Pembahasan RUU Pemilu Berpeluang Ditunda atau Dibatalkan
Komisi II DPR akan menanyakan ulang sikap setiap fraksi terhadap RUU Pemilu menyusul penolakan dari PAN dan PPP. Sebagai RUU yang akan menjadi inisiatif DPR, komisi ingin seluruh fraksi menyetujui pembahasan RUU Pemilu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II DPR sebagai pengusul Rancangan Undang-Undang Pemilu menginginkan seluruh fraksi menyetujui pembahasan RUU tersebut. Namun, jika suara bulat tak tercapai, bukan tak mungkin pembahasan RUU ditunda atau bahkan tidak dilanjutkan. Untuk itu, akan ada pembicaraan ulang di internal komisi guna menanyakan ulang sikap setiap fraksi.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, penolakan dua fraksi di DPR, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), terhadap RUU Pemilu akan menjadi masukan bagi komisi untuk mempertimbangkan lebih lanjut kemungkinan pembahasan RUU tersebut. Sebab, sebagai sebuah RUU inisiatif DPR, RUU itu harus disetujui secara bulat di DPR.
”Kalau ada fraksi yang menolak, itu pasti juga akan kami pertimbangkan dan kami hargai masukannya. Karena bagaimanapun ini adalah RUU usulan DPR, jadi sebaiknya ada suara bersama yang bulat di antara fraksi-fraksi,” ujarnya, Jumat (29/1/2021), di Jakarta.
Selain memperkuat sikap di internal komisi, menurut Arif, dalam pembahasan suatu RUU juga mesti melihat sikap dari pemerintah. "”Apakah pemerintah bersedia membahas RUU itu ataukah tidak. Pasalnya, tidak mungkin suatu RUU dibahas tanpa persetujuan salah satu pihak,” katanya.
Arif melihat, salah satu yang menjadi persoalan dalam revisi UU Pemilu kali ini ialah adanya niatan untuk memasukkan UU Pilkada ke dalam UU Pemilu. Kodifikasi itu, menurut Arif, tidak perlu dilakukan. PDI-P sejak awal memberikan catatan, sejumlah dampak akan timbul jika pilkada diatur jadi satu dengan pemilu.
”Rezim pilkada itu, kan, pemerintahan daerah, sedangkan pemilu itu rezim pemilu sehingga basis konstitusionalnya sejak awal berbeda. Karena itu, PDI-P tidak menginginkan kedua jenis pemilihan itu diatur di dalam satu UU,” ucapnya.
Fraksi PDI-P juga mendorong agar UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tetap dipertahankan dan tidak diubah ketentuannya, terutama yang berkaitan dengan keserentakan pemilu. UU Pilkada mengatur pilkada serentak nasional 2024. Pada 2024, akan dilaksanakan tiga jenis pemilihan sekaligus, yakni pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pilkada. Hanya saja, pilkada dilakukan bulan November, sedangkan pilpres dan pileg bersamaan pada April, 2024.
Arif mengatakan, jika digelar bersamaan pada 2024, menurut dia, akan tercapai kesinambungan antara pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sebab, pada tahun dan waktu yang sama mereka terpilih sebagai eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, keselarasan pembangunan nasional dan daerah dapat lebih mudah diwujudkan.
”Tidak seperti sekarang, yang ada kepala daerah 2,5 tahun ikut pemerintahan A dan 2,5 tahun kemudian di masa pemerintahan selanjutnya. Jadi, tidak ada keselarasan pembangunan antara pusat dan daerah. Kalau diserentakkan 2024, akan terjadi kesinambungan,” ujarnya.
Oleh karena itu, fraksinya menolak jika aturan soal pilkada dimasukkan dalam RUU Pemilu. Namun, sepanjang kedua ketentuan itu tidak digabungkan, atau khususnya yang terkait keserentakan pilkada dan pilpres dan pileg tidak diutak-atik, wacana pembahasan RUU Pemilu tidak menjadi persoalan bagi fraksinya.
Hanya saja, lanjut Arif, fraksinya juga harus menimbang pendapat dari fraksi-fraksi yang lain. Demikian pula sebagai pimpinan komisi, perbedaan sikap dan pandangan di antara fraksi-fraksi itu harus dipertimbangkan untuk melanjutkan atau tidak pembahasan RUU Pemilu.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan merapatkan kembali sikap-sikap akhir fraksi di internal Komisi II.
Doli mengatakan, hal mendasar yang perlu dipahami ialah terbentuknya suatu UU itu karena ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR.
RUU Pemilu itu telah melalui berbagai proses sehingga sekarang diproses di Badan Legislasi DPR. Namun, dalam perjalanannya, ada penolakan dari sejumlah fraksi, sekalipun awalnya tidak ada penolakan itu. Selain itu, pendapat pemerintah juga harus dipertimbangkan.
”Faktanya ada beberapa fraksi yang menolak, tentu itu harus kita hargai,” ujarnya.
Sama seperti Arif, Doli mengatakan, usulan RUU Pemilu itu inisiatif DPR, maka harus dicapai kata sepakat secara bulat di antara fraksi-fraksi.
”Harus ada pembicaraan ulang di komisi untuk mendengarkan keputusan final dari masing-masing fraksi. Apakah mereka mau meneruskan RUU Pemilu ini ataukah tidak. Golkar berpandangan, karena ini inisiatif DPR, ya, harus bulat, jangan ada yang tidak setuju. Kalau ada perubahan UU dan ada fraksi yang tidak setuju, kita kembalikan ke UU lama. Itu hakikat proses legislasi,” katanya.
Kalaupun akhirnya pembahasan RUU Pemilu itu disepakati ditunda, menurut Doli, hal itu akan diputuskan bersama di komisi. Begitu pula berapa lama penundaan pembahasan. Sebab, alasan utama yang mengemuka dari fraksi-fraksi yang menolak ialah karena kondisi pandemi Covid-19.
”Nanti kita lihat apakah ditunda setahun atau dua tahun, itu akan dibicarakan dulu. Karena yang pasti pandangan fraksi-fraksi harus dihargai,” katanya.