Sepekan terakhir, gangguan keamanan oleh kelompok kriminal bersenjata semakin intens. Pemerintah kembali diingatkan untuk tak semata menggunakan pendekatan keamanan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Gangguan keamanan oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua kian intens. Dalam sepekan terakhir, misalnya, empat insiden terjadi. Negara pun diminta hadir untuk melindungi masyarakat Papua. Upaya mengakhiri konflik di Papua, tidak semata dengan mengedepankan pendekatan keamanan, tetapi penting pula untuk membuka ruang dialog.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Puncak Ajun Komisaris Besar Dicky Hermansyah Saragih, saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Senin (11/1/2021), mengatakan, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ditengarai menjadi pelaku pembakaran dua fasilitas stasiun pemancar (base transceiver station/BTS) untuk jaringan 4G di Kabupaten Puncak pada Kamis (7/1/2021). Akibatnya, jaringan internet dari program Palapa Ring Timur tidak berfungsi hingga kini.
Kedua stasiun pemancar dimaksud, BTS 4 di Distrik Omukia dan BTS 5 di wilayah Muara, Distrik Mabuggi.
”Berdasarkan dari hasil penyelidikan sementara dan informasi di lapangan, KKB terlibat dalam aksi pembakaran dua BTS tersebut. Namun, kami belum tahu kelompok mana yang terlibat di balik aksi ini,” papar Dicky.
Ia menuturkan, perbuatan KKB menyebabkan pembangkit daya ke menara tidak terkoneksi dan jaringan radio ke Telkom ataupun penyedia layanan Telkomsel terputus. Padahal, fasilitas tersebut baru saja diresmikan, Desember 2020.
”Aksi pembakaran dua BTS ini mengakibatkan jaringan 4G Telkom Ilaga terputus serta link Palapa Ring Timur dari Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, ke Ilaga, Puncak, hingga Mulia, Puncak Jaya, terputus,” ungkap Dicky.
Personel Polres Puncak telah diterjunkan untuk mengejar para pelaku. Namun, hingga kini, upaya itu belum berhasil.
Bupati Puncak Willem Wandik mengatakan dirinya sedih saat memperoleh informasi dibakarnya kedua BTS itu. Akibatnya, masa depan anak-anak Puncak mendapatkan ilmu pengetahuan melalui layanan internet menjadi terhambat.
”Kami berjuang selama bertahun-tahun agar fasilitas tersebut bisa hadir di Puncak. Namun, ternyata ada pihak yang dengan mudah membakar fasilitas tersebut,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari daerah pemilihan Papua, Yan Permenas Mandenas, pun menyesalkan insiden itu. ”Untuk membangun saja susah karena medannya dan rawan gangguan keamanan. Seharusnya seluruh pihak di Puncak melindungi fasilitas tersebut,” tambahnya.
Mengakui pembakaran
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) Sebby Sambom menyatakan, pihaknya memang terlibat dalam aksi pembakaran kedua fasilitas BTS di Puncak.
”Dengan aksi ini, TPN OPM menyatakan tidak mau menerima fasilitas Pemerintah Indonesia di wilayah Papua. Kami tidak butuh fasilitas jaringan telekomunikasi,” ujar Sebby.
Dengan kejadian pembakaran BTS di Puncak ini, total sudah empat kali KKB mengganggu keamanan di Papua dalam sepekan terakhir.
Pada Rabu (6/1/2020) KKB Kali Kopi menembaki helikopter operasional milik PT Freeport Indonesia di areal tambang Distrik Tembagapura, Mimika. Tembakan melubangi bagian bawah helikopter dan dekat pintu penumpang bagian kiri. Pada hari yang sama, KKB di bawah pimpinan Sabinus Waker membakar pesawat perintis PK-MAX di Lapangan Terbang Kampung Pagamba Distrik Mbiandoga, Intan Jaya.
Kemudian pada Minggu (10/1/2021), KKB kontak senjata dengan Batalyon Infanteri 400/Banteng Raider TNI ADdi Titigi, Intan Jaya. Prajurit Dua Agus Kurniawan gugur dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan pemerintah
Penggiat hak asasi manusia (HAM) di Papua, John Jonga, berpendapat, Organisasi Papua Merdeka atau diklaim pihak keamanan sebagai KKB kian intens melancarkan aksinya sebagai upaya menarik perhatian publik internasional. Selain itu, dipicu pula oleh tidak kunjung tuntasnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Di sisi lain, ia melihat, tidak tepatnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan. Untuk mencegah kekerasan terus berulang, tak bisa melulu dengan pendekatan keamanan. Pemerintah perlu membuka ruang dialog. Namun, menurut dia, ruang dialog itu tak pernah ada.
”Aksi kekerasan yang terus terjadi menunjukkan negara terkesan menganggap masalah tersebut biasa saja. Tidak ada solusi yang serius untuk mengakhiri konflik di Papua,” tutur peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award Tahun 2009 ini.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional (Komnas) HAM Wilayah Papua Frits Ramandey menyatakan, aksi KKB yang menyerang fasilitas publik tidak bisa dikatakan sebagai perjuangan politik, tetapi tindakan kriminal murni serta melanggar pemenuhan hak warga.
”Dengan aksi ini semakin menyudutkan KKB di mata internasional. Solusinya untuk menghadapi kelompok ini dengan cara persuasif oleh pemda (pemerintah daerah) setempat dan penegakan hukum. Negara harus hadir untuk melindungi masyarakat dari ancaman kelompok ini,” ujarnya.