MA Tolak PK Bekas Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution
Mahkamah Agung menolak permohonan PK Edy Nasution, bekas panitera pengganti di PN Jakarta Pusat. Perbuatan Edy mencoreng nama pengadilan, apalagi ia bekerja di PN Jakpus yang menjadi barometer pengadilan di Indonesia.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan bekas Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. MA menguatkan putusan kasasi yang menghukum Edy dengan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
”Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali/terpidana Edy Nasution. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku,” demikian bunyi amar putusan yang diunggah di laman resmi MA.
Majelis PK menolak dalil-dalil yang dikemukakan oleh Edy Nasution bersama kuasa hukumnya.
Putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis PK yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Suhadi dengan hakim anggota Krisna Harahap dan MD Pasaribu. Putusan itu dijatuhkan pada 29 Oktober 2019, tetapi salinannya baru diunggah di situs MA pada 26 November 2020.
Majelis PK menolak dalil-dalil yang dikemukakan oleh Edy Nasution bersama kuasa hukumnya. Adapun alasan pengajuan PK adalah adanya kekeliruan nyata hakim dalam putusan sebelumnya atau judex juris.
Dalam pertimbangannya, majelis PK berpendapat, putusan judex juris yang menyatakan terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 a dan b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak salah.
Pertimbangan majelis hakim di antaranya berdasarkan fakta hukum yang muncul di persidangan, Edy selaku panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membangun perusahaan di bawah Lippo Group untuk menyelesaikan persoalan hukum tentang eksekusi tanah dari ahli waris Tan Hok Tjioe berdasarkan putusan raad van justitie nomor 2323/1937 di BSD Tangerang. Tanah tersebut, pada saat itu, dalam penguasaan PT Jakarta Baru Cosmopolitan, aanmaning dari PT Kwang Yang Motor C.Ltd (Kymco) kepada PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP).
PT MTP agar memenuhi isi dan bunyi putusan Arbitrase Internasional yang dijatuhkan Lembaga Arbitrase di Singapura, yakni Singapore International Arbitration Centre (SIAC), dan keterlambatan dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dari PT Acros Asia Limited (AAL). Terhadap pengurusan perkara perdata itu, Edy Nasution meminta dan menerima uang Rp 50 juta, Rp 100 juta, dan 50.000 dollar Amerika Serikat dari Doddy Aryanto Supeno.
Selain itu, Edy juga menerima uang dari pencari keadilan lain sebagai imbalan dalam membuat dan mengurus gugatan, membuat memori kasasi senilai Rp 10.350.000, 70.000 dollar AS, dan 9.852 dollar Singapura.
Mencoreng nama baik pengadilan
Dalam putusan PK ini juga terungkap bahwa Edy meminta uang kepada Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk biaya turnamen tenis para hakim di Bali sebesar Rp 3 miliar. Namun, setelah ditawar, Wresti hanya memberikan uang Rp 1,5 miliar. Wresti adalah karyawan Lippo Group yang ditugaskan mengurus kasus Lippo Group bersama Doddy Aryanto Supeno dan Eddy Sindoro.
Terpidana dianggap telah menggunakan kekuasaannya dengan cara melawan hukum untuk meminta dan menerima uang dari pencari keadilan.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menjelaskan, putusan judex juris di tingkat kasasi yang memperbaiki pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana dengan penjara yang lebih tinggi telah memberikan cukup alasan. Terpidana selaku panitera PN Jakarta Pusat seharusnya dapat memberikan contoh yang baik. Namun, terpidana dianggap telah menggunakan kekuasaannya dengan cara melawan hukum untuk meminta dan menerima uang dari pencari keadilan.
”Perbuatan terpidana tersebut telah mencoreng nama baik Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai barometer peradilan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana tersebut sudah tepat dan setimpal dengan kesalahannya,” terang Andi.
Terkait dengan bukti PK yang diajukan oleh terpidana, MA juga menilai bukti tersebut hanya menunjukkan perbedaan penjatuhan pidana dalam perkara berbeda, bukan perkara yang sama. Dalam bukti itu juga tidak ada pertentangan putusan karena masing-masing majelis dalam perkara yang berbeda memiliki otoritas dan kemandirian dalam menjatuhkan pidana.
”Oleh karena itu, alasan peninjauan kembali dari pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 263 Ayat (2) dan Ayat (3) KUHAP. Sesuai Pasal 266 Ayat (2) Huruf a KUHAP, permohonan PK harus ditolak dan MA menetapkan putusan yang dimohonkan PK tersebut tetap berlaku,” ujar Andi.