Kolaborasi Islam, Pancasila, Prinsip HAM Wujudkan Perdamaian
Nilai-nilai Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Lebih jauh lagi, nilai Islam mewujud ke dalam lima sila Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuaan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial.
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi antara nilai-nilai Islam yang menjadi rahmat alam semesta, Pancasila, dan prinsip hak asasi manusia boleh jadi merupakan jembatan dalam mewujudkan tatanan peradaban dunia yang lebih damai dan setara. Kerja sama ketiga pilar itu diharapkan dapat berkontribusi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kemajuan peradaban dunia yang saat ini menghadapi serba ketidakpastian.
Perbincangan terkait dengan nilai-nilai Islam, Pancasila, dan prinsip hak asasi manusia (HAM) itu diusung dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Gerakan Pemuda Ansor yang merupakan badan otonom dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rabu (28/10/2020). Diskusi digelar secara hibrida, baik daring maupun luring, serta menghadirkan sejumlah pembicara dari dalam dan luar negeri.
Pembicara yang hadir, antara lain, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti; anggota Dewan Pengarah BPIP, Rikard Bagun; Rapporteur untuk Commission on Unalienable Rights, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Cartwright Weiland; Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas; dan pembicara kunci Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Acara dihadiri pula Kepala BPIP Yudian Wahyudi serta jajaran Dewan Pengarah BPIP, termasuk Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP Try Sutrisno.
Dalam pidatonya, Mahfud mengatakan, para pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan fondasi yang kuat dalam bentuk dasar negara Pancasila. Sejak awal, Pancasila dirumuskan dalam pelibatan dan diskusi di antara berbagai elemen anak bangsa, baik kelompok nasionalis maupun kelompok agama. Dalam perdebatan mengenai dasar negara itu, muncullah kesepahaman bersama untuk tidak menjadikan salah satu prinsip agama tertentu sebagai prinsip tertulis di dalam konstitusi. Hal itu dilandasi oleh kesadaran akan realitas Indonesia yang majemuk.
Baca juga : Manfaatkan Dunia Digital untuk Sosialisasikan Pancasila
Sikap kenegarawanan dan besar hati itu, menurut Mahfud, menjadikan persatuan Indonesia lebih mungkin dicapai. Hal itu pulalah yang menjadikan Indonesia, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Prinsip dasar yang diwariskan oleh pendahulu dan pendiri bangsa itu harus dirawat karena hal itu mencerminkan keinginan kuat Indonesia untuk mengakomodasi perbedaan dalam langgam persatuan.
Kendati demikian, nilai-nilai Pancasila sejatinya merefleksikan nilai-nilai Islam. ”Nilai Islam itu tercitrakan di dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menggambarkan keyakinan warga bangsa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang juga merupakan salah satu nilai dan prinsip penting dalam Islam,” ujar Mahfud.
Sikap kenegarawanan dan besar hati itu menjadikan persatuan Indonesia lebih mungkin dicapai. Hal itu pulalah yang menjadikan Indonesia, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Lebih dari itu, nilai Islam juga mewujud di dalam empat sila lainnya, yakni kemanusiaan, persatuan, pemusyawaratan atau demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu juga merupakan prinsip di dalam Islam dan merupakan nilai yang tidak dapat dilepaskan dari substansi Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh semesta alam. Oleh karena itu, Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Islam pun, antara lain, kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi yang diterima sebagai salah satu sila dalam Pancasila.
Dalam kaitannya dengan HAM, Indonesia dalam konstitusi menegaskan kemerdekaan adalah hak seluruh bangsa. Bahkan, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan salah satu sila di dalam Pancasila. Dengan demikian, kemanusiaan dan nilai-nilai universal atas HAM yang berlaku umum di dunia juga dijunjung tinggi oleh Indonesia.
Indonesia pun telah meratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan HAM. Dalam sejumlah aturan perundang-undangan juga dijamin berbagai hak dasar, termasuk hak beribadah dan beragama, hak berpendapat dan berekspresi, hak hidup, serta jaminan atas kesejahteraan.
Anggota Dewan Pengarah BPIP, Rikard Bagun, mengatakan, baik Islam, Pancasila, maupun nilai-nilai HAM adalah pilar penting yang diharapkan dapat berkolaborasi dalam menjembatani terciptanya nilai-nilai peradaban yang damai di abad ke-21. Saat ini dunia sedang mengalami krisis, yang digambarkan dengan istilah VUCA, yakni volatility (perubahan cepat/kelabilan), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas/kerumitan), dan ambiguity (ambiguitas/kebimbangan).
Islam, Pancasila, dan nilai-nilai HAM adalah pilar penting yang diharapkan dapat berkolaborasi dalam menjembatani terciptanya nilai-nilai peradaban yang damai di abad ke-21.
Untuk mengatasi tantangan itu, ketiga pilar dapat mengambil kesempatan untuk bekerja sama dalam membangun peradaban dunia berdasarkan nilai-nilai mulia. Sekalipun ketiganya berasal dari sosiokultural yang berbeda, yakni prinsip rahmatan lilalamin dari Islam, Pancasila dari Indonesia, dan HAM dari Amerika Serikat, jika ketiga kekuatan ini berkolaborasi mengadvokasi nilai-nilai bersama seperti perdamaian, persatuan dalam perbedaan, hidup damai dan berdampingan, serta kebahagiaan, dampaknya akan sangat luar biasa bagi dunia dan kemanusiaan.
”Sikap saling menghargai terhadap perbedaan sangat penting di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, baik dalam hal etnisitas, agama, bahasa, dan sebagainya. Lebih penting lagi ialah bagaimana kemajemukan itu dapat menjadi kekuatan yang menyatukan,” ungkapnya.
Baca juga : Generasi Muda Diharapkan Jadi Garda Terdepan Pancasila
Suka atau tidak, menurut Rikard, dalam masyarakat yang majemuk, anak-anak atau generasi muda harus sejak dini diajarkan untuk hidup bersama dalam heterogenitas. Generasi muda juga perlu dididik untuk menyadari serta memahami dan menghargai perbedaan.
Sementara itu, Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf menyoroti perlunya kejujuran dalam melihat Islam dan pemahaman atas Islam yang selama ini banyak dikhawatirkan orang. Aksi kekerasan, ekstremisme, dan radikalisme, menurut Yahya, harus dilihat jujur dengan menyadari masih banyaknya teks dan bahan pengajaran Islam yang mencantumkan tentang hal itu. Teks-teks tersebut harus dimaknai ulang dengan konteks zaman yang berubah sehingga tidak dijadikan sarana pembenaran atau landasan sikap ekstrem dan radikalisme.
Yahya mencontohkan masih adanya teks klasik Islam yang membedakan atau mendiskriminasikan Muslim dan non-Muslim. Kelompok non-Muslim dilabeli dengan sebutan kafir dan mereka tidak mendapatkan hak-hak setara dengan warga negara lainnya yang Muslim. Pemahaman yang semacam itu dinilai seharusnya tidak layak lagi dalam konteks negara bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, pandangan tersebut harus diubah.
Dalam Musyawarah Besar (Mubes) NU tahun 2019 di Banjar, Jawa Barat, definisi dan pembedaan atas Muslim dan non-Muslim ini dihapuskan. Yahya mengatakan, Mubes NU ketika itu menjawab secara langsung persoalan yang menjadi penyebab diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim. Menurut pandangan ulama NU, pembedaan Muslim dan non-Muslim yang dilabeli kafir tidak relevan lagi dalam konteks negara-bangsa karena semua warga negara setara kedudukannya di depan hukum.
”Itu menjadi salah satu hasil Mubes NU dan menjawab persoalan langsung yang menjadi persoalan diskriminasi,” ungkapnya.
Menjalankan aturan atau hukum negara adalah menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan alasan jika ada orang ingin menjalankan syariat agama lalu tidak menaati aturan negara.
Tak bertentangan
Yahya juga menegaskan, antara aturan hukum dan syariat agama tidak dapat dipertentangkan. ”Menjalankan aturan atau hukum negara adalah menjalankan syariat Islam. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan alasan jika ada orang ingin menjalankan syariat agama lalu tidak menaati aturan negara, terlebih lagi jika menggunakan syariat agama itu sebagai alasan memberontak kepada negara,” ujarnya.
Pandangan khilafah atau negara Islam yang bersatu, menurut Yahya, tidak relevan lagi. Sebab, ide itu berpotensi menghancurkan tatanan dunia yang ada saat ini. Sebab, saat ini dunia terdiri atas negara-negara bangsa dengan wilayah dan kekuasaan pemerintahannya yang berdaulat.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang tidak boleh diabaikan. Untuk mewujudkan dunia yang damai, pendidikan haruslah menjadi fokus perhatian.
Dalam kaitannya untuk menangkal kekerasan dan sikap ekstrem, menurut Mu’ti, pendidikan adalah juga jalan. ”Melalui pendidikan, kita tidak hanya mendidik seorang anak, tetapi juga membangun masa depan peradaban,” ujarnya.
Senada dengan sikap PBNU, Muhammadiyah juga memandang Pancasila dan Islam tidak bertentangan. Bahkan, nilai-nilai Islam antara lain yang diadopsi menjadi nilai-nilai Pancasila.
Muhammadiyah juga memandang Pancasila dan Islam tidak bertentangan. Bahkan, nilai-nilai Islam antara lain yang diadopsi menjadi nilai-nilai Pancasila.
Sementara itu, Cartwright Weiland, Rapporteur untuk Commission on Unalienable Rights, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, menuturkan, komisinya peduli pada advokasi HAM dan hak-hak dasar manusia untuk terus didorong sebagai nilai bersama yang mesti dihargai. Pemerintah AS memberikan perhatian pada HAM, antara lain, karena menyadari prinsip kemanusiaan belum sepenuhnya diperhatikan oleh banyak negara. Hak-hak dasar manusia yang tidak dapat direnggut (unalienable rights) haruslah dipastikan terjamin.
”Sejumlah negara sebenarnya berada di bawah cengkeraman pemerintahan otoritarian, tetapi mereka tidak menyadarinya. Sebagai komisi, kami berkepentingan untuk menyebarkan kesadaran akan perlindungan atas hak-hak tersebut,” ucapnya.
Baca juga : Milenial 39 Tahun Jadi Sasaran Pembumian Pancasila