RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Lobi memuluskan pengesahan RUU Cipta Kerja total dilakukan oleh koalisi fraksi pendukung pemerintah yang menguasai mayoritas kursi di DPR, plus pemerintah. Kekuasaan mayoritas lagi-lagi tak berpijak pada suara publik.
Bangunan koalisi partai politik pendukung pemerintah kokoh dalam memuluskan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Partai Amanat Nasional yang sesungguhnya di luar koalisi, justru turut memperkokoh target koalisi. Kekuasaan mayoritas kembali dimanfaatkan untuk mengingkari kehendak publik.
Selama sekitar tiga jam Rapat Paripurna DPR untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berlangsung, Senin (5/10/2020), tak ada satupun nada protes terhadap RUU tersebut dari enam fraksi partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di DPR.
Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengikuti rapat, memilih diam dan mengikuti sikap fraksi yang mendukung pengesahan RUU.
Ketika nada protes pengesahan RUU muncul dari dua fraksi partai politik (parpol) di luar koalisi, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, sebagian anggota DPR dari koalisi parpol pendukung pemerintah, mencoba menjatuhkan. Teriakan “huuuuu…” terdengar serempak.
Baca juga: Serba Cepat untuk RUU Cipta Kerja
Kekokohan koalisi memuluskan pengesahan RUU Cipta Kerja itu pun lantas diperkuat dengan “bergabungnya” Partai Amanat Nasional (PAN), yang sebenarnya di awal pembahasan, menuntut penundaan pembahasan RUU karena dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
Alhasil, dengan mayoritas fraksi di DPR, berjumlah tujuh fraksi, menyetujui pengesahan, dua fraksi lainnya yang menolak tak bisa berbuat banyak.
Intensitas komunikasi
Menjelang keputusan pengesahan RUU Cipta Kerja, komunikasi di antara fraksi parpol kian intens. Di antara fraksi parpol pendukung pemerintah terutama, komunikasi dijalin untuk mengukuhkan soliditas. “Tidak ada fraksi yang ragu. Semua solid satu suara mendukung pengesahan RUU,” tutur Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi saat dihubungi, Selasa (6/10/2020).
Setelah rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk membahas jadwal pengesahan RUU Cipta Kerja di rapat paripurna diputuskan digelar, Senin siang, komunikasi di antara elite fraksi parpol pendukung pemerintah dikerucutkan pada satu tujuan. “Nanti di rapat Bamus DPR, kita dorong agar paripurna digelar hari ini (Senin) juga,” ujar Baidowi.
Intensitas komunikasi ini berbuah hasil. Rapat Bamus DPR memutuskan RUU Cipta Kerja dibawa ke paripurna, Senin sore.
Selanjutnya, di setiap fraksi, komunikasi ke masing-masing anggota diperkuat. Melalui grup Whatsapp salah satunya, anggota diminta hadir rapat paripurna dan mendukung RUU Cipta Kerja. Semua bulat mendukung, tak ada yang membantah.
Ngopi bareng
Sejak draf RUU Cipta Kerja diserahkan pemerintah ke DPR untuk dibahas bersama, pertengahan Februari lalu, lobi-lobi lintas fraksi untuk mengegolkan RUU Cipta Kerja sudah kerap dilakukan. Baik secara formal ataupun informal, seperti saat ngopi bareng. Elite Golkar disebut Baidowi paling getol selain PDI-P, Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Secara berkala, mereka memastikan keberlanjutan dan kecepatan pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR. Begitu pula pemerintah.
“Sekitar satu bulan yang lalu misalnya, saya dipanggil Pak Airlangga Hartarto (Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Koordinator Perekonomian). Ya semata menanyakan perkembangan pembahasan RUU Cipta Kerja sekaligus memastikan pembahasan berjalan lancar,” kata Baidowi.
Baca juga: Beragam Dalil Memuluskan Cipta Kerja
Ketua DPP Partai Golkar yang juga Anggota DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily tak menampik Airlangga “turun gunung” memastikan pembahasan RUU Cipta Kerja berjalan lancar. Dalam kapasitasnya sebagai Menko Perekonomian dan Ketua Umum Golkar, upaya yang dilakukan Airlangga dinilai bagian dari tanggung jawabnya.
Bahkan tak hanya Airlangga, dari elite fraksi hingga setiap anggota Fraksi Golkar, total dalam memuluskan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sebab, sudah sejak awal, Golkar menjadi pendukung utama RUU Cipta Kerja. “Semua kekuatan dikerahkan,” tambahnya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno menambahkan, lobi-lobi intens pula dilakukan oleh Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi. Elen juga yang mewakili kementerian untuk terus-menerus ikut dalam rapat-rapat membahas RUU Cipta Kerja di Baleg DPR.
“Kalau lobi ya semua lah. Peran Ketua Baleg (Supratman Andi Agtas dari Gerindra) penting, Kemenko Perekonomian penting, Pak Firman Soebagyo (anggota DPR dari Golkar) juga punya banyak teman, sebagai senior berhubungan dengan partai-partai. Ya semua berperan sesuai kapasitasnya masing-masing,” jelasnya.
Menurutnya, lobi oleh pemerintah ataupun fraksi-fraksi di DPR merupakan hal yang lumrah. “Politik kan memang tidak bisa dilepaskan dari lobi. Itu sebabnya mengapa Demokrat dan PKS yang awalnya tidak mau, kemudian bisa masuk lagi membahas,” ujarnya.
Drama politik
Ketika kemudian kedua fraksi itu menyatakan menolak pengesahan RUU Cipta Kerja di paripurna, Hendrawan menilainya sebagai bagian dari drama di pentas panggung politik.
“Politik kan salah satunya agenda mencari panggung. Jadi wajar kalau orang politik, seperti kemarin (saat rapat paripurna) terjadi drama adu mulut, adu argumentasi, antara Pak Azis Syamsuddin (Wakil Ketua DPR) dan Pak Benny K Harman (anggota DPR dari Demokrat). Itu kami tertawa saja. Di luar, kami tertawa-tawa. Ini supaya paripurna tak membosankan. Kita sudah tahu semuanya. Jadi biasa sajalah,” kata Hendrawan.
Untuk diketahui, saat rapat paripurna, Benny sempat ngotot meminta waktu lagi untuk berbicara dari pimpinan rapat, Azis. Namun Azis menolaknya, bahkan mengancam meminta petugas keamanan mengeluarkan Benny dari ruang rapat. Akhirnya, Benny bersama anggota DPR dari Demokrat lainnya, memilih walk out (keluar).
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin AK, membantah tudingan ini. ”Protes penolakan itu murni, bukan drama. Protes berangkat dari suara mayoritas rakyat yang tidak senang dan menolak RUU itu,” ujarnya.
Dengan RUU sukses digolkan oleh koalisi fraksi parpol pendukung pemerintah, ditambah PAN yang turut mendukung, Ace menilai hal itu bukan saja buah dari lobi-lobi atau kerja keras setiap fraksi. “Semua punya komitmen untuk pemulihan ekonomi, RUU Cipta Kerja ini jawabannya,” tuturnya.
Adapun bagi PAN, menurut Pelaksana harian (Plh) Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay, persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja diberikan karena selama pembahasan, aspirasi yang disampaikan konstituen PAN diklaimnya telah diakomodasi dalam UU Cipta Kerja.
“Awalnya, kan, kluster pendidikan mau dimasukkan. Setelah kami berikan masukan, akhirnya kluster itu dikeluarkan. Beberapa poin lainnya yang kami perjuangkan juga dapat diakomodir,” ujarnya.
Ia membantah persetujuan pengesahan diberikan karena ada “imbalan”. Hal serupa dibantah Baidowi, Hendrawan, dan Ace.
“Salah satu perintah yang tegas di UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum. Artinya, mempermudah orang berusaha. Jadi muncul pemahaman yang sama bahwa UU ini memang arahnya demikian. Ada political will yang sama untuk mempermudah semuanya. Sampai kan selalu kita bergurau, apalagi yang mau dipermudah, apalagi yang mau dipermudah,” ujar Hendrawan.
Suara publik
Pembahasan hingga pengesahan RUU Cipta Kerja itu menunjukkan begitu mudahnya target dicapai ketika kekuasaan mayoritas di tangan. Apalagi dengan bangunan koalisi yang kokoh. Tak seperti pemerintahan sebelumnya ketika koalisi begitu rapuh terutama ketika dihadapkan pada persoalan yang sensitif.
Namun yang jadi persoalan, kekuasaan mayoritas telah mengabaikan suara publik. Dominasi kursi parpol koalisi pendukung pemerintah dinilai mengerdilkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat melalui sikap kompromistis parpol koalisi.
"Dominannya parpol koalisi ditambah lemahnya oposisi membuat DPR tak pernah butuh waktu yang lama untuk memutuskan sesuatu. Kepentingan rakyat dinomorduakan," ujar peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus.
Ia menengarai pengabaian terhadap desakan publik itu karena adanya agenda tersembunyi atau "deal-deal" tersembunyi di baliknya. Terlebih menurutnya, RUU yang dihasilkan lebih terlihat sebagai regulasi yang diperuntukkan bagi segelintir elite saja, baik penguasa maupun pengusaha. "Muatan kepentingan itu yang mendorong semangat yang terlihat menggebu-gebu dari DPR," ucap Lucius.
Baca juga: Mengapa Gerakan Mahasiswa Kembali Galak?
Itu semua menurutnya, tak terlepas dari kian kuatnya oligarki di negeri ini. Alhasil, posisi anggota DPR sebagai kader partai hanya bisa menjadi penurut kehendak elite. Jika elite sudah berkompromi di luar DPR, proses selanjutnya di DPR hanya sebatas drama untuk memberikan legitimasi atas kompromi yang dicapai.
UU Cipta Kerja hanya satu dari sederetan UU lain yang materinya lahir dengan mengabaikan suara publik. Gelagat serupa terlihat ketika UU KPK hasil revisi disahkan, tahun 2019, sekalipun publik berunjuk rasa menentang pengesahan di berbagai daerah. Juga dua UU lainnya di 2020, yaitu UU Mineral dan Batubara dan UU Mahkamah Konstitusi, yang dengan mudahnya disahkan ketika kritik publik terus disuarakan.
Sungguh ironis ketika kekuasaan mayoritas justru tidak dioptimalkan untuk menyerap dan menjalankan kehendak publik. Sungguh disayangkan pula jika hal ini terus berlanjut. Bukan hanya menjadi warisan yang buruk dari pemerintahan Joko Widodo tetapi bisa saja, akan dijadikan contoh oleh rezim-rezim selanjutnya. (APA)