TNI AL mengakui alat utama sistem pertahanan yang dimiliki belum mampu mendeteksi keberadaan ”drone” laut di perairan Indonesia secara keseluruhan. Secara bertahap, alutsista dan teknologi harus ditingkatkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
DPR berkomitmen mendukung penguatan sistem pertahanan bawah laut nasional yang hingga kini diakui masih lemah. Alutsista TNI Angkatan Laut bertahap akan ditingkatkan.
JAKARTA, KOMPAS — Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut mengakui alat utama sistem pertahanan yang dimiliki belum mampu mendeteksi keberadaan drone laut di perairan Indonesia secara keseluruhan. Secara bertahap, alutsista dan teknologi harus ditingkatkan untuk memperkuat pertahanan laut.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono saat dihubungi, Rabu (6/1/2021), di Jakarta, menambahkan, baik dari sisi alutsista maupun teknologi, Indonesia memang belum siap untuk mendeteksi seaglider secara keseluruhan. Alat nirawak bawah laut akan terdeteksi apabila memancarkan sonar dan berada di dekat kapal perang TNI. Jika berada jauh, apalagi tidak memancarkan sonar, alat itu akan mudah berlalu-lalang dan menerobos wilayah perairan Indonesia.
”Bisa dibilang, dari sisi alutsista dan teknologi, TNI AL memang belum siap untuk hadapi yang seperti itu. Kita selama ini masih banyak mengurusi persoalan di permukaan air,” kata Julius.
Dengan indikasi eskalasi keamanan di Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan, Julius mengatakan bahwa kesiapan TNI AL mendesak untuk ditingkatkan. Alutsista perlu diperbarui minimal mengikuti kecanggihan peralatan di negara tetangga. Termasuk juga untuk keperluan pengawasan (surveillance) di jalur-jalur strategis. Oleh karena itu, diperlukan dukungan anggaran dari pemerintah.
Bisa dibilang, dari sisi alutsista dan teknologi, TNI AL memang belum siap untuk hadapi yang seperti itu. Kita selama ini masih banyak mengurusi persoalan di permukaan air.
Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono dalam keterangan kepada media, Senin (4/1), mengatakan, sebenarnya ada banyak alat nirawak, yang di dunia internasional dikenal dengan nama argo float, mengapung di perairan yuridiksi Indonesia. Benda nirawak tersebut biasanya dilepaskan dari kapal riset atau kapal perang asing. Dengan temuan seaglider di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, TNI AL akan meningkatkan kewaspadaan terhadap kegiatan kapal riset dan kapal asing.
”Dengan adanya kejadian seperti ini, mungkin kami akan ajukan usulan peraturan presiden (Perpres) yang menyatakan bahwa alat nirawak bawah laut dilarang,” kata Yudo.
Tingkatkan teknologi alutsista
Pengamat intelijen dan pertahanan, Susaningtyas Kertopati, mengatakan, melihat eskalasi keamanan di jalur Asia Pasifik, dan fakta tiga kali temuan seaglider, TNI AL perlu meningkatkan teknologi alutsista. Alutsista di matra laut idealnya dilengkapi teknologi anti-unmanned underwater vehicle (UUV) ataupun unmanned sub-surface vehicle (USSV). Pusat Komando TNI AL juga perlu dilengkapi sistem pemantauan bawah laut dengan teknologi yang dikendalikan secara manual ataupun otomatis.
Selain dari internal TNI AL, Kementerian Perhubungan juga bisa diminta kerja sama untuk memasang alat deteksi dini keberadaan benda bawah laut ataupun lalu lintas bawah laut (underwater detection device) di seluruh alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Ini terutama dapat diprioritaskan di jalur strategis seperti Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Makassar, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
”Selain itu, TNI AL juga harus meningkatkan sistem pendidikan bagi prajurit agar memiliki kecakapan melakukan perang anti-USSV sebagai bagian dari perang dengan musuh yang kerap tak terlihat,” kata Susaningtyas.
Kebutuhan alutsista anti-UUV dan anti-USSV ini sudah sangat mendesak. Sebab, temuan UUV selama tiga kali berturut-turut menandakan bahwa wilayah perairan Indonesia menjadi adu pamer kekuatan militer antara China dan Amerika Serikat.
Jika memang ada usulan untuk memperbaiki sistem pertahanan laut agar lebih komprehensif, kami setuju. Usulan itu akan dikaji di Komisi I DPR.
”Tak kalah penting, regulasi juga dibutuhkan untuk menentukan tata cara menghadapi riset ilegal di perairan Indonesia, mulai dari perairan kepulauan (ALKI) hingga zona ekonomi ekslusif,” tutur Susaningtyas.
Anggota Komisi I dari Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Kadir Karding, mengatakan, pihaknya sepakat jika memang pertahanan di matra laut harus dilengkapi. Jika memang dari TNI AL dan Kementerian Pertahanan ada usulan pengadaan alutsista untuk memperbaiki sistem pertahanan laut, hal itu akan dikaji oleh Komisi I. Termasuk berapa usulan anggaran yang akan diajukan oleh Kemenhan. Dari usulan tersebut, akan terlihat mana yang paling menjadi prioritas untuk ditingkatkan.
”Jika memang ada usulan untuk memperbaiki sistem pertahanan laut agar lebih komprehensif, kami setuju. Usulan itu akan dikaji di Komisi I DPR,” kata Karding.
Anggota Komisi I dari Partai Nasdem, Willy Aditya, menambahkan, segala upaya yang dilakukan untuk pertahanan dan keamanan negara harus didukung. Termasuk pembelian alutsista dan perbaikan teknologi untuk memperbaiki sistem pertahanan laut. Apabila ada kendala anggaran, Komisi I DPR akan memperjuangkan. Tentu saja, usulan tersebut harus didasarkan pada kepentingan dan kajian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Komisi I DPR mendorong agar Kemenhan memperbarui kajian rencana strategis pertahanan yang komprehensif.