MA Keluarkan Pedoman Sidang Pidana Virtual
Data Mahkamah Agung, hingga Selasa (6/10/2020), 424 orang di lingkup pengadilan dinyatakan positif Covid-19. Di tengah kondisi itu, MA mengeluarkan pedoman persidangan pidana virtual.
JAKARTA, KOMPAS — Pada bulan ketujuh pandemi Covid-19 di Indonesia, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman persidangan pidana virtual. Meskipun dinilai terlambat, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 diapresiasi sebagai langkah mitigasi penularan virus.
Apalagi, di lingkungan pengadilan, tren penularan virus makin meluas sehingga pelayanan peradilan ditutup sementara. Data Mahkamah Agung, hingga Selasa (6/10/2020), 424 orang di lingkup pengadilan dinyatakan positif Covid-19.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah, Rabu (7/10/2020), mengatakan, Peraturan MA (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik diundangkan pada 29 September. Perma No 4/2020 mengatur lebih detail pedoman pelaksanaan sidang pidana virtual di pengadilan.
Perma tersebut menyempurnakan pedoman tentang persidangan pidana virtual yang sebelumnya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 1/2020 serta perjanjian kerja sama antara MA, Kejaksaan Agung, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebagian pengadilan juga sudah menerapkan sidang pidana secara virtual.
Namun, penyelenggaraan sidang pidana virtual dengan payung hukum kedua aturan itu masih belum seragam. Oleh karena itu, dibutuhkan pedoman yang lebih detail tentang sidang telekonferensi tersebut.
Saat ini, Peraturan MA No 4/2020 itu sedang disosialisasikan kepada badan peradilan di bawah MA. Jika pada SEMA No 1/2020 hanya disarankan pelaksanaan sidang pidana secara daring, dalam Perma No 4/2020 diatur lebih detail. Misalnya, jika di tempat penahanan terdakwa tidak ada fasilitas sidang virtual, terdakwa didampingi kuasa hukum dapat mengikuti sidang dari kantor penuntut.
Perma juga mengatur tentang mekanisme pembuktian yang selama ini masih sulit jika dilakukan secara daring. Pada Pasal 14 disebutkan, pemeriksaan barang bukti dilakukan dengan memperlihatkan bukti foto atau video kepada majelis hakim. Hakim kemudian akan mencocokkan foto dan video tersebut dengan barang bukti asli yang dikirim ke pengadilan.
Untuk pemeriksaan saksi, juga bisa dilakukan di luar ruangan sidang. Namun, saksi harus menunjuk satu orang hakim dan panitera untuk mengawasi jalannya sidang. Hakim dan panitera boleh ditunjuk dari lokasi pengadilan terdekat dengan domisili saksi.
”Sidang virtual sebenarnya bukan hal baru bagi MA karena MA sudah memulai untuk perkara perdata sejak 2018. Karena ada pandemi Covid-19, MA kemudian menyusun regulasi baru agar sidang pidana juga bisa dilaksanakan virtual. Ini termasuk sebagai langkah mitigasi dari penularan Covid-19,” terang Abdullah.
Menurut Abdullah, terkait dengan pelaksanaan sidang virtual, pihak yang memutuskan untuk menggelar adalah majelis hakim pemeriksa perkara. Mereka yang dapat menentukan parameter bahwa sidang dapat digelar secara virtual. Sejumlah parameter yang digunakan adalah keadaan tertentu yang berbahaya.
Misalnya, sidang perkara terorisme yang dianggap berbahaya dari sisi keamanan, sidang dengan saksi yang berada di lokasi terpencil, persidangan terkendala bencana alam, dan bencana non-alam pandemi Covid-19.
”Misalnya, di pengadilan yang berada di zona merah seperti Jakarta. Apakah ada jaminan terdakwa tidak tertular Covid-19 saat perjalanan dari rumah tahanan ke pengadilan? Itu semua akan diputuskan oleh majelis hakim pemeriksa perkara yang tahu risiko dan aspek bahayanya,” imbuh Abdullah.
Abdullah juga menyoroti persidangan kasus yang disoroti publik di masa pandemi ini, seperti sidang kasus Jiwasraya, kasus rencana aksi yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari, hingga kasus Joko Tjandra. Persidangan tersebut banyak disorot oleh media massa sehingga terkadang aspek protokol kesehatan luput dilaksanakan.
Dalam keadaan seperti ini, majelis pemeriksa perkara dapat mengatur mekanisme agar tidak terjadi kerumunan. Misalnya, membatasi orang yang masuk ke dalam ruangan sidang. Kemudian, menyediakan layar di luar ruangan sidang yang bisa dimonitor oleh pewarta.
Baca juga: Penularan Covid-19 di Pengadilan Meluas, Regulasi Sidang Virtual Dibutuhkan
Abdullah juga mengatakan bahwa Perma No 4/2020 dibuat agar persidangan perkara pidana tidak lepas demi hukum. Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah pengadilan negeri menutup akses pelayanan publik karena hakim dan aparatur sipil negara (ASN) positif terpapar Covid-19.
Masa penutupan pelayanan publik tersebut bervariasi. Agar perkara tidak lepas demi hukum karena masa penahanan berakhir, majelis hakim diberi opsi untuk melakukan persidangan secara virtual. Persidangan secara virtual juga relatif aman karena tidak harus melaksanakan protokol kesehatan yang ketat.
Menanggapi aturan terbaru persidangan secara virtual ini, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, pihaknya sejak awal sudah ikut mengusulkan persidangan virtual. Karena itu, jika kini hal tersebut menjadi kebijakan MA, Kejaksaan Agung siap mengikuti aturan tersebut. Kesiapan infrastruktur untuk menggelar sidang virtual juga akan disediakan oleh Kejaksaan Agung.
Sedikit terlambat
Sementara itu, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah, mengatakan, keluarnya Perma No 4/2020 cukup terlambat karena sudah tujuh bulan lebih masyarakat berperang melawan Covid-19.
Data dari Mahkamah Agung (MA) yang disampaikan Pelaksana Tugas Sekretaris MA Aco Nur menyebutkan, 424 orang di lingkup pengadilan positif Covid-19. Data tersebut dihimpun sampai Selasa (6/10/2020). Dari total 424 orang yang positif Covid-19 itu, 9 orang di antaranya meninggal.
Namun, jika merujuk data Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), ada 59 hakim wafat pada periode Januari-September 2020. Angka kematian pada September paling tinggi, yaitu 18 orang. Meskipun tidak secara spesifik menyebutkan penyebab kematian, Liza meyakini ada kaitan penyebab kematian itu dengan Covid-19. Sebab, data yang diunggah di laman resmi Ikahi itu diselipi saran menaati aturan protokol kesehatan.
”Meskipun disayangkan keluarnya baru sekarang, kami apresiasi langkah MA menyeragamkan pedoman penyelenggaraan persidangan secara virtual. Aturan ini mengatur lebih detail soal teknis persidangan pidana virtual,” kata Liza.
Menurut Liza, masyarakat sipil memang mendorong agar regulasi sidang virtual segera dikeluarkan di masa pandemi Covid-19. Situasi luar biasa membuat persidangan pidana secara virtual dapat menjadi langkah mitigasi penularan Covid-19 di lingkungan peradilan.
Namun, setelah situasi bencana non-alam ini selesai, masyarakat sipil berharap persidangan kembali ke sidang tatap muka secara fisik. Sebab, ada kekhawatiran sidang virtual kurang adil karena tidak terlihat secara fisik.
Sementara itu, Liza juga mengingatkan kejaksaan dan Ditjen Pemasyarakatan Kemenhkumham agar dapat mempersiapkan infrastruktur sidang virtual. Selama ini, banyak terjadi kendala sidang virtual tidak bisa dilangsungkan karena masalah teknis di kedua instansi tersebut.
Ada persoalan koneksi internet, fasilitas pendukung, hingga ruangan tempat bersidang jika dilakukan di luar pengadilan. Permasalahan teknis seperti itu harus segera dibenahi untuk mendukung implementasi Perma No 4/2020. Seluruh instansi terkait harus mendukung agar aturan tersebut dapat dioptimalkan untuk memitigasi penularan Covid-19.