Jakob Oetama menilai kebebasan pers adalah salah satu inti demokrasi. Menurut Jakob, pers menjadi integral dalam proses demokrasi dalam memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi proses politik dengan lebih terinformasi.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah berusia lebih dari dua dekade. Namun, bukan berarti pelanggaran kebebasan pers telah sepenuhnya musnah dari negeri ini.
Akhir Agustus 2020, ancaman terhadap kemerdekaan pers mewujud pada peretasan situs media Tempo.co dan Tirto.id. Belum lagi terjadinya pemidanaan terhadap wartawan yang kritis terhadap penguasa di daerah, seperti Diananta Putra Sumedi dari media Banjarhits.id di Kalimantan Selatan.
Indeks kebebasan pers Indonesia pun sempat mengalami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir, seperti pada 2018 dan 2019, ketika Indonesia berada di posisi 124. Baru pada 2020 naik lima peringkat menjadi 119. Namun, kebebasan pers Indonesia telanjur sudah terlampaui oleh negara yang pers biasanya dipandang lebih terkekang, seperti Malaysia. Malaysia yang pada 2018 berada di posisi ke-145 kini melesat ke peringkat 101 pada 2020.
Apakah pers integral dalam demokrasi? Kebebasan demokrasi memerlukan kebebasan berekspresi. Dan apakah karenanya juga memerlukan kebebasan pers?
Ini adalah ”gugatan” Jakob Oetama terhadap peran pers—termasuk dirinya sendiri—yang ditulisnya dalam sebuah artikel di Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus (2001).
Jakob sendiri bukan figur yang asing dengan insiden perampasan kebebasan pers. Pada 25 Januari-5 Februari 1978, Kompas diberedel oleh pemerintahan Orde Baru atas pemberitaan unjuk rasa mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
Menurut Jakob, pers menjadi integral dalam proses demokrasi dalam memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi proses politik dengan lebih terinformasi.
”Untuk menjalankan hak dan kewajibannya, rakyat memerlukan perangkat, di antaranya media massa. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, saksama, dan lengkap. Otonomi dan independensi memudahkan perolehan, penggarapan serta presentasi informasi yang benar, saksama, lengkap. Sering juga disebut berimbang atau cover both sides,” tulis Jakob dalam Pers Indonesia (2001).
Dalam kata lain, karakteristik pers yang harus memberikan informasi dengan lengkap dapat menjadi penyeimbang pernyataan pemerintah. Menyitir Dr Robert A Dahl, Jakob menilai inilah fungsi pers sebagai the availability of alternative and independent sources of information atau sumber informasi alternatif yang independen.
Untuk menjalankan hak dan kewajibannya, rakyat memerlukan perangkat, di antaranya media massa. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, saksama, dan lengkap. Otonomi dan independensi memudahkan perolehan, penggarapan, serta presentasi informasi yang benar, saksama, dan lengkap.
Jakob berpandangan pers harus melakukan peranannya mencerdaskan bangsa, mencerdaskan masyarakat. Melalui proses itu, menurut dia, harus tumbuh suatu kondisi yang disebutnya enlightened understanding atau pemahaman yang tercerahkan di masyarakat mengenai persoalan publik, politik, dan proses politik.
”Lewat enlightened understanding itu, masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif serta memengaruhi agenda publik. Lewat upaya pencerdasan, kesadaran masyarakat terhadap hukum semakin tinggi dan tidak akan mudah menempuh jalan main hakim sendiri, termasuk terhadap pers,” tulisnya.
Sensasionalitas
Sejumlah persoalan yang diamati Jakob pada awal masa Reformasi pun ternyata masih membelit dunia pers Indonesia hingga saat ini. Krisis multidimensi 1998 ternyata memiliki sedikit kemiripan dengan kondisi krisis akibat pandemi Covid-19.
Jakob menggarisbawahi bahwa pada periode 1998–1999, tantangan yang dihadapi industri media bukanlah bagaimana mengembangkan diri, melainkan bagaimana cara untuk survive, bertahan hidup.
Selepas runtuhnya hegemoni otoritarian Orde Baru, euforia kebebasan pers membuncah. Sebelum reformasi, ada 217 media yang terdaftar. Setelahnya, ada lebih dari 3.000 media. Untuk bisa bertahan hidup, berbagai media ini pun berusaha menarik perhatian. ”Namanya juga business of attention,” kata Jakob.
Adagium ini pun ternyata masih relevan hingga kini. Pers harus bersaing untuk menarik perhatian pembaca. Tidak hanya antara satu dan yang lain, tetapi juga dengan influencer dan pembuat konten digital lainnya. Ekses dari kondisi ini—baik di awal Orde Reformasi maupun situasi aktual kini—adalah sensasionalitas.
Kita masih berada dalam terowongan, tetapi sinar cahaya berpijar, yakni kebebasan; kebebasan pers. Pandai-pandailah kita memelihara serta menyuburkannya.
”Berbagai cara bertahan hidup ditempuh, di antaranya memanfaatkan euforia kebebasan serta memanfaatkan longgarnya seluruh social fabric masyarakat dan pemerintahan kita. Munculah berita, liputan, dan komentar yang berdimensi dan berwarna kuat sensasi, bahkan sensasionalisme,” tulis Jakob.
Jakob mengingatkan bahwa masih ada jalan lain selain sensasionalisme yang dapat ditempuh masyarakat pers. Cara itu adalah pengelolaan penerbitan yang lebih dekat dengan pembaca dan pelanggan. ”Bukan apa yang penerbit atau wartawan mau, tetapi apa yang pembaca mau,” kata Jakob.
Kelincahan mengadopsi media baru, seperti internet, juga menjadi langkah penting yang harus dipahami, media baru dan segala macam turunannya harus disikapi secara positif-kreatif, bukan sekadar negatif-menolak.
Itu semua adalah gagasan Jakob tentang bagaimana mengarungi lautan krisis pada awal Reformasi dulu—yang ternyata masih tetap relevan 20 tahun kemudian. Namun, Jakob mengingatkan bahwa segala gagasan itu tidak akan bisa tumbuh apabila ”tanahnya” tidak subur. Tanah itu adalah kebebasan dan kemerdekaan pers, baik untuk hari ini maupun masa yang akan datang.
”Kita masih berada dalam terowongan, tetapi sinar cahaya berpijar, yakni kebebasan; kebebasan pers. Pandai-pandailah kita memelihara serta menyuburkannya. Bagi para penerbit, masyarakat pers, dan media massa, kebebasan merupakan modal yang menjadi jaminan, napas, serta lingkungan hidup kita,” ujarnya menutup tulisan yang ditulisnya pada 1998 tersebut.
Kini pertanyaan, sampai berapa lama masyarakat Indonesia dan pemerintahnya masih betah berada di dalam terowongan yang gelap ini?