Disoroti, Kategorisasi Data Spesifik dalam RUU Perlindungan Data Pribadi
Meski dipercepat pembahasannya, RUU Perlindungan Data Pribadi tak akan disahkan tahun ini karena hanya ada waktu satu bulan sebelum reses. Sementara masih ada masalah krusial yang belum disepakati, yaitu data spesifik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tidak akan disahkan tahun ini karena hanya tersisa waktu satu bulan masa persidangan. Komisi I DPR menyebutkan, saat ini daftar inventarisasi masalah atau DIM masih dibahas di tingkat fraksi. Salah satu persoalan krusial yang dibahas mengenai kategorisasi data spesifik.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Charles Honoris, dalam webinar bertajuk ”Memastikan Perlindungan Data Sensitif: Hak Asasi Manusia dalam RUU Perlidungan Data Pribadi”, Kamis (5/11/2020), mengatakan, target awal DPR adalah mengesahkan RUU PDP pada tahun 2020.
Namun, perkembangan terakhir, RUU baru masuk rapat panitia kerja (panja) pertama untuk membahas usulan daftar inventarisasi masalah dari masing-masing fraksi. Substansi DIM belum dibahas sedangkan masa sidang tahun ini tinggal satu bulan lagi.
”Melihat waktu yang tersisa rasanya tidak mungkin UU ini disahkan di tahun ini,” ujar Charles.
Selain Charles, narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga, Deputi Direktur Riset Lembaga Riset dan Studi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, dan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Melihat waktu yang tersisa rasanya tidak mungkin UU ini disahkan di tahun ini.
Charles mengatakan, saat ini hal krusial yang dibahas di masing-masing fraksi mengenai kategorisasi data spesifik. Data spesifik atau sensitif adalah data yang membutuhkan tingkat perlindungan tambahan yang lebih tinggi. Sebelum diproses oleh pihak tertentu, data ini juga memerlukan izin.
Dalam draf RUU PDP yang diajukan pemerintah, jenis data pribadi dikategorikan menjadi dua, yaitu data pribadi yang bersifat umum dan data pribadi yang bersifat spesifik. Data yang dikategorikan sebagai data spesifik, antara lain, data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan atau orientasi seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, dan data keuangan pribadi. Adapun data yang diharapkan masuk dalam kategori tersebut seperti agama dan status perkawinan masih masuk dalam kategori umum.
Fraksi PDI-P, kata Charles, berharap data agama masuk dalam kategori data spesifik karena masih banyak penganut agama yang tidak diakui oleh negara. Data agama juga kerap digunakan untuk tindakan yang diskriminatif. Oleh karena itu, Fraksi PDI-P berharap agar data agama masuk sebagai data pribadi sensitif. Salah satunya untuk menghindari praktik diskriminasi dan eksklusivisme.
”Fraksi PDI-P berharap agar nantinya UU PDP dapat benar-benar melindungi data pribadi sesuai dengan instrumen hak asasi manusia. Data pribadi spesifik (sensitif) perlu perlidungan tambahan untuk menjaga risiko yang mungkin timbul dari pemprosesan seperti risiko diskriminasi,” kata Charles.
Pendekatan risiko
Wahyudi Djafar mengatakan, untuk mengklasifikasikan data sensitif ada beberapa hal yang bisa dilakukan dengan pendekatan risiko. Sebab, data sensitif terus berkembang sesuai dengan konteks dan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan risiko itu, antara lain, risiko moneter yang terkait dengan kerugian finansial. Risiko sosial yang terkait dengan ancaman harga diri, reputasi, dan atau persepsi orang lain. Risiko cedera tubuh, dan risiko psikologis seperti gangguan kecemasan atau konflik dengan citra diri.
Kategorisasi data sensitif di berbagai negara sangat tergantung pada konteks dan tujuan yang akan dicapai oleh negara tersebut.
”Kategorisasi data sensitif di berbagai negara sangat tergantung pada konteks dan tujuan yang akan dicapai oleh negara tersebut,” kata Wahyudi.
Di beberapa negara tetangga, misalnya Malaysia, data sensitif adalah data pribadi yang berisi informasi mengenai kesehatan fisik, mental, pendapat politik, keyakinan agama, dan keyakinan lain yang serupa. Menteri dapat mengeluarkan daftar data sensitif tersebut. Di Singapura, meskipun tidak ada definisi dan daftar spesifik mengenai data sensitif, ada tingkat keamanan lebih tinggi terhadap data yang dinilai sensitif. Data tersebut di antaranya adalah kesehatan fisik dan mental, dan larangan melakukan pengumpulan nomor identitas kependudukan.
Adapun di Thailand ada larangan pemprosesan data sensitif meliputi ras, asal etnis, pendapat politik, kultus, keyakinan agama atau filosofis, perilaku seksual, catatan kriminal, data kesehatan, disabilitas, informasi serikat pekerja, data genetik, biometrik, tanpa persetujuan dari subyek data.
Wahyudi berharap ke depan RUU PDP dapat mengategorikan data sensitif ini berdasarkan kontitusi dan UU Hak Asasi Manusia. Aspek risiko yang harus diantisipasi adalah diskriminasi akibat data spesifik tersebut. UU Nomor 40 Tahun 2008, misalnya, mengatur tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis. Selain itu, UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi dan Kependudukan juga mengatur tentang data pribadi yang bersifat sensitif, seperti keterangan cacat fisik atau mental, sidik jari, iris mata, tanda tangan, dan elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang. Hal ini bisa dipertimbangkan oleh pembentuk UU untuk mengategorikan sebagai data spesifik.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, perlindungan data pribadi terkait identitas jender, misalnya, sangat diperlukan di Indonesia. Sebab, ada pola diskriminasi hingga perundungan yang didasarkan pada identitas jender seseorang. Ketika ada seorang transpuan menjadi tersangka kasus pidana misalnya, dia direndahkan martabatnya karena identitas jendernya. Ke depan, identitas jender ini sebaiknya dilindungi.
”Apakah nantinya juga akan ada mekanisme pemulihan korban dan ganti rugi bersifat material terhadap korban pelanggaran data pribadi ini? Ini harus diakomodasi juga dalam RUU PDP,” kata Andy.
Perlindungan data pribadi terkait identitas jender, misalnya, sangat diperlukan di Indonesia. Sebab, ada pola diskriminasi hingga perundungan yang didasarkan pada identitas jender seseorang. Ketika ada seorang transpuan menjadi tersangka kasus pidana misalnya, dia direndahkan martabatnya karena identitas jendernya. Ke depan, identitas jender ini sebaiknya dilindungi.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyoroti tentang kekhasan struktur masyarakat di Indonesia yang memiliki masyarakat adat. Terhadap masyarakat adat ini harus dilakukan pendekatan berbeda dalam perlindungan data pribadi. DPR harus mempertimbangkan sejumlah aspek agar ke depan masyarakat adat tidak didiskriminasi karena pelanggaran data pribadi. Dalam menentukan pemilik data pribadi, masyarakat adat juga tidak bisa disamaratakan dengan masyarakat nonadat. Sebab, masyarakat adat memegang prinsip kolektivitas. Untuk memastikan perlidungan data pribadi bagi masyarakat adat, perlu dilihat secara jeli.
”Masyarakat adat menganut nilai yang berbeda. Ini harus dipahami bersama. Dan, seharusnya perlindungan data pribadi ini dibuat agar mereka tak lagi mengalami diskriminasi seperti yang masih marak terjadi di Indonesia sekarang ini,” kata Sandra.