Menkominfo Johnny G Plate menegaskan tak ada upaya memblokir media sosial setelah terjadi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja. Namun, Kemenkominfo akan patroli siber lalu meminta penyedia platform membersihkan hoaks.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO dan PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika membantah tudingan soal pemblokiran media sosial setelah terjadi aksi demonstrasi terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Kemenkominfo menegaskan hanya sebatas melakukan patroli siber agar ruang media sosial terbebas dari hoaks, narasi provokasi, dan ujaran kebencian.
Sebelumnya, di Twitter tersebar kabar bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan memblokir media sosial setelah terjadi gejolak akibat aksi protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. Narasi tersebut dicuit oleh akun Twitter, @PartaiSocmed, pada Kamis (8/10/2020) malam.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate saat dihubungi di Jakarta, Kamis malam, mengatakan, informasi tersebut tidak benar. ”Apa dasarnya blokir? Itu hoaks. Tidak pernah ada perintah, itu berarti hoaks,” ujarnya.
Johnny menyampaikan, Kemenkominfo hanya melakukan patroli siber untuk mengais informasi yang tidak benar yang beredar di media sosial. Perangkat yang digunakan adalah Security Operation Center Automatic Identification System (SOC-AIS).
Patroli siber, lanjut Johnny, tak hanya dilakukan saat ini ketika gejolak aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja meningkat. Namun, patroli juga dilakukan di kesempatan lain, misalnya di awal masa pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia sejak Januari 2020.
”Jadi, memang tugas kami untuk memilah informasi itu, sesuai UU (Informasi dan Transaksi Elektronik) atau tidak, benar apa salah, hoaks atau bukan. Masa hoaks dibiarkan. Disinformasi masa dibiarkan. Harus dibersihkan, tetapi membersihkan melalui platform digital, seperti biasa saja. Itu aturannya,” kata Johnny.
Di sisi lain, Johnny menuturkan, apabila di konten itu ditemukan pelanggaran hukum yang berdampak pada tindak pidana, akan dilakukan penegakan hukum oleh Bareskrim Polri.
Kemenkominfo pun tidak bisa asal memblokir. Kemenkominfo hanya bisa menyerahkan konten-konten bermasalah itu kepada platform digital. Pemblokiran dilakukan oleh platform tersebut.
”Kalau dia melanggar hukum, ya, kami minta kepada platform digital untuk melakukan proses take down. Sebab, kalau kami membiarkan, berarti kami tak melaksanakan undang-undang dan mengakibatkan masyarakat lain dirugikan karena mereka diisi oleh informasi yang salah. Tetapi, kalau memblokir informasi yang benar, nah, itu tidak boleh juga,” kata Johnny.
Johnny mengimbau agar publik bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial sehingga tidak malah memprovokasi masyarakat lain. ”Kami harap jangan itu dilakukan. Jangan menyebar hoaks atau memproduksi hoaks karena itu melanggar undang-undang dan sanksinya pidana. Bisa dihukum dan ditangkap penegak hukum,” ujarnya.
Dia mencontohkan, terkait penanganan hoaks Covid-19, sejak 30 Januari hingga 8 Oktober, Bareskrim Polri telah menemukan 104 kasus hoaks dan menetapkan 104 tersangka. Di antaranya, 17 orang ditahan karena menyebarkan hoaks.
Sementara itu, Kemenkominfo juga melakukan patroli siber terkait penanganan hoaks Covid-19. Dari 23 Januari hingga 8 Oktober, ditemukan ada 2.005 hoaks yang tersebar di empat platform digital. Platform digital itu adalah Youtube, Twitter, Facebook, dan Instagram. Dari total hoaks itu, setidaknya 1.739 konten hoaks telah diblokir oleh platform digital itu.
Memilah hati-hati
Ketua Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho, Jumat, menyampaikan, kesimpangsiuran informasi terkait UU Cipta Kerja terjadi akibat ketidakterbukaan pemerintah dan DPR terkait undang-undang yang telah disetujui tersebut. Tak heran, silang pendapat di media sosial terus terjadi. Bahkan, suara kritis yang substansial juga muncul dari kalangan yang memiliki kredibilitas, seperti akademisi, praktisi, aktivis, bahkan guru besar di sejumlah perguruan tinggi.
”Jadi, kalaupun ada informasi yang salah, itu mungkin tidak bisa dilabeli hoaks, tetapi bagian dari kesalahpahaman karena proses membangun komunikasi yang ideal itu tak terjadi jauh sebelum pengesahan UU Cipta Kerja. Suara-suara kritis dari yang memiliki kredibilitas itu pun bagian dari kebebasan pendapat yang wajib dihargai oleh semua pihak, oleh negara sekalipun,” ujar Septiaji.
Meskipun demikian, menurut Septiaji, konten-konten yang berisi provokasi, ujaran kebencian, bahkan informasi yang sesat perlu dilawan dan diklarifikasi. Sebab, narasi seperti itu merupakan unsur kesengajaan untuk membuat kerusuhan atau membuat orang-orang salah mengambil keputusan.
”Narasi seperti itu yang perlu kita lawan karena itu juga mengaburkan substansi dari diskursus kita. Jadi, kita perlu memilah dengan hati-hari. Tidak bisa hantam rata. Jangan sampai sikap kritis dan perbedaan pendapat menjadi alasan untuk proses pemidanaan terhadap suara-suara yang berbeda,” katanya.
Di tengah situasi seperti sekarang ini, menurut Septiaji, solusinya tak cukup hanya meluruskan informasi, salah atau benar. Namun, pemerintah dan DPR perlu menyatukan rasa kebersamaan dengan publik lewat dialog. Berdialog bisa melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar, sembari meluruskan informasi soal UU Cipta Kerja.
”Itu penting sekali mengajak tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh kuat di negara ini untuk dirangkul pemerintah untuk didengarkan suara-suara mereka seperti apa, langkah apa yang mesti dilakukan. Inilah demokrasi kita. Jadi, jangan sampai karena ada yang rusuh dan provokasi, lalu semua (media sosial) ditutup, malah rusak demokrasi kita,” ujar Septiaji.
Mafindo hingga kini juga kesulitan untuk mendata konten hoaks yang beredar di media sosial karena problem sosialisasi UU Cipta Kerja yang kurang optimal.