Sistem proteksi gedung Kejaksaan Agung dalam menghadapi kebakaran dinilai lemah. Hidran diketahui tidak mengalirkan air saat kebakaran terjadi. Padahal, gedung Kejaksaan Agung punya potensi sangat tinggi untuk terbakar.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM/KURNIA YUNITA RAHAYU/HARRY SUSILO/INSAN AL FAJRI/NORBERTUS ARYA DWIANGGA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gedung utama Kejaksaan Agung yang terbakar pada Sabtu (22/8/2020) malam dinilai lemah dari sisi sistem manajemen proteksi bangunan gedung dalam menghadapi kebakaran. Hal ini terlihat dari tidak berfungsinya hidran air saat kebakaran terjadi dan ketiadaaan dokumen terkait keamanan gedung dari api.
Tim Kompas menelusuri gedung utama Kejaksaan Agung, Minggu (27/9/2020). Belum ada banyak perubahan sejak gedung itu terbakar satu bulan yang lalu, 22 Agustus. Hampir seluruh bagian bangunan enam lantai itu luluh lantak dan dipenuhi jelaga. Bau asap bercampur bara masih kuat. Udara di sekitar gedung pun terasa pedih di mata.
Gedung itu terlihat memanjang utuh jika dilihat dari Jalan Panglima Polim, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gedung tersebut terbagi menjadi dua bagian, utara dan selatan. Di sisi utara, kerusakan parah merata pada semua bagian, termasuk ruang kerja Jaksa Agung di lantai dua.
Begitu juga Sasana Andrawina, lantai dasar, yang selama beberapa bulan ini digunakan sebagai tempat penyimpanan arsip kepegawaian. Tumpukan kertas terikat berserakan bercampur abu dan bangkai peralatan kantor lainnya. Sementara itu di sisi selatan, kerusakan relatif lebih ringan karena api menjalar lebih dulu dari utara hingga ke selatan.
Kepala Peleton B, dari Stasiun Pemadam Kebakaran Sektor II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Dedy, yang bersama timnya pertama kali di lokasi kebakaran, mengungkapkan, terdapat selang yang tersambung ke hidran yang ada di halaman gedung, tetapi tidak dapat mengalirkan air.
”Kami harus mencari air sampai ke Mabes Polri dan tanki air di luar gedung,” ujar Dedy, saat ditemui, pekan lalu.
Kami harus mencari air sampai ke Mabes Polri dan tanki air di luar gedung.
Oleh karena itu, butuh waktu cukup lama bagi petugas untuk mengambil sumber air dari Mabes Polri yang berjarak sekitar 500 meter. Saat itu, kobaran api terus membesar, tidak hanya di sisi utara, tetapi juga ke sisi-sisi lainnya. Kebakaran pun kian menjadi-jadi di tengah cuaca panas dan angin yang bertiup kencang.
Menurut Dedy, cepatnya api membesar diduga karena banyaknya bahan-bahan mudah terbakar. Pernyataan Dedy itu dikuatkan Agus, Kepala Peleton C dari Stasium Pemadam Kebakaran Sektor II Kebayoran Baru. Ia bersama timnya merupakan tim yang bertugas saat proses pendinginan pada Minggu (23/8/2020). Di dalam gedung yang sudah padam itu terlihat banyak tumpukan kertas yang masih menyisakan bara hingga 12 jam setelah kebakaran dinyatakan padam.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, sistem hidran merupakan salah satu sistem proteksi aktif dalam sebuah bangunan gedung. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan mencantumkan, pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 38 liter per detik serta mampu mengalirkan air minimmal selama 30 menit.
Ahli kebakaran yang juga Guru Besar Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Pelita Harapan Prof Manlian Ronald A Simanjuntak menilai, di luar adanya kesengajaan, ia menemukan sejumlah kejanggalan terkait ketidaksiapan gedung dalam menghadapi kebakaran.
”Dan, saya berani menyampaikan itulah kelemahannya. Aspek manajemen keselamatan penyelenggaraan gedung Kejagung lemah. Itu yang saya soroti,” kata Manlian.
Ketidaksiapan gedung menghadapi kebakaran itu terlihat dari pengamatannya pada 23 Agustus 2020 lalu atau beberapa jam setelah kebakaran. Dari segi teknis, kata Manlian, petugas pemadam kebakaran yang harus mencari sumber air di luar gedung tersebut menunjukkan hidran di area gedung tak berfungsi optimal.
Saya berani menyampaikan itulah kelemahannya. Aspek manajemen keselamatan penyelenggaraan gedung Kejagung lemah. Itu yang saya soroti.
Dari sisi administrasi, ia juga menemukan minimnya data-data dokumen terkait keandalan gedung dalam menghadapi kebakaran. Di antaranya, ketiadaan data desain, gambar gedung, dan data umur kabel.
”Saya belum menemukan adanya desain lengkap, adanya IMB. Jadi, bagaimana saya mau memastikan sistem kebakarannya oke atau tidak. Saya tidak menemukan dokumen-dokumen itu. Saya tanyakan (ke pihak Kejaksaan Agung) data-data kebakaran terakhir juga tidak ada. Paling yang tahun 1975 dulu,” ucap Manlian.
Padahal, menurut Manlian, potensi terbakar gedung Kejaksaan Agung itu sangat tinggi, antara lain karena usianya yang sudah lebih dari 50 tahun ke atas. Seharusnya, gedung dengan usia tersebut sudah dilakukan pembaruan mengenai keandalan menghadapi kebakaran.
Penyelidikan
Dari pengamatannya di lokasi kebakaran, Manlian belum menemukan indikasi kesengajaan dalam peristiwa yang masih diselidiki Bareskrim Polri tersebut. Sebelumnya, Kamis (17/9/2020), Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, sumber api dalam kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung dari nyala api terbuka. Untuk itu, penyidik berkesimpulan ada unsur pidana dalam kebakaran tersebut. Polisi sudah memeriksa 131 saksi.
Menurut Manlian, faktor risiko dan latar belakang keandalan gedung dalam menghadapi api juga perlu dimasukkan dalam penyelidikan. Penyidikan kepolisian yang hanya mengejar orang yang bersalah merupakan proses yang prematur.
Sebagai informasi, gedung utama Kejagung yang terbakar turut menghanguskan ruang kerja Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Ari Muladi, Jaksa Agung Muda Pembinaan beserta stafnya, dan Jaksa Agung Muda Intelijen. Di dalam gedung itu juga ada beberapa biro di bawah Jaksa Agung Muda Pembinaan, misalnya Kepala Biro Kepegawaian, Kepala Biro Perlengkapan, Kepala Biro Keuangan, Kepala Biro Umum, dan Kepala Biro Perencanaan.
Di antara sejumlah ruangan yang terbakar itu terdapat pula bekas ruangan Pinangki Sirna Malasari, mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan, yang berada di bawah Jaksa Agung Muda Pembinaan. Ia dicopot dari jabatan itu pada akhir Juli 2020 atau sebulan sebelum kebakaran karena terlibat suap untuk membebaskan terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Tjandra. Adapun kasus Joko Tjandra selama belasan tahun ini memang ditangani Kejaksaan Agung.
Berdasarkan pengamatan Kompas, ruangan Pinangki yang terbakar di lantai tiga sisi selatan gedung utama Kejagung kondisinya tidak terlalu parah dibandingkan ruangan di lantai yang sama di sisi utara. ”Dulu dia di situ (lantai tiga), kan, setelah dicopot jabatannya kemudian pindah di Litbang Kejagung,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono.
Hari menegaskan, tidak ada kaitan antara kasus Pinangki dan kebakaran gedung utama Kejagung. Perkara Pinangki pun saat ini sudah bergulir di pengadilan. Dakwaan atas dirinya telah dibacakan. Selain itu, tidak ada berkas perkara, termasuk terkait Pinangki dan Joko Tjandra, yang hilang karena kebakaran. Sebab, penyimpanan berkas ada di gedung Jaksa Agung Muda Pidana Khusus yang terpisah dari lokasi kebakaran.