Selain Larang Unjuk Rasa Penolakan UU Cipta Kerja, Polri Juga Lakukan Patroli Siber
Tidak hanya melarang unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja, Polri juga melakukan patroli siber. Jajaran Polri juga diperintahkan melakukan kontranarasi isu yang dianggap mendiskreditkan pemerintah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia melarang aksi buruh yang akan dilaksanakan pada 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk protes terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Alasannya, aksi tersebut berpotensi menimbulkan keramaian massa sehingga sangat rawan terjadi penyebaran virus Covid-19.
Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis menerbitkan surat telegram rahasia bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 untuk mengantisipasi demonstrasi sebagai buntut dari pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Telegram itu ditandatangani Asisten Kapolri Bidang Operasi Irjen Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis dan ditujukan kepada para kapolda.
Sebelumnya, Senin (5/10/2020), di Kompleks Parlemen, Sidang Paripurna DPR menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU itu menimbulkan penolakan di kalangan buruh dan pekerja.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono membenarkan larangan aksi para buruh tersebut seperti yang tertuang dalam surat telegram rahasia Kapolri. Menurut Argo, di tengah pandemi Covid-19, keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi atau salus populi suprema lex esto.
”Telegram itu benar, sebagaimana pernah disampaikan Kapolri, di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi,” kata Argo melalui keterangan tertulis, yang diterima Kompas, Selasa (6/10/2020).
Surat telegram tersebut dikeluarkan, lanjut Argo, demi menjaga situasi keamanan yang kondusif dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) saat pandemi. Apalagi, pemerintah sedang berupaya untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona baru.
Argo menambahkan, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, penyampaian aspirasi atau demonstrasi memang tidak dilarang.
Namun, kata Argo, di tengah situasi pandemi, kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan terjadi penyebaran virus korona lantaran pengabaian terhadap protokol kesehatan.
”Polri tidak memberikan izin demontrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang dengan tujuan mencegah penyebaran Covid-19. Ini juga sejalan dengan maklumat Kapolri. Kami minta masyarakat untuk mematuhinya,” tutur Argo.
Memaksimalkan fungsi intelijen
Dalam surat telegram rahasia, Kapolri juga meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi konflik sosial dan aksi anarkistis di wilayah masing-masing.
Pencegahan itu bisa dilakukan dengan melakukan pemetaan di perusahaan atau sentra produksi strategis terhadap pihak-pihak yang mencoba memprovokasi atau memaksa buruh untuk ikut mogok kerja dan unjuk rasa. Selain itu, berkoordinasi dengan seluruh elemen masyarakat.
Seluruh jajaran Porli juga tidak diperbolehkan memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan. Antisipasi harus dilakukan di hulu lewat pencegahan unjuk rasa yang menyasar penutupan jalan tol.
Apabila massa tidak mengindahkan imbauan kepolisian, Idham memperkenankan jajarannya menerapkan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Selain antisipasi demonstrasi, surat telegram tersebut juga meminta kepada seluruh jajaran Polri untuk melakukan patroli siber di media sosial (medsos). Ini untuk mengantisipasi merebaknya penyebaran informasi palsu atau hoaks terkait dengan isu RUU Cipta Kerja.
Jajaran Polri bahkan diminta memaksimalkam manajemen media terkait dengan pembangunan opini publik. ”Lakukan kontranarasi isu yang mendiskreditkan pemerintah,” ucap Argo.
Aksi mogok nasional
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai, pengesahan RUU Cipta Kerja menunjukkan ketidakpedulian pemerintah dan wakil rakyat terhadap nasib rakyat. DPR dan pemerintah sama sekali tidak mendengar aspirasi rakyat.
”Kami mendesak agar RUU Cipta Kerja tidak dibahas. Pemerintah dan DPR terus menutup mata dan telinga mereka atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat,” ucap Nining.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono juga menegaskan bahwa aksi mogok nasional tetap dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pengesahan RUU omnibus law Cipta Kerja.
Sejak Senin malam, beredar surat KSPI terkait pembatalan aksi mogok nasional yang akan dilakukan pada 6-8 Oktober 2020. Namun, hal tersebut dibantah KSPI.
”Kami sampaikan bahwa surat tersebut adalah hoaks. Tidak benar. Sikap KSPI tidak berubah. Tetap melakukan mogok nasional sebagai bentuk protes terhadap disahkannya omnibus law Cipta Kerja,” ucap Kahar.
Menurut Kahar, surat hoaks tersebut merupakan upaya melemahkan aksi penolakan RUU Cipta Kerja. ”Kami mengimbau kepada buruh Indonesia dan elemen masyarakat yang lain untuk mengabaikan surat tersebut,” katanya.