Kekerasan terus terjadi di Papua akibat konflik antara kelompok sipil bersenjata dan aparat. Warga trauma dengan kekerasan yang berulang. Untuk mengakhirinya, perlu perubahan pendekatan dan penegakan hukum yang ”fair”.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Kematian Pendeta Yeremia Zanambani di Kampung Bomba, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada 19 September 2020 masih menyisakan tanya. Rangkaian kejadian utuh atas peristiwa itu diungkap dalam tiga pihak dengan tiap-tiap versinya, yaitu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, tim investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, serta Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya yang terdiri dari masyarakat sipil dan tokoh Papua.
Komnas HAM memaparkan secara gamblang hasil investigasi mereka. Penembakan Pendeta Yeremia, menurut Komnas HAM, bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ada rangkaian kejadian yang menjadi pemicu penembakan itu, yakni terbunuhnya prajurit TNI Serka Sahlan pada 17 September dan Pratu Dwi Akbar Utomo pada 19 September. Pelaku pembunuhan kedua prajurit itu diduga adalah kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Sementara itu, Ketua Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya Haris Azhar dalam keterangan resminya pekan lalu mengatakan, insiden di Intan Jaya bermula saat terjadi tembakan ke rombongan anggota TNI di Sugapa Lama. Insiden itu mengakibatkan seorang anggota TNI meninggal dan sepucuk senjata laras panjang milik TNI diambil oleh anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Setelah kejadian itu, menurut Haris, sejumlah masyarakat Hitadipa dipanggil. Aparat meminta agar senjata yang diambil OPM segera dikembalikan.
Hasil investigasi itu senada dengan temuan Komnas HAM. Dalam temuannya, warga disebutkan sempat dikumpulkan dan saat itu muncul sejumlah nama yang dicap sebagai musuh oleh salah satu anggota Koramil Persiapan Hitadipa. Salah satunya adalah Pendeta Yeremia Zanambani.
Adapun terkait kematian Pendeta Yeremia, Komnas HAM menyatakan bahwa korban ditembak dari jarak dekat. Komnas juga menemukan luka lain yang diduga disebabkan oleh aksi kekerasan senjata tajam, juga bekas jeratan di leher. Ia meninggal sekitar 5-6 jam setelah penembakan karena kehabisan darah. Sebelum meninggal, Pendeta Yeremia sempat menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada istrinya, Miryam Zoani, dan sejumlah warga lain. Dari keterangan saksi-saksi itu, Komnas HAM mengungkap dugaan pelaku penembakan adalah anggota Koramil Persiapan Hitadipa, Alpius (Kompas, 3/11/2020).
Temuan TGPF akan menjadi bekal untuk penegakan hukum secara tuntas dan tanpa pandang bulu.
Hasil investigasi Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya dan Komnas HAM ini lebih detail ketimbang temuan TGPF bentukan pemerintah yang diungkap ke publik. Hasil temuan TGPF, seperti diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD pada konferensi pers hari Rabu (21/10/2020), ada dugaan keterlibatan aparat. Namun, di sisi lain, TGPF tak menutup kemungkinan ada keterlibatan pihak lain dalam penyerangan tersebut.
Mahfud enggan merinci hasil kerja TGPF. Ia justru mengatakan, investigasi dari pihak lain, seperti Komnas HAM, akan melengkapi temuan TGPF. Hanya saja, Mahfud memastikan temuan itu akan menjadi bekal untuk penegakan hukum secara tuntas dan tanpa pandang bulu.
”Pemerintah berkomitmen agar kasus ini diselesaikan secara hukum, baik hukum pidana maupun administrasi negara,” kata Mahfud.
Lingkaran dendam
Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth saat dihubungi pada Rabu (5/11/2020) mengatakan, sumber kekerasan di Hitadipa, Intan Jaya, harus dicari.
”Apa yang menyebabkan eskalasi kekerasan di sana? Ini termasuk temuan dari Tim Kemanusiaan yang menyebutkan bahwa ada potensi tambang emas di Hitadipa. Dari pengalaman kami, daerah-daerah investasi memang rawan konflik bersenjata,” ujar Elisabeth.
Evaluasi juga perlu dilakukan terhadap cara-cara aparat menangani konflik di Papua. Temuan Komnas HAM dan Tim Kemanusiaan menunjukkan bahwa ada kekejaman dari aparat. Padahal, aparat keamanan seharusnya memahami bahwa tindakan kekerasan terhadap sipil melanggar HAM.
”Aparat yang ditugaskan di daerah konflik tidak cukup hanya dibekali pemahaman tentang hak asasi manusia. Mereka juga harus memahami konteks budaya dan adat istiadat masyarakat,” kata Elisabeth.
Evaluasi juga perlu dilakukan terhadap cara-cara aparat menangani konflik di Papua. Temuan Komnas HAM dan Tim Kemanusiaan menunjukkan bahwa ada kekejaman dari aparat.
Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) Bambang Purwoko menilai, cara-cara yang dilakukan oleh aparat, baik TNI maupun Polri, di Papua belum mengedepankan pendekatan sosial budaya. Apalagi, di daerah dengan eskalasi konflik tinggi seperti Intan Jaya, yang ditempatkan kerap kali aparat nonorganik dari satgas pusat tanpa dibekali aspek sosial-budaya masyarakat sebelum bertugas.
Hal itu, ujarnya, sangat berbahaya karena sudah ada trauma mendalam dan prasangka terhadap aparat yang bertugas di Papua. Banyaknya kekerasan dan pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara hukum membuat masyarakat Papua trauma dengan aparat.
Hal itu diperparah dengan adanya semacam lingkaran setan balas dendam di masyarakat. Sejumlah warga akhirnya menjadi simpatisan aktif di KKB setelah keluarga mereka menjadi korban operasi militer. Bagi masyarakat Papua, korban kepala harus diganti dengan kepala. Mereka akan terus bergerilya untuk memburu prajurit-prajurit yang dianggap pernah melakukan kekerasan kepada keluarga mereka.
Lingkaran dendam dan kekerasan ini tak akan pernah bisa dihentikan tanpa ada pendekatan khusus yang melibatkan tokoh adat, gereja, ataupun pemerintah daerah. (Bambang Purwoko)
Di sisi aparat, sikap emosional juga mungkin terjadi karena rasa stres dan tekanan berada di daerah konflik. Tekanan itu lebih berat saat mereka melihat ada sesama prajurit yang menjadi korban. Mereka juga akan berusaha melacak pelakunya. Serka Sahlan, misalnya, dibunuh dengan kejam beberapa kilometer sebelum Kampung Hitadipa. Pembunuhan diduga dilakukan oleh KKB.
”Lingkaran dendam dan kekerasan ini tak akan pernah bisa dihentikan tanpa ada pendekatan khusus yang melibatkan tokoh adat, Gereja, ataupun pemerintah daerah,” ujar Bambang.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Achmad Riad mengatakan, setiap prajurit yang ditugaskan di daerah konflik sudah memahami konsep jati diri TNI. Dalam jati diri TNI ini terkandung nilai tentara profesional yang mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Jika setiap prajurit memegang teguh jati diri tersebut, mereka akan bertugas di daerah konflik secara profesional dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Terkait dengan dugaan kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap sipil di Intan Jaya, ia mengatakan, pihaknya masih berpedoman pada temuan investigasi TGPF pemerintah. Pihaknya enggan mengomentari temuan dari pihak lain.
Pemerintah pun perlu lebih banyak berdialog dan mendengar aspirasi masyarakat Papua. Permintaan untuk menarik pasukan dari Intan Jaya untuk mengembalikan rasa aman perlu didengarkan.
Sembuhkan trauma
Hal yang paling utama saat ini adalah memutus lingkaran kekerasan di provinsi itu. Menurut Elisabeth, penegakan hukum yang transparan dan adil terhadap pelaku kekerasan kepada warga sipil menjadi langkah pertama yang dibutuhkan. Siapa pun pelaku kekerasan harus diproses hukum tanpa pandang bulu. Upaya ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Selain itu, pemerintah pun perlu lebih banyak berdialog dan mendengar aspirasi masyarakat Papua. Permintaan untuk menarik pasukan dari Intan Jaya untuk mengembalikan rasa aman perlu didengarkan. Trauma masyarakat Papua terhadap aparat perlu dipulihkan. Sebagai pemilik tanah adat, komunikasi yang baik mesti dibangun dengan masyarakat Papua dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Problem di Papua memang kompleks. Solusi komprehensif perlu dilakukan beriringan.