Hanya Dua Komisaris Jenderal yang Patuh Melaporkan LHKPN
Indonesia Corruption Watch meminta Presiden Joko Widodo memilih sosok perwira tinggi yang berintegritas untuk menjadi Kapolri. Salah satunya bisa dilihat dari kepatuhan melaporkan LHKPN.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch menemukan, dari sebelas perwira tinggi Polri berpangkat komisaris jenderal yang dapat menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, hanya dua orang yang patuh melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. ICW meminta Presiden Joko Widodo memilih sosok perwira tinggi yang berintegritas untuk menjadi Kapolri.
Seperti diketahui, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis akan pensiun, awal Februari mendatang. Menjadi kewenangan Presiden Joko Widodo untuk menentukan penggantinya, dengan persetujuan dari DPR.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, Jumat (8/1/2021), mengatakan, calon Kapolri yang dipilih Presiden hendaknya benar-benar berkomitmen membenahi internal institusi kepolisian. Sebab, institusi Polri selama ini masih dipersepsikan negatif oleh publik, terutama dalam komitmen untuk memberantas korupsi.
”Kepolisian adalah salah satu institusi utama untuk memberantas tindak kejahatan. Logika sederhananya, bagaimana mungkin dapat mengungkap kejahatan, tetapi di waktu yang sama, anggota kepolisian masih banyak tersandung praktik korupsi,” kata Kurnia.
Dalam catatan ICW, sejak 2006 hingga 2020, terdapat sembilan perwira tinggi Polri yang terlibat praktik korupsi dan kejahatan yang berkaitan dengan korupsi. Kemudian merujuk pada survei Lembaga Survei Indonesia pada awal Desember 2020, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja kepolisian hanya berkisar 59,7 persen.
Adapun dalam survei yang dilakukan ICW bersama LSI pada 2018, potensi terbesar pungutan liar dalam pelayanan birokrasi ada pada kepolisian. Hal itu, lanjut Kurnia, merupakan tantangan ke depan bagi institusi kepolisian untuk memastikan integritas setiap anggota Polri.
Untuk itu, Kapolri berikutnya diharapkan memastikan seluruh jajaran kepolisian patuh dan benar dalam melaporkan harta kekayaan (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu penting untuk memantau jika ada lonjakan harta kekayaan yang tidak linier dengan penghasilan resmi.
”Temuan ICW pada sebelas perwira tinggi dengan pangkat komisaris jenderal yang berpotensi menjadi Kapolri, ternyata hanya dua orang yang patuh dalam melaporkan LHKPN,” ujar Kurnia. Namun, siapa kedua orang dimaksud, ia tidak menyebutkannya.
Mengacu Pasal 11 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Polri, calon Kapolri adalah perwira tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. Jenjang kepangkatan dimaksud mengutamakan prinsip senioritas, dalam arti penyandang pangkat tertinggi di bawah Kapolri. Dengan demikian, semua perwira tinggi Polri berpangkat komisaris jenderal (komjen) berpeluang dipilih Presiden sebagai calon Kapolri berikutnya.
Selain itu, Kurnia menekankan, Kapolri terpilih diharapkan memprioritaskan agenda pembenahan internal dengan membentuk satuan tugas khusus guna menindak oknum internal yang melakukan praktik korupsi.
Adapun Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane berpandangan, proses suksesi di Polri kali ini berbeda jika dibandingkan dengan suksesi sebelumnya. Saat ini, suksesi Polri diwarnai situasi sosial politik yang dinamis, termasuk peristiwa terkait dengan kelompok garis keras keagamaan.
Diharapkan, lanjut Neta, calon Kapolri yang dipilih Presiden memiliki kapasitas untuk mengatasi dinamika sosial politik semacam itu. Di sisi lain, sosok Kapolri tersebut diharapkan mampu mengonsolidasikan institusinya, termasuk disegani senior ataupun yuniornya.
”Dengan demikian, keberadaan Kapolri tersebut tidak menjadi beban sosial bagi Presiden hingga masa jabatannya berakhir pada 2024,” kata Neta.
Terkait dengan turut disebutnya nama dirinya sebagai salah satu calon kapolri, Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, nama-nama yang beredar di publik tersebut merupakan spekulasi dari pengamat. ”Jadi diri sendiri saja belum lulus. Doakan saja saya bisa jadi diri sendiri,” katanya.
Agus juga menepis informasi bahwa dirinya dipanggil Presiden dua hari lalu. Menurut Agus, kapasitasnya sebagai Kabaharkam adalah menerima perintah dari Kapolri. Sementara yang berhubungan dengan Presiden adalah Kapolri.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo yang juga santer dikabarkan berpeluang menjadi Kapolri mengatakan, hingga kini dirinya tidak pernah dipanggil oleh Presiden terkait pencalonan Kapolri. ”Enggak ada,” ujarnya.
Selain Agus dan Listyo, dua nama lain dikabarkan berpeluang besar untuk diajukan Presiden sebagai Kapolri, yaitu Wakil Kapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Boy Rafli Amar.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir mengatakan hingga kini belum menerima surat presiden (surpres) terkait pergantian Kapolri. ”Sampai detik ini, belum ada (surpres) masuk ke DPR,” katanya.
Adies berharap Presiden sudah mengusulkan nama calon Kapolri ke DPR saat DPR mulai bersidang, 11 Januari mendatang. Setelah surpres diterima DPR, Komisi III DPR mempunyai waktu 20 hari untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon Kapolri tersebut.
Soal siapa yang dipilih Presiden, Adies menegaskan hal itu sepenuhnya kewenangan Presiden. ”Kembali lagi, semua tergantung Bapak Presiden mau menunjuk siapa. Enggak ada hubungannya dengan parpol. Kapolri (merupakan) hak prerogatif Presiden,” ujarnya.