Kaus Lengan Pendek Presiden Jokowi dan Vaksin Kedua
Dengan kaus lengan pendek di balik jaket merah yang dikenakannya, Presiden Jokowi kembali divaksin. Media daring meramaikan kaus tersebut. Pesannya, di balik peningkatan satu juta pasien, penanganan perlu pembenahan.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
Latar besar berwarna merah dan bertuliskan ”Vaksin Aman dan Halal” kontras dengan hijau pohon dan rumput di sisi barat halaman Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Inilah yang jadi latar saat Presiden Joko Widodo mendapat suntikan kedua vaksin Covid-19, Rabu (27/1/2021).
Sebelumnya, latar ini juga digunakan Presiden Joko Widodo mendapat vaksin Covid-19 perdana 14 hari lalu di tempat sama. Bersama Presiden, seperti saat mendapat dosis pertama, juga para tokoh, mulai dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Aziz, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, para pemimpin organisasi dokter perawat bidan dan apoteker, tokoh agama, sampai pemengaruh (influencer). Harapannya, keteladanan ini membangun kepercayaan warga.
Namun, acara seremonial selalu memunculkan keriuhan media sosial. Di vaksinasi kedua ini, media daring menyoroti kaus tanpa lengan yang digunakan Presiden di balik jaket merahnya. Padahal, Presiden ingin praktis saat vaksinasi dilakukan dokter.
Deputi Bidang Protokol Pers dan Media Bey Machmudin pun menjelaskan. ”Presiden merasa lebih nyaman kalau ruang di lengannya lebih terbuka sehingga memberi keleluasaan vaksinator menyuntikkan vaksinnya agar tak perlu meminta Presiden menaikkan lengan kemejanya,” tutur Bey.
Saat seremoni vaksinasi pertama, kehebohan juga muncul ketika pemengaruh (influencer) yang dianggap mewakili milenial mengabaikan protokol kesehatan seusai vaksinasi. Raffi Ahmad pun segera menyampaikan permohonan maaf melalui media sosialnya.
Presiden merasa lebih nyaman kalau ruang di lengannya lebih terbuka sehingga memberi keleluasaan vaksinator menyuntikkan vaksinnya agar tak perlu meminta Presiden menaikkan lengan kemejanya.
Sementara itu, hoaks seputar vaksin terus muncul. Bahkan, ada yang menilai cairan vaksin yang diberikan ke Presiden tidak benar-benar disuntikkan ke dalam tubuh. Begitulah medsos yang memberikan info tanpa fakta dan konfirmasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sampai 27 Januari 2021 menemukan 88 hoaks yang tersebar di sejumlah media sosial, mulai dari Facebook hingga Tiktok. Semua hoaks, menurut Menteri Kominfo Johny G Plate, sudah di-take down, tetapi namanya medsos, hoaks itu direproduksi dan diedarkan kembali lewat platform pesan singkat Whatsapp dan Telegram.
”Secara teknis, sebaran hoaks di platform WA dan Telegram sulit di-take down karena bersifat privat dan end-to-end encryption. Maka, dilakukan diseminasi counter fakta dengan labeling hoaks dan rilis cek fakta yang disebarluaskan melalui platform medsos dimaksud,” tutur Johny Plate kepada Kompas.
Perbaikan manajemen
Di tengah situasi ini, vaksinasi tahap pertama kepada para tenaga kesehatan berjalan lambat karena adanya kendala. Selama dua pekan ini, Presiden Jokowi menyebutkan, baru sekitar 250.000 tenaga kesehatan divaksinasi. Namun, dua hari ini, diharapkan bisa meningkat sampai 50.000 tenaga kesehatan per hari.
”Pemerintah fokus pada target semula per hari 900.000 ke satu juta warga mendapat vaksinasi. Kita punya 30.000 vaksinator, serta 10.000 di puskesmas dan 3.000 di rumah sakit. Tetapi, memang butuh waktu, manajemen lapangan yang baik dan itu selalu saya sampaikan,” tutur Presiden seusai divaksin kedua.
Sementara itu, jumlah kasus Covid-19 secara kumulatif di Indonesia melewati satu juta. Rabu ini, kasus aktif di Indonesia 164.113 orang. Banyak rumah sakit dan tempat isolasi penuh. Vaksinasi memang bukan satu-satunya jawaban kendalikan Covid-19. Namun, asa vaksin diharapkan membentuk kekebalan komunitas dan kembalikan pertumbuhan ekonomi.
Bukan cuma efikasi, pertanyaan seperti benar atau tidak kalau baru pertama divaksin, malah bisa menularkan Covid-19. Ini tak pernah dijawab. Semestinya konten-konten seperti ini disediakan sesuai pertanyaan untuk membangun kepercayaan vaksin.
Kelemahan meyakinkan tenaga kesehatan dan masyarakat soal vaksinasi, menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Hendri Satrio, akibat terlalu banyak simbol dan selebrasi. Akibatnya, pertanyaan-pertanyaan dan keraguan publik kurang terjawab.
”Bukan cuma efikasi, pertanyaan seperti benar atau tidak kalau baru pertama divaksin, malah bisa menularkan Covid-19. Ini tak pernah dijawab. Semestinya konten-konten seperti ini disediakan sesuai pertanyaan untuk membangun kepercayaan vaksin,” tutur Hendri.
Selain itu, pemerintah dan satgas penanganan Covid-19 perlu memilih sosok tepat untuk menyampaikan penjelasan dan meluruskan berita hoaks. Di masa pandemi ini, masyarakat tentu sangat mendengarkan pendapat dokter, epidemiolog atau ahli biologi molekuler. Artis yang dipercaya dan ditunjuk perdana mengikuti vaksin semestinya memberikan contoh selain jadi ”juru bicara” yang baik. Tak cuma usai divaksinasi, diam.
Tanpa jawaban yang tepat dari orang yang tepat, tentu keraguan tak akan sirna, selain contoh teladan para orang yang benar-benar dipercaya dan kompeten saat program vaksinasi. Para pembuat hoaks pun tak punya peluang mengisi keraguan ini dengan berbagai konten yang bisa semakin mengacaukan suasana.
Tentu keinginan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Daeng Mohammad Faqih yang akan mempermudah para tenaga kesehatan pada tahap pertama untuk prioritas divaksinasi melalui bantuan IDI cabang setempat bisa segera terealisasi.