Potensi Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Masih Tinggi
Anggaran pembangunan infrastruktur yang meningkat tajam dalam rancangan APBN 2021 dinilai tidak menjamin pemulihan ekonomi. Selain karena kondisi pandemi Covid-19, korupsi masih membayangi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan alokasi anggaran infrastruktur dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 dinilai tidak akan efektif memulihkan ekonomi nasional. Selain masih diliputi ketidakpastian di tengah Covid-19, terdapat pula potensi korupsi di sektor infrastruktur.
Kementerian Keuangan mencatat, belanja negara pada rancangan APBN 2021 diproyeksikan Rp 2.747,5 triliun atau 15,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, pembangunan infrastruktur dianggarkan Rp 414,0 triliun, naik 47,28 persen dari Rp 281,1 triliun dalam APBN 2020.
Sementara itu, anggaran kesehatan dalam rancangan APBN 2021 direncanakan Rp 169,7 triliun atau setara 6,2 persen terhadap belanja negara. Alokasi anggaran ini turun 20,14 persen dari Rp 212,5 triliun pada APBN 2020.
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menyampaikan, untuk menjaga sektor keuangan dan sektor riil, kuncinya adalah menjinakkan Covid-19. Dengan begitu, penerimaan negara akan berangsur pulih.
”Jangan menunggu kehadiran vaksin yang belum pasti. Susun segera strategi kesehatan (testing dan contact tracing) dan strategi intervensi sosial yang mumpuni dengan melibatkan penuh para ahli serta berbasis data,” ujarnya dalam kelas intensif Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi, Selasa (13/10/2020).
Faisal juga menyoroti potensi korupsi dalam sektor konstruksi dan real estat. Pada triwulan-II 2020, sumbangan sektor konstruksi dan real estat ke penerimaan pajak tercatat 6,5 persen dan menyumbang 13,6 terhadap PDB.
”Saya kemudian hitung dengan alat tax coefficient dalam sektor konstruksi dan real estat ini hanya 0,48. Angka tax coefficient di bawah 1 berarti banyak bolongnya (potensi korupsi) dan penerimaan pajak belum tergali maksimal,” tuturnya.
Tax coefficient, kata Faisal, diperoleh dari persentase penerimaan pajak dibagi persentase sumbangan dalam PDB untuk setiap sektor. Angka di atas 1, artinya elastis sehingga jika sektor ini tumbuh, maka penerimaan pajak lebih tinggi, sementara di bawah 1 berarti inelastis atau terdapat potensi kerugian keuangan negara.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, menyampaikan, dalam rancangan APBN 2021, belanja modal mengalami kenaikan paling signifikan dibandingkan jenis belanja lainnya. Bahkan, bunga utang pada rancangan APBN 2021 lebih tinggi dibandingkan anggaran penanganan Covid-19.
Belanja modal, kata Misbah, tumbuh 82 persen atau meningkat Rp 112,9 triliun dari Rp 137,4 di 2020 menjadi Rp 250,3 triliun di 2021. Pertumbuhan belanja modal tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata realisasinya selama 2016-2019 sebesar 9 persen.
”Belanja modal ini biasanya untuk infrastruktur dan kita bisa lihat melalui rancangan APBN di 2021, prioritas utama pemerintah adalah infrastruktur. Umumnya, terdapat potensi korupsi dalam belanja modal, yaitu proyek fiktif, lobi politik, proses lelang, dan mark-up harga barang, apalagi di kondisi Covid-19,” kata Misbah.
Terlebih, data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, sepanjang 2004-2019, pengadaan barang dan jasa menempati posisi tertinggi kedua dalam tindak pidana korupsi dengan total 224 kasus, di bawah jenis perkara penyuapan sejumlah 708 kasus. Swasta pun menjadi profesi terbanyak yang melakukan korupsi dengan total 297 orang.
Sebagai rekomendasi, Misbah mengatakan, perlu ada peningkatan transparansi proses dan pelaksanaan anggaran, penguatan partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran, peningkatan integritas pengelola anggaran, dan penguatan pengawasan anggaran.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, perubahan postur anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi menyesuaikan situasi terkini. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan akan fleksibel melihat dinamika. Ketidakpastian masih menyelimuti dunia sepanjang vaksin Covid-19 belum ditemukan dan kasus infeksi terus meningkat (Kompas, 8 September 2020).