KPK Meyakini Masih Ada Pemberi Suap Lain ke Edhy Prabowo
Deputi Penindakan KPK Karyoto menyebut masih ada pemberi lain di kasus dugaan suap izin ekspor benur yang diduga melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Namun, kini KPK masih mendalami tujuh tersangka.
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi masih terus menggali informasi terkait kasus dugaan suap dalam perizinan ekspor benih lobster atau benur, yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Sebab, lembaga antirasuah tersebut meyakini, masih ada pemberi suap lain kepada Edhy Prabowo.
Seperti diketahui, Edhy Prabowo ditangkap KPK pada Rabu (25/11/2020) dini hari. Setelah menjalani pemeriksaan di KPK bersama sejumlah orang lainnya yang diduga terlibat, Edhy ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu malam. Ia diduga menerima suap dalam kasus perizinan ekspor benur.
Tersangka lain yang juga ditetapkan KPK adalah Safri, stafsus Menteri KP; Siswadi pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK); Ainul Faqih, staf istri Edhy; dan Suharjito, Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP). Adapun, Suharjito merupakan tersangka pemberi suap.
Pada Kamis (26/11) malam, KPK juga telah menahan tersangka Amiril Mukminin (pihak swasta) dan Andreau Pribadi Misata (staf khusus Edhy). Keberadaan mereka sebelumnya masih dicari KPK. Dengan begitu, kini total ada tujuh tersangka yang ditahan KPK.
Deputi Penindakan KPK Karyoto, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis malam, mengatakan, dalam upaya pengembangan penyidikan, pihaknya akan terus menggali informasi, baik dari dokumen, data, hingga beberapa transaksi elektronik. Ia memastikan, masih ada pemberi lain di kasus dugaan suap dalam kasus perizinan ekspor benur ini.
Baca juga: Gerindra Serahkan ke Presiden Soal Pengganti Edhy Prabowo
“Karena ini satu pemberi saja polanya seperti ini. Dan dari rekening yang ada, jumlahnya melebihi dari satu pemberi. Tentunya akan ada pemberi-pemberi lain. Akan kami infokan pada hasil penyidikan berikutnya, apakah ada tersangka baru atau tidak. Karena dari proses, dimungkinkan bukan hanya orang-orang ini saja yang terlibat,” ujar Karyoto.
Karyoto menyebutkan, setidaknya KPK akan fokus mendalami ketujuh tersangka yang telah ditetapkan KPK itu. Sebab, mereka merupakan pihak-pihak yang sangat dominan dalam proses perizinan dan proses pengumpulan.
“Yang jelas, nanti akan kami ambil keterangannya untuk tersangka. Nanti kami akan lihat perannya masing-masing,” ucap Karyoto.
Baca juga: Edhy Prabowo Nyatakan Mundur, Siap Beberkan Semuanya
Karyoto pun menyampaikan, KPK akan memulai penggeledahan secara menyeluruh di sejumlah lokasi yang telah disegel, seperti ruangan di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta rumah dinas Edhy.
“Sedini mungkin (Rabu malam) kemarin kami sudah segel (ruangan) sehingga tidak ada yang masuk di ruangan yang akan digeledah. Mudah-mudahan besok, akan bisa kami laksanakan penggeledehan secara menyeluruh,” tutur Karyoto.
Penetapan kegiatan ekspor
Dalam jumpa pers, Karyoto juga mengungkapkan keterlibatan Amiril dan Andreau dalam kasus dugaan suap dalam kasus perizinan ekspor benur.
Kasus bermula ketika Edhy menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020. Ia menunjuk Andreau sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence), dan Safri selaku wakil ketuanya. Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.
Lalu, pada awal Oktober 2020, Suharjito bertemu dengan Safri di kantor KKP. Dalam petemuan itu, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor, yang merupakan kesepakatan Amiril dengan Andreau dan Siswadi.
Baca juga: Pengungkapan Dugaan Suap Menteri Edhy Prabowo Titik Tolak Memperkuat Komitmen Berantas Korupsi
Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total Rp 731.573.564. Selanjutnya, PT DPP atas arahan Edhy melalui Tim Uji Tuntas memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster dan telah melakukan 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK.
Berdasarkan data kepemilikan, pemegang PT ACK terdiri dari Amri (AMR) dan Ahmad Bahtiar (ABT) yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy serta Yudi Surya Atmaja (YSA).
“Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening AMR dan ABT masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar,” ujar Karyoto.
Kemudian, pada 5 November 2020 diduga terdapat transfer dari rekening ABT ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Rp 3,4 miliar. Uang itu diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istrinya, Safri, dan Andreau. Edhy juga diduga menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Suharjito dan Amiril pada Mei 2020.
Reformasi parpol
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor berpandangan, bagi pejabat politik yang berasal dari partai politik, korupsi terkadang bukan untuk diri sendiri. Menurutnya, terkadang ada hal lain pula yang harus dipenuhi untuk kepentingan partai.
“Secara umum, orang-orang yang tertangkap korupsi, itu kan, mungkin juga buat dia, tetapi mungkin juga desakan dari yang lain, termasuk kepentingan partai,” ujar Firman.
Saat ini, partai sudah lama tak menjalankan iuran anggota secara konsisten. Akibatnya, hanya beberapa partai yang kader-kadernya masih mempunyai kewajiban iuran. Di tengah situasi biaya politik yang tinggi dan sumber-sumber pemasukan murni dari anggota sudah tidak ada, akhirnya itu dibuat aturan bahwa untuk level pejabat sekian harus menyetor sekian persen.
“Itu ada biasanya. Tetapi, mungkin itu tidak cukup karena biaya pengelolaan partai itu memang besar. Apalagi jelang pilkada gini. Karena partai ini tidak bisa provide uang banyak. Nah, akhirnya dia cari sumber-sumber lain, baik legal maupun ilegal. Dan di sinilah entry point bagi oligarki,” kata Firman.
Oleh karena itu, menurut Firman, ada empat hal yang harus dibenahi. Pertama, aturan main dari pemilu yang akhirnya berdampak pada kualitas parpol, hukuman berat bagi pelaku korupsi, integritas partai, dan lingkungan.
Hukumannya bagi pelaku korupsi saat ini, misalnya, dinilai kurang menimbulkan efek jera. Seharusnya, jika pejabat publik atau anggota DPR terjerat korupsi, hak politik dihilangkan.
“Suatu kali dia kena, sudah tak boleh lagi. Kalau masih ada kesempatan, mereka akan penasaran, akan coba lagi, masuk (penjara) lagi,” katanya.
Soal internal partai, lanjut Firman, ideologis juga hanya sebatas kata-kata tetapi tidak dipraktikkan. Artinya, tak ada penjiwaan antikorupsi. Seharusnya, ada kontrol internal untuk mengingatkan terus-menerus akan bahaya korupsi dan ancaman dari partai terhadap kader yang menyimpang.
Lingkungan politik saat ini juga semakin permisif terhadap budaya politik uang. Publik pun ikut permisif. Situasi tersebut mempersulit politisi untuk berubah.
“Tapi perlu ada catatan, masyarakat permisif itu karena dibiasakan dan dibina seperti itu. Partai baratnya menuai badai. Karena ada kebiasaan-kebiasaan yang dibiarkan sehingga orang yang tadinya tak mengerti money politic, sekarang kecanduan. Itu karena pengedarnya adalah parpol sendiri,” ucap Firman.
Oleh karena itu, reformasi parpol harus berjalan. Kesepakatan yang solid dari seluruh partai harus mulai dibangun untuk bersama menolak korupsi.
“Sayang, reformasi parpol belum jalan. Masih wacana semua. Tidak sepenuh hati. Dana itu habis untuk kontestasi elektoral ketimbang membangun suatu training kaderisasi yang terstruktur, sistematis, kontinu, objektif, dan kemudian dijadikan patokan untuk karir seorang kader,” kata Firman.