Irjen Napoleon Bonaparte disebut mencatut petinggi Polri agar bisa menerima uang suap hingga hampir Rp 7 miliar dari Joko Tjandra. Negosiasi suap di Gedung TNCC Mabes Polri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu terdakwa kasus suap penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dari daftar pencarian orang Interpol, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, mencatut petinggi Polri untuk meminta tambahan uang suap dari Joko Tjandra. Upaya ini berbuah hasil. Napoleon menerima uang suap hingga hampir Rp 7 miliar dari semula hanya Rp 3 miliar.
Permintaan tambahan uang suap dengan mencatut petinggi Polri itu terkuak ketika berkas dakwaan Napoleon dan tiga terdakwa lain dalam kasus tersebut dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (2/11/2020). Tiga terdakwa lain dimaksud adalah Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, pengusaha Tommy Sumardi, dan Joko Tjandra.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis serta hakim anggota Saefudin Zuhri dan Joko Subagyo.
Dalam berkas dakwaan disebutkan, kasus itu bermula ketika Tommy Sumardi diminta Joko Tjandra untuk mengurus penghapusan namanya dari daftar pencarian orang (DPO) Interpol, sekitar April 2020. Ini agar Joko yang kala itu masih berstatus buron kasus Bank Bali, tahun 2009, bisa masuk ke Indonesia secara sah untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasus yang menjeratnya tersebut.
Permintaan itu disampaikan ke Napoleon yang masih menjabat Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Sementara perkenalan Tommy dengan Napoleon melalui Prasetijo.
”Red notice Joko bisa dibuka karena Lyon (kantor pusat Interpol di Perancis) yang buka, bukan saya. Saya bisa buka asal ada uangnya,” ujar jaksa menirukan pernyataan dari Napoleon kepada Tommy.
Tommy lantas menanyakan jumlah yang diminta. Napoleon menjawab Rp 3 miliar. Selanjutnya, Joko menyerahkan uang kepada Tommy sebesar 100.000 dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 1,4 miliar.
Gedung Mabes Polri
Bersama Prasetijo, Tommy kemudian menyerahkan uang itu kepada Napoleon di kantor Napoleon di lantai 11 Gedung Transnational Crime Center (TNCC) Mabes Polri. Namun, di perjalanan, Prasetijo menanyakan bagiannya. Alhasil, uang 100.000 dollar AS itu dibagi dua, separuhnya diambil Prasetijo.
Adapun Napoleon keberatan saat menerima uang 50.000 dollar AS. Ia meminta tambahan uang. Di sini, Napoleon mencatut petinggi Polri. ”Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 (Rp 7 miliar) ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau, ’petinggi kita ini’,” ujar Napoleon seperti tertulis di dakwaan.
Setelah pertemuan itu, Joko Tjandra menyerahkan uang secara bertahap kepada Tommy yang diteruskan ke Napoleon. Total suap yang diterima Napoleon 270.000 dollar AS atau setara Rp 3,95 miliar dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,92 miliar. Totalnya sekitar Rp 6,87 miliar.
Selanjutnya, Napoleon mulai memproses penghapusan nama Joko dari DPO Interpol. Ia, misalnya, meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menghapus status Joko Tjandra dari DPO dalam Sistem Informasi Keimigrasian.
Dari sejumlah langkah yang ditempuh Napoleon, nama Joko berhasil dihapus dari DPO. Joko pun memanfaatkannya untuk masuk ke Indonesia dan mengajukan PK, Juni 2020.
Setelah penghapusan nama Joko dari DPO selesai, Prasetijo kembali menghubungi Tommy untuk meminta jatah. Tommy menemui Prasetijo di kantornya untuk menyerahkan uang 50.000 dollar AS.
Dalam dakwaan disebutkan, total uang yang diterima Prasetijo 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,19 miliar.
Seusai pembacaan dakwaan, Napoleon menyatakan akan mengajukan nota pembelaan (eksepsi). Sebaliknya, Prasetijo, Joko, dan Tommy memutuskan tidak mengajukan eksepsi. Khusus Tommy mengajukan permintaan sebagai justice collaborator (saksi pelaku pidana yang membantu penegak hukum) kepada majelis hakim.
”Kami sudah sampaikan fakta sebenar-benarnya dan merasa pantas. Oleh karena itu, kami ajukan sebagai justice collaborator,” ujar kuasa hukum Tommy, Dion Pongkor.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono mempertanyakan keterangan soal petinggi Polri yang disampaikan Napoleon.
”Tidak ada keterangan itu saat penyidikan. Bagaimana dia bisa ngomong ada jatah untuk ’petinggi’ jika perbuatannya pun tidak diakui. Makanya, penyidik juga tidak mengejar fakta hukum tersebut,” ujarnya.
Terlepas dari hal itu, Polri menghargai apa pun fakta hukum yang kelak akan muncul dalam persidangan.