Pemerintah Tindak Tegas Pelanggar Protokol Kesehatan
Sepekan terakhir, kasus Covid-19 naik signifikan. Sebelumnya, terjadi kerumunan massa sejak Selasa hingga Sabtu lalu di Jakarta dan Jawa Barat. Pemerintah pun akan memberikan tindakan keras terhadap para pelanggar.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meminta aparat penegak hukum agar bertindak tegas terhadap pelanggar protokol kesehatan. Jika penindakan tak dilakukan, aparat tersebut terancam diberi sanksi.
”Kepada aparat keamanan, pemerintah meminta tidak ragu dan bertindak tegas dalam memastikan protokol kesehatan dapat dipatuhi dengan baik. Pemerintah juga akan memberikan sanksi kepada aparat yang tak mampu bertindak tegas dalam memastikan terlaksananya protokol kesehatan Covid-19,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (16/11/2020).
Dalam konferensi pers tersebut, Mahfud ditemani Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, serta Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo.
Baca juga: Soal Kegiatan Rizieq, Doni Monardo Minta DKI Tegakkan Protokol Kesehatan
Mahfud menyampaikan, sepekan terakhir ini, kasus Covid-19 meningkat signifikan. Sementara pada saat yang bersamaan terjadi pula kerumunan massa dalam jumlah besar, mulai Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11), di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya. Sabtu, akhir pekan lalu, pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dan menggelar hajatan pernikahan anaknya, yang dihadiri massa pendukung.
Kepada aparat keamanan, pemerintah meminta tidak ragu dan bertindak tegas dalam memastikan protokol kesehatan dapat dipatuhi dengan baik. Pemerintah juga akan memberikan sanksi kepada aparat yang tak mampu bertindak tegas dalam memastikan terlaksananya protokol kesehatan Covid-19.
Sejauh ini, berkumpulnya orang dalam jumlah banyak ini dinyatakan melanggar protokol kesehatan di masa pandemi sehingga penyelenggara didenda Rp 50 juta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, terlepas dari denda itu, para tokoh diminta menahan diri untuk tidak mengadakan kegiatan yang berisiko mengumpulkan banyak orang.
Lebih jauh, secara khusus, lanjut Mahfud, pemerintah menyesalkan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan pada pelaksanaan pesta pernikahan anak Muhammad Rizieq Shihab dan peringatan maulid Nabi di Petamburan, Jakarta Pusat.
”Pemerintah sebenarnya telah memperingatkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk meminta penyelenggara agar mematuhi protokol kesehatan. Penegakan protokol kesehatan di Ibu Kota merupakan kewenangan Pemprov DKI berdasarkan hierarki kewenangan dan peraturan perundang-undangan,” tutur Mahfud.
Tidak menghargai perjuangan
Mahfud pun menyampaikan, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dalam delapan bulan terakhir telah mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk menghadapi Covid-19. Ia menyebut, pandemi ini telah memakan ribuan korban jiwa, ratusan tenaga kesehatan, yang juga telah menjadi pahlawan dari upaya berperang melawan Covid-19.
Namun, menurut Mahfud, pelanggaran protokol kesehatan dalam sepekan terakhir ini bisa membuyarkan segala upaya yang telah dilakukan selama delapan bulan terakhir.
”Orang yang sengaja melakukan kerumunan massa tanpa mengindahkan protokol kesehatan berpotensi menjadi pembunuh potensial terhadap kelompok rentan,” ucap Mahfud.
Pemerintah pun telah mendengar, serta mendapat keluhan dan berbagai masukan dari berbagai kalangan, seperti dari para tokoh agama, tokoh masyarakat, purnawirawan TNI/Polri, dokter, relawan, serta kelompok-kelompok masyarakat sipil yang bergelut dengan perjuangan kemanusiaan dalam mengatasi Covid-19.
Atas praktik pelanggaran protokol kesehatan termasuk penggunaan dan perusakan fasilitas umum, pihak-pihak tersebut mengeluh seakan perjuangan selama ini dianggap tidak dihargai sama sekali.
”Bahkan, mereka mengatakan, negara tidak boleh kalah dan tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi pelanggar aturan, pembangkangan, premanisme, dan pemaksaan kehendak serta tindakan-tindakan lain yang dapat mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa dan negara,” kata Mahfud.
Oleh karena itu, pemerintah memperingatkan para kepala daerah, pejabat publik, aparat, dan masyarakat di seluruh Indonesia. Pemerintah akan menindak tegas dan melakukan penegakan hukum apabila terjadi pengumpulan massa dalam jumlah besar.
”Khusus kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat diharapkan untuk memberikan contoh dan teladan kepada seluruh warga agar mematuhi protokol kesehatan,” tutur Mahfud.
Indonesia, lanjut Mahfud, adalah negara demokrasi sehingga setiap warga negara mempunyai hak dan kebebasan berekspresi, berkumpul, serta berkativitas. Namun, penggunaan hak individu tak boleh sampai melanggar hak masyarakat lain sehingga harus tetap dilakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan hukum agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan aman, harmonis, tenteram, dan damai.
Jangan khawatir
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menyampaikan, seharusnya tokoh agama atau pimpinan organisasi masyarakat harus menjadi teladan dan panutan moral/akhlak bagi pengikutnya.
Baca juga: Pelanggaran Protokol Kesehatan Masih Terjadi
”Ia harus patuh pada ajaran agama dan negara. Tidak bicara kasar dengan diksi kotor di depan publik, apalagi dalam acara yang dia selenggarakan ada pernyataan merendahkan aparat. Sepatutnya umat tidak terbuai tokoh agama seperti itu dengan klaim-klaim yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan aturan negara,” ucapnya.
Aparat pemerintah dan Polri, menurut Azyumardi, harus bersikap tegas. Jika tidak mampu, bisa meminta bantuan TNI untuk menertibkan tokoh tersebut dan pengikutnya.
”Jangan takut atau khawatir sama apa yang disebut ’Muslim backlash’ jika aparat bertindak tegas dan terukur. Arus utama mayoritas Muslim jelas tidak akan memihak atau membela mereka. Instansi pemerintah, seperti Satgas Covid-19, juga jangan memfasilitasi mereka dengan masker dan sebagainya,” kata Azyumardi.
Hendardi, Ketua Setara Institute, menambahkan, pembiaran negara atas kerumunan massa belakangan ini menjadi paradoks. Jangankan kewajiban menjalankan protokol kesehatan, prinsip hukum salus populi suprema lex esto yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi sama sekali tidak berlaku bagi kerumunan yang diciptakan oleh kedatangan Rizieq Shihab.
Padahal, asas ini yang kerap menjadi alasan melakukan pembatasan-pembatasan sosial, termasuk bahkan digunakan untuk melakukan pembubaran kegiatan-kegiatan yang mengkritisi kinerja pemerintah.
”Ini tata kelola pemerintahan yang melukai para dokter dan perawat yang terus berjuang, para siswa-siswi sekolah yang sudah jenuh dengan belajar daring, dan para korban pemutusan hubungan kerja yang tidak bisa menggapai impiannya untuk terus bekerja akibat ganasnya Covid-19,” tutur Hendardi.
Akomodasi pragmatis tanpa basis ideologi dan gagasan justru telah menyandera Presiden Joko Widodo dalam kalkulasi-kalkulasi politik pragmatis. Pembiaran atas kerumunan yang diciptakan oleh massa pengagum Rizieq Shihab adalah bukti kegagapan Jokowi dalam kalkulasi politik yang menjebaknya.
Jika Jokowi tidak terjebak dalam politik akomodasi, seharusnya sebagai seorang Presiden, Jokowi segera memerintahkan Kapolri untuk menindak kerumunan, mempertegas dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit Rizieq Shihab, memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan, dan seharusnya pula tidak membiarkan Bandara Soekarno-Hatta lumpuh dan menyengsarakan ribuan warga.
Sandera politik akomodasi dan kalkulasi politik pragmatis akan terus melilit Jokowi dan menjadi warna kebijakan-kebijakan politik pemerintahan hingga 2024.
Menurut Hendardi, jika Jokowi tidak mengambil terobosan politik yang berpusat pada gagasan pengutamaan keselamatan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, bisa jadi stabilitas politik dan keamanan akan terjaga. Akan tetapi, kepemimpinannya telah melahirkan preseden buruk sekaligus merusak demokrasi dan supremasi hukum, alih-alih mewariskan legacy.
NU dukung ketegasan pemerintah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta pemerintah tegas dan konsisten menerapkan aturan mengenai protokol kesehatan kepada siapa saja, tanpa pandang bulu. Penyebaran penyakit Covid-19 masih belum terkendali sehingga semua pihak, terlebih lagi para tokoh dan pimpinan, agar membangun kesadaran untuk tidak melakukan kegiatan yang berpotensi mengundang massa dalam jumlah besar.
”Mari kita membangun kesadaran kembali para tokoh masyarakat untuk bisa menerapkan disiplin protokol kesehatan secara ketat. Kepada pemerintah untuk tetap bertindak tegas kepada siapa pun, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu,” ujar Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini saat dihubungi, Senin (16/11/2020).
Menurut Helmy, apa yang terjadi akhir pekan lalu itu bukan tindakan yang edukatif kepada masyarakat. Pasalnya, pada saat yang sama pedagang kecil dilarang berjualan karena menghindari berkumpulnya orang di kala pandemi, tetapi di satu sisi ada contoh buruk yang dipertontonkan oleh segelintir orang.
Mari kita taat juga kepada negara. Kita, kan, sebagai warga negara terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Siapa pun kalau mengadakan kegiatan harus dibatasi agar tidak memicu berkumpulnya orang dalam jumlah besar.
”Mari kita taat juga kepada negara. Kita, kan, sebagai warga negara, terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Siapa pun kalau mengadakan kegiatan harus dibatasi agar tidak memicu berkumpulnya orang dalam jumlah besar,” katanya.
Baca juga: Kemacetan hingga 7 Km di Jalan Tol ke Bandara
Di sisi lain, pemerintah didorong agar bertindak tegas dan konsisten menegakkan protokol kesehatan. Jika pemerintah tidak tegas dan tebang pilih, kepercayaan masyarakat akan hilang. ”Kalau pemerintah tidak tegas, masyarakat akan menilai berarti mereka bisa melakukan tindakan serupa. Artinya, hukum tidak dapat lagi dijalakankan dengan ketat. Sekarang dikembalikan kepada pemerintah. Bisa atau tidak menegakkan aturan itu,” ujarnya.
PBNU, menurut Helmy, di masa pandemi ini telah menunda pelaksanaan muktamar. Salah satu pertimbangannya, selain kondisi pandemi, ialah menghormati hukum dan keputusan negara. Hal serupa diharapkan juga menjadikan pertimbangan bagi setiap pihak sehingga rantai penularan Covid-19 bisa terputus.