Teladan Antikorupsi dari Pak Penghulu
Menolak gratifikasi jadi salah satu upaya efektif mencegah korupsi. Kebiasaan itu perlu ditumbuhkan di lingkungan birokrasi. Teladan telah diberikan oleh sebagian kecil masyarakat yang tindakannya mendapat apresiasi KPK
Keteguhan prinsip untuk tidak menerima gratifikasi Budi Ali Hidayat (44), Kepala Kantor Urusan Agama Cimahi Tengah, Jawa Barat, yang sering bertugas sebagai penghulu patut menjadi teladan. Ia berani menolak pemberian gratifikasi dari masyarakat yang telah dinikahkannya dan melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi hingga 88 kali sejak 2019.
Budi menjadi satu dari tiga pelapor gratifikasi yang mendapatkan penghargaan dari KPK. Selain Budi, KPK juga memberikan penghargaan serupa kepada pegawai tetap PT Kereta Commuter Indonesia Wahyu Listyantara serta Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, Apriansyah.
Budi dipilih KPK setelah melaporkan 88 gratifikasi yang terdiri dari 64 laporan penerimaan dan 24 penolakan dengan total nilai gratifikasi sebesar Rp 16,19 juta
Nama ketiganya disebut dalam puncak acara peringatan Hari Korupsi Sedunia 2020, Rabu (16/12/2020). Acara ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.
Budi dipilih KPK setelah melaporkan 88 gratifikasi yang terdiri dari 64 laporan penerimaan dan 24 penolakan dengan total nilai gratifikasi sebesar Rp 16,19 juta. Ia menjadi pelapor dengan frekuensi melaporkan gratifikasi terbanyak sepanjang 2019-2020. Budi melaporkan gratifikasi melalui aplikasi Gratifikasi Online atau GOL.
Baca juga: Menjaga Energi Antikorupsi
Penolakan yang dilakukan oleh Budi tidak langsung diterima oleh pemberi uang. Mereka berusaha mencari-cari celah untuk dapat memberikan amplop berisi uang kepada Budi. Tak jarang, ia mendapatkan cibiran dari orang sekitar yang menyebutnya orang aneh karena hidup jujur.
“Terkadang (pemberian) amplop itu menjadi kepuasan batin dari masyarakat. Saya berusaha menolak. Eh, amplopnya disimpan di motor. Di jok ada apa ini? Eh ada amplop,” ujar Budi usai menerima penghargaan pelapor gratifikasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu.
Ia berani mengambil keputusan tersebut karena sadar bahwa dirinya telah digaji pemerintah. Keteguhannya dalam memegang prinsip untuk tidak menerima gratifikasi tidak mudah. Tak jarang, ada yang marah ketika pemberiannya ditolak.
“Ada yang masukin ke saku baju. Sampai saya dikejar ke rumah,” ujar Budi.
Keputusan Budi melaporkan gratifikasi sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2014 yang menetapkan biaya nikah di KUA adalah gratis, sedangkan di luar KUA tarifnya sebesar Rp 600.000. Adapun penghulu menerima honor dan biaya transportasi dari kantor.
Baca juga: Demokrasi dan Korupsi
Pegawai Negeri Sipil golangan IV a tersebut mengakui, gaji yang telah diterimanya sudah cukup. “Dalam sebulan saya mendapatkan gaji pokok, tunjangan kinerja, lauk-pauk, (uang) transport, dan (tunjangan) profesi sekitar Rp 16 juta. Itu sudah cukup bagi saya dan keluarga,” ujar ayah empat anak tersebut.
Rasa syukur itulah yang membuatnya tidak pernah mau menerima gratifikasi dan suap. Ia tidak pernah berpikir akan mendapatkan penghargaan dari apa yang dilakukannya. Budi menegaskan, ada atau tidak ada KPK, ia tetap tidak mau menerima gratifikasi.
Sedikit atau banyak, gratifikasi yang diterima akan menjadi virus.
Nilai kejujuran yang selalu ditanamkan dalam keluarga dan budaya lokal membuatnya selalu memegang prinsip dalam bekerja maupun kehidupan sehari-hari. Menurut Budi, sedikit atau banyak gratifikasi yang diterima akan menjadi virus.
Kementerian Agama pun berjanji akan memberi penghargaan kepada Budi. Melalui pesan singkat, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin menyampaikan, pihaknya sedang mengupayakan penghargaan kepada Budi. Namun, ia belum bisa mengungkapkan bentuk penghargaan tersebut.
Mengganti pemberian
Keteguhan prinsip antikorupsi juga ditunjukkan Apriansyah. Ia berani mengambil keputusan untuk melaporkan gratifikasi ke KPK setelah mendapatkan pemberian dari seseorang yang mempunyai hubungan kerja dengannya berupa pengaspalan jalan di depan rumahnya.
Peristiwa tersebut terjadi pada Desember 2018 ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Mukomuko. Sebelumnya, Apriansyah pernah diberikan uang oleh orang yang sama, tetapi ia menolaknya.
“Pengaspalan itu diberikan di saat saya tidak berada di rumah. Saya tanyakan dan dijawab teman itu sebagai bentuk kepedulian bahwa di depan rumah saya becek,” ujar Apriansyah.
Batinnya berkecamuk karena ada sesuatu yang mengganjal. Ia pun mengambil inisiatif untuk menanyakan kepada inspektorat dan KPK untuk melaporkan gratifikasi tersebut. Apriansyah rela mengganti uang pengaspalan sebesar Rp 17 juta dan menyetorkan ke kas negara. Setelah melaporkannya, ia merasa tenang.
Menurut Apriansyah, keputusannya untuk mengganti uang pengaspalan tidak rugi. Sebab, tindakannya sebagai sebuah kewajiban dari seorang pejabat. Ia juga merasa lebih nyaman dan tenteram setelah mengambil keputusan tersebut.
Sementara itu, Wahyu Listyantara memperoleh penghargaan setelah melaporkan gratifikasi setelah mendapatkan cek senilai Rp 100 juta. Sejauh ini, jumlah tersebut merupakan nominal pelaporan tertinggi di tahun 2020.
Cek tersebut diberikan oleh rekanan PT KCI kepada Wahyu untuk membeli rumah. Wahyu sudah menolak pada kesempatan pertama, tetapi pihak pemberi tetap memaksa. Merasa tidak enak hati, Wahyu pun menerimanya.
Setelah menerima cek tersebut, Wahyu merasa gelisah dan menceritakan pada temannya. Ia disarankan untuk melapor ke KPK. Wahyu sempat mengecek ke bank untuk memastikan apakah cek tersebut bisa dicairkan. Mengetahui cek tersebut bisa dicairkan, ia melaporkan penerimaan tersebut ke Unit Pengendalian Gratifikasi PT KCI.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menuturkan, penghargaan ini baru pertama kali diberikan oleh KPK. Ia berharap, ke depan akan semakin banyak orang yang mempunyai keberanian dan kemauan kuat untuk menolak gratifikasi.
Pada tahun ini hingga 15 Desember 2020, jumlah laporan gratifikasi yang masuk ke KPK sebanyak 1.748 laporan dengan jumlah nominal Rp 24,46 miliar. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun lalu.
Pada 2019, jumlah laporan gratifikasi yang masuk sebanyak 2.882 laporan dengan jumlah nominal Rp 40,64 miliar. Tahun lalu, pelapor dengan nominal terbesar, yakni Presiden Joko Widodo setelah mendapatkan gratifikasi sebesar Rp 8,78 miliar dari Raja Salman ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Arab Saudi.
Hingga 15 Desember 2020, jumlah laporan gratifikasi yang masuk ke KPK sebanyak 1.748 laporan dengan jumlah nominal Rp 24,46 miliar. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun lalu
Menjadi teladan
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, apa yang dilakukan Budi merupakan sebuah bentuk keteguhan prinsip. Menurut Pahala, Budi sadar bahwa ia telah dibayar negara untuk melayani masyarakat. Budi berani melawan kebiasaan umum yang memberikan gratifikasi pada penghulu.
Baca juga: Kala Akar Korupsi Tak Tersentuh
Sementara itu, Apriansyah dapat menjadi contoh bagaimana mencegah terjadinya konflik kepentingan. “Sebagai Kepala Dinas PUPR, (Apriansyah) sudah biasa ketemu pemborong dan pasti ada konflik kepentingan di sana. (Apriansyah) tahu pasti kalau pemborong memberikan sesuatu, itu tidak mungkin makan siang gratis,” ujar Pahala.
Begitu juga dengan Wahyu. Meskipun sempat mengalami keraguan dengan mengecek ke bank, tetapi pada akhirnya ia berani melaporkan gratifikasi yang diberikan kepadanya. Menurut Pahala, integritas Wahyu telah teruji. Ia telah melalui proses panjang dan dapat menjadi teladan bagi rekan-rekannya dalam menjaga integritas.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril menuturkan, ketika seseorang diolok-olok karena berbuat jujur, maka kesadaran terhadap antikorupsi di lingkungan tersebut sangat rendah. Karena itu, dibutuhkan pendidikan antikorupsi di tempat tersebut.
Ketika di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) sudah terbiasa terjadi korupsi, maka perlu ada pendekatan yang lebih keras melalui reformasi birokrasi. Menurut Oce, mereka yang korupsi harus dibina dan jika kembali melakukan hal serupa harus diberi sanksi keras seperti diberhentikan.
Oce menegaskan, sesuai dengan perintah undang-undang, penyelenggara negara wajib melaporkan gratifikasi. Adanya unit pengendalian gratifikasi merupakan upaya pencegahan korupsi. “Ketika gratifikasi tersebut tidak dilaporkan, maka menjadi suap yang berisiko pada terjadinya penyimpangan karena ada konflik kepentingan,” ujarnya.