Usut Bentrok FPI-Polri, Komnas HAM Panggil Kapolda Metro Jaya
Komnas HAM memanggil Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran terkait kasus bentrokan antara anggota FPI dan polisi yang menyebabkan enam anggota FPI meninggal. Pemeriksaan menurut rencana dilakukan pekan depan.
Oleh
EDNA C PATTISINA/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memanggil Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran terkait kasus bentrokan antara anggota Front Pembela Islam dan personel kepolisian yang menyebabkan enam anggota FPI meninggal di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50. Selain itu, Komnas HAM memanggil Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero).
”Tim telah melayangkan surat panggilan untuk permintaan keterangan,” kata komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam, melalui keterangan resmi, Kamis (10/12/2020).
Pemeriksaan itu menurut rencana akan dilakukan minggu depan. Waktunya belum ditentukan karena akan menyesuaikan dengan mereka yang dipanggil.
Menurut Anam, keterangan keduanya diambil untuk melengkapi informasi yang telah dikumpulkan Komnas HAM dalam menyelidiki peristiwa bentrokan itu. Sejauh ini, Komnas HAM telah memeriksa sejumlah saksi, seperti pihak FPI, keluarga korban, dan warga sekitar lokasi.
”Tim juga melakukan pemantauan lapangan secara langsung dan sedang memperdalam TKP (tempat kejadian perkara),” ucap Anam.
Pada Kamis siang, Komisi III DPR menerima keluarga anggota FPI yang meninggal akibat bentrokan dengan polisi. Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, pihaknya ingin mendengar langsung keterangan dari para korban.
”Intinya keluarga korban mengharapkan keadilan,” kata Desmond.
Kompolnas mengawal
Secara terpisah, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) akan turut mengawasi proses penyidikan peristiwa bentrokan FPI dan polisi. ”Kami akan mengawal prosesnya dan berharap semua pihak menghormati proses pemeriksaan,” kata anggota Kompolnas, Poengky Indarti.
Saat ini, Kompolnas masih menunggu hasil pemeriksaan Bareskrim dan Propam Polri. Propam Polri masih melakukan pemeriksaan untuk melihat kesesuaian tindakan anggota kepolisian saat bentrokan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Prinsip HAM dalam Pelaksanaan Tugas Polri.
Menurut Poengky, pelimpahan penyidikan kasus bentrok dari Polda Metro Jaya kepada Bareskrim Polri diharapkan memudahkan pemeriksaan dan membuat prosesnya semakin obyektif. Ia pun berharap proses penyidikan dilakukan dengan pendekatan ilmiah.
Meski demikian, lanjut Poengky, pihaknya menyayangkan masih ada kelompok yang merasa kebal hukum dan menunjukkan perlawanan ketika polisi melakukan tindakan penegakan hukum. Oleh karena itu, Kompolnas mendukung Polri menindak tegas orang atau kelompok yang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum.
Secara terpisah, pengacara publik LBH Jakarta yang juga bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil, Nelson Nikodemus Simamora, berpandangan, meskipun penyidikan kasus tersebut diambil alih Bareskrim Polri, hal itu tidak serta-merta menjadi netral. Sebab, banyak kasus yang menunjukkan narasi yang dibuat kepolisian dalam sebuah kasus tidak sesuai dengan kenyataan atau hanya klaim dari kepolisian.
Selain itu, lanjut Nelson, yang terjadi bukanlah bentrok yang mengandaikan kedua belah pihak memiliki kekuatan seimbang. Hingga saat ini, menurut dia, kepolisian sama sekali tidak memberitahukan secara detail proses atau peristiwa yang sebenarnya terjadi.
”Dengan menggunakan kata penyerangan, itu sudah tidak imparsial. Sebab, kenyataannya ada enam orang tewas. Ini tidak hanya menyudutkan, tetapi sudah tidak netral. Maka, perlu tim independen yang fokus kepada soal kemanusiaan,” tutur Nelson.
Menurut Nelson, tim independen sangat diperlukan agar terjadi pertukaran pendapat dan argumentasi yang berbeda dalam proses penyelidikan peristiwa tersebut. Hal itu dinilai akan sulit terjadi jika penyidikan dilakukan oleh tim internal kepolisian, termasuk oleh Propam Polri.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, meski polisi yang merupakan kekuatan sipil dipersenjatai, mereka tetap tidak boleh menggunakan senjatanya secara sembarangan.
Menurut Fickar, dalam konteks hukum pidana internasional, dalam situasi perang yang berdasarkan hukum perang, militer sekalipun tidak diperbolehkan menembak tahanan perang yang tidak bersenjata, apalagi menembaki sipil. Tindakan ini dikualifikasi sebagai kejahatan perang yang bisa diadili di pengadilan hak asasi manusia sebagai pelanggaran HAM.
”Polisi itu bukan tentara yang doktrinnya menyerang dan melumpuhkan musuh. Polisi itu konteksnya keamanan sehingga penggunaan senjata tidak untuk langsung menembak mati, tetapi harus bertahap, yaitu mengamankan dengan melumpuhkan,” kata Fickar.