perpanjangan periodisasi masa jabatan hakim konstitusi justru upaya melepaskan kepentingan politik dalam hal keputusan hasil pemilu karena dilampauinya periode pemilu itu sendiri. Artinya, ada kekhawatiran periode masa jabatan yang pendek selama ini dan usia yang relatif muda untuk menjadi hakim konstitusi menjadi pintu masuk potensial penyalahgunaan wewenang.
Namun, ada pula pandangan bahwa perpanjangan periodisasi masa jabatan hakim konstitusi justru upaya melepaskan kepentingan politik dalam hal keputusan hasil pemilu karena dilampauinya periode pemilu itu sendiri. Artinya, ada kekhawatiran periode masa jabatan yang pendek selama ini dan usia yang relatif muda untuk menjadi hakim konstitusi menjadi pintu masuk potensial penyalahgunaan wewenang.
Sementara itu, kinerja pelaksanaan tugas MK belum menunjukkan hasil signifikan di mata publik. Kepuasan publik terhadap kinerja MK secara umum masih mencapai 49 persen responden. Adapun mereka yang belum puas 39,9 persen responden. Kepuasan publik terhadap kinerja MK dalam hal memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara juga mendapat apresiasi senada, hanya mencapai 45,2 persen.
Sebanyak 43,5 persen responden juga tidak puas dengan kinerja MK dalam menguji materi UU terhadap UUD 1945. Sementara kinerja MK dalam memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara dinilai tidak memuaskan oleh 38,2 persen responden.
Kiprah MK yang paling menonjol adalah dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilu, seperti perselisihan hasil Pemilu 2014, Pemilu 2019, ataupun pemilihan kepala daerah yang diapresiasi oleh 54,6 persen responden. Terhadap sumbangsih dalam menyelesaikan kemelut berbagai hasil pemilu tersebut, MK sejauh ini masih diakui masyarakat sebagai lembaga yang paling bisa diterima keputusannya terkait final dan mengikatnya sebuah akhir perselisihan hasil pemilu.
Revisi berulang
Revisi terhadap UU MK yang dilakukan saat ini bukan hal baru. Sebelumnya, revisi UU MK pernah dilakukan pada 2011 terhadap 31 pasal. Usul merevisi UU MK juga pernah mencuat pada 2016.
Namun, revisi kali ini yang diinisiasi oleh Badan Legislasi DPR banyak menimbulkan pertanyaan. Sebab, substansi revisi UU MK dinilai cacat prosedur dan diusulkan saat masa pandemi Covid-19 melanda. Tak pelak, sebagian publik beranggapan bahwa ada motif politik di balik revisi ini.
Dalam draf revisi UU MK yang beredar setidaknya ada tiga ketentuan yang berubah. Contohnya adalah Pasal 4 draf RUU MK yang mengatur masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun. Ketentuan ini mengubah pasal serupa dalam UU No 8/2011 yang menyebutkan bahwa masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan.
Dalam hal ini, publik cenderung sepakat (59,9 persen) masa kerja hakim konstitusi menjadi lima tahun. Namun, resistensi juga cukup tinggi karena ada 34,8 persen responden yang menolak perpanjangan itu.
Adapun pada Pasal 15 Ayat (2) Huruf d RUU MK, syarat usia minimal calon hakim konstitusi diubah dari 47 tahun jadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal. Di sini, penolakan publik lebih jelas terlihat. Sebanyak 57,3 persen responden menolak batas usia hakim konstitusi MK menjadi 60 tahun. Penolakan berdasarkan pada pemikiran bahwa integritas dan kemampuan seseorang tidak bisa diukur dari tua usia hakim.
Selain itu, Pasal 87 Huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No 24/2003 terkait periodisasi masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Akibatnya, usia pensiun hakim bisa mencapai usia 70 tahun.
Publik menilai, ada persoalan lebih mendesak yang seharusnya dibahas dalam revisi UU MK demi perbaikan kinerja MK dan optimalisasi kewenangan MK dalam perlindungan hak konstitusional warga negara. Publik juga lebih membutuhkan transparansi kinerja, hak dan kewajiban, serta profesionalitas hakim konstitusi.
Proses samar
Revisi UU MK sebenarnya tak masuk dalam daftar Prolegnas prioritas 2020. Namun, belakangan, pada 2 April 2020, revisi UU ini disetujui DPR masuk sebagai daftar kumulatif terbuka. Panitia Kerja DPR pun menggelar pembahasan revisi UU MK bersama pemerintah melalui rapat tertutup.
Kehadiran revisi UU MK yang materinya justru berputar soal administrasi, pengisian jabatan hakim, dan periodisasi menyiratkan kurangnya kepekaan dan solidaritas terhadap kondisi masyarakat yang berada dalam darurat pandemi Covid-19.
Dengan demikian, pembahasan revisi UU MK tampak sangat kurang dalam keterlibatan publik. Mayoritas responden jajak pendapat (69,4 persen) menilai, keterlibatan publik dalam pembahasan revisi UU MK belum memadai.
Pembahasan revisi UU MK tampak sangat kurang dalam keterlibatan publik. Mayoritas responden jajak pendapat (69,4 persen) menilai, keterlibatan publik dalam pembahasan revisi UU MK belum memadai.
Revisi UU MK tanpa alasan dan tujuan yang jelas berpotensi memperburuk kualitas putusan MK itu sendiri. Publik pun ”dipaksa” menerima hasil revisi meski tidak dilibatkan dalam penyusunan lewat proses pembobotan antara pembentuk UU dan elemen masyarakat sipil. Tak pelak, revisi menghadirkan kekhawatiran munculnya konflik kepentingan.
Baca juga : Pembahasan RUU MK Diduga Sarat Kepentingan
Bagaimanapun, kekhawatiran itu beralasan karena berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, MK adalah salah satu lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. MK merupakan produk reformasi melalui perubahan ketiga UUD 1945 dan diresmikan kelahirannya pada 13 Agustus 2003.
Besarnya domain kekuasaan konstitusi MK terlihat dari kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD.
MK sebagai lembaga penegak konstitusi masih memiliki citra baik cukup tinggi, mencapai 56,3 persen. Citra baik sangat ditentukan kepercayaan publik terhadap MK. Adapun substansi revisi UU MK berpeluang menggerus kepercayaan publik yang berakibat pada turunnya citra MK. Pada titik inilah, publik berharap revisi tidak justru melemahkan lembaga penjaga konstitusi tersebut.