Agar Rancangan Undang-Undang Pemilu tidak terkatung-katung, perlu titik temu dalam perdebatan fraksi-fraksi di DPR. Selain pertimbangan evaluasi Pemilu 2019, pembahasan keserentakan pilkada sebaiknya dibahas belakangan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Titik temu dalam perdebatan tentang rancangan Undang-Undang Pemilu harus segera dicari untuk mencegah usulan revisi UU Pemilu itu terkatung-katung, sementara di saat yang sama dibutuhkan evaluasi atas penyelenggaraan Pemilu 2019. Salah satu usulan yang mengemuka ialah agar perdebatan mengenai keserentakan antara pilkada dan pemilu dibahas belakangan lantaran berpotensi menimbulkan polemik berkepanjangan.
Sejumlah isu lain yang juga penting di dalam evaluasi atas Pemilu 2019 harus pula dipertimbangkan, tidak semata-mata perdebatan soal keserentakan pemilu, serta mengedepankan pertimbangan subyektif politik masing-masing partai politik. Keserentakan di satu sisi akan menjadi isu alot dalam pembahasan RUU itu bersama pemerintah, tetapi setidaknya wacana itu dibuka ruang perdebatannya. Apalagi ketika RUU ini lolos Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan tidak buru-buru dipatahkan ketika draf RUU tengah berproses di DPR.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, Kamis (4/2/2021) di Jakarta, mengatakan, sikap di Komisi II DPR sebenarnya telah selesai ketika Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu menyelesaikan tugasnya dan draf RUU Pemilu diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Konsistensi semua parpol, termasuk pemerintah, dibutuhkan untuk meneruskan draf RUU ini menjadi inisiatif DPR dan membawanya ke dalam perdebatan yang lebih substantif.
”Kalau kita mau menghormati prosedur dan kesepakatan yang sudah dijalani, semestinya proses itu biarkan saja berjalan. Sebab, ini, kan, di Komisi II sudah selesai dan telah ada di Baleg, tinggal nunggu dibawa ke paripurna dan dijadikan RUU inisiatif DPR. Selanjutnya, dikirim ke Presiden. Nanti segala perdebatan pilkada dan bagaimana ambang batas serta perbedaan lainnya itu ditumpahkan saja ketika pembahasan dengan pemerintah. Ini, kan, baru draf. Nanti silakan dibahas habis-habisan,” papar Zulfikar.
Kalau kita mau menghormati prosedur dan kesepakatan yang sudah dijalani, semestinya proses itu biarkan saja berjalan.
Zulfikar mengatakan, banyak hal lain yang lebih substantif untuk dibahas dalam wacana RUU Pemilu ini dan tidak hanya soal keserentakan pilkada dan pemilu. Penyusunan RUU Pemilu yang telah disepakati bersama mulanya dimaksudkan untuk menciptakan sistem pemilu yang berkelanjutan dan membuat desain pemilu yang sesuai dengan maksud konstitusi. Ia menyayangkan jika proses yang berjalan harus dipatahkan di awal.
Zulfikar memahami RUU Pemilu ini sangat terkait dengan eksistensi parpol di masa depan. Setiap parpol pasti memiliki alasan subyektif masing-masing. Namun, hendaknya kepentingan itu tidak menggadaikan cita-cita bersama untuk mewujudkan sistem pemilu yang lebih baik. Selain itu, upaya mematahkan pembahasan RUU Pemilu dengan cara mengeluarkannya dari Prolegnas Prioritas 2021 dipandang kurang elegan.
”Itu, kan, sudah disepakati bersama pemerintah dan parpol-parpol juga bersetuju sehingga proses berjalan. Masa Baleg harus rapat kembali dan ikuti dinamika sekarang. Kan, itu tidak enak karena itu sudah disetujui di pembahasan tingkat pertama dan tinggal diparipurnakan. Perkara nanti sikapnya berbeda-beda, ya, nanti saja saat pembahasan. Kita ini, kan, mau bernegara, tidak sekadar berpolitik,” tuturnya.
Isu berbeda
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, dalam revisi UU Pemilu ini harus dibedakan antara penyelenggaraan pilkada dan evaluasi sistem pemilu. Sebab, pada mulanya yang ingin direvisi ialah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bukan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Persoalan mengemuka ketika ada keinginan menyatukan atau kodifikasi antara UU Pilkada dan UU Pemilu ke dalam satu UU.
”Dalam perkembangannya, ada beberapa parpol yang mengusulkan agar dilakukan kodifikasi itu. Menurut kami di PDI-P, itu tidak tepat. Kami menilai kodifikasi tidak perlu dilakukan karena landasan konstitusionalnya berbeda. Pilkada itu rezim pemerintahan daerah, sedangkan pemilu rezim pemilu,” ungkapnya.
Arif mengatakan, sejak awal partainya memberikan catatan untuk tidak mengodifikasi UU Pilkada dan UU Pemilu. Partainya juga sepakat agar pelaksanaan pilkada tetap mengikuti UU yang sudah ada dan tidak memerlukan revisi. ”Jadi, ini bukan soal pilkada mau digelar tahun berapa, 2022, 2023, dan 2024. Namun, ini soal desain pilkada yang menurut kami harus diserentakkan dengan pemilu di 2024 untuk menjaga keselarasan pembangunan antara pusat dan daerah,” ucapnya.
Arif membantah adanya anggapan sikap sejumlah partai itu untuk mengganjal Anies Baswedan maju di Pilkada 2022. ”Lho, tidak benar itu. UU Pilkada itu dibuat tahun 2016, jauh hari sebelum ada hasil Pilkada DKI Jakarta dan UU itu tidak tahu, kan, siapa yang akan memenangi pilkada dan siapa yang akan maju dalam pilkada selanjutnya. Ini bukan soal orang perorangan. UU menjamin, siapa pun asal memenuhi persayaratan dapat mencalonkan diri di dalam pilkada,” katanya.
Terkait dengan isu krusial lain di luar keserentakan, seperti ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas raihan suara untuk diikutkan dalam hitungan kursi parlemen (parliamentary threshold), sistem pemilu, besaran daerah pemilihan (dapil), desain kelembagaan penyelenggara pemilu, dan cara konversi suara, Arif mengatakan, PDI-P terbuka untuk dibahas sebagai materi RUU Pemilu. Namun, pembahasan RUU itu harus mempertimbangkan pendapat pemerintah, terutama karena pemerintah saat ini lebih mengedepankan penuntasan pandemi serta penanganan dampak pandemi yang berat untuk dijadikan fokus bersama warga bangsa.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa sepakat untuk meneruskan pembahasan RUU Pemilu di DPR. Sekalipun ada perbedaan pendapat mengenai substansi yang ada di dalam draf RUU Pemilu, itu dipandang wajar dan dapat dibahas lebih lanjut saat pembahasan dengan pemerintah. Draf yang ada sekarang di Baleg adalah draf hasil kesepakatan bersama dari fraksi-fraksi di Komisi II dapat saja berubah saat pembahasan di tingkat pertama.
Kalaupun disepakati pilkada dilakukan pada 2024, menurut Saan, isu-isu lain sebagai hasil evaluasi terhadap Pemilu 2019 tidak dapat diabaikan begitu saja. ”Revisi UU Pemilu tetap dibutuhkan untuk merespons juga masukan dari publik terhadap Pemilu 2019, seperti banyaknya petugas KPPS yang meninggal karena kelelahan atau desain kelembagaan penyelenggara yang kewenangannya berisiko tumpang-tindih, dan polarisasi yang tajam di masyarakat karena ambang batas pencalonan yang tinggi,” ujarnya.
Jalan tengah
Soal keserentakan itu, sekalipun penting, dan merupakan respons atas putusan MK, sebaiknya dibahas belakangan sambil terus dilakukan komunikasi politik di antara parpol dan pemerintah.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggrainai, mengatakan, secara faktual masih dibutuhkan revisi UU Pemilu. Kalau isu keserentakan masih memicu pembelahan sikap di antara parpol, setidaknya ada isu lain yang dapat dibahas dulu. Misalnya, pelembagaan penyelenggara pemilu, administrasi pemilu, keadilan elektoral, dan lainnya.
”Soal keserentakan itu, sekalipun penting, dan merupakan respons atas putusan MK, sebaiknya dibahas belakangan sambil terus dilakukan komunikasi politik di antara parpol dan pemerintah. Sekalipun jadwal dan model keserentakan diubah dalam revisi kali ini, diskursus keserentakan ini bisa terus terjadi. Sebab, setiap kali ada perubahan model keserentakan pasti membawa implikasi yang dapat memicu perubahan lagi,” katanya.
Dengan mempertimbangkan alotnya pembahasan RUU Pemilu, Titi mengatakan, sebaiknya revisi itu dilakukan lebih awal. Selain itu, melihat hingga saat ini RUU itu belum bergerak di DPR dan Pilkada 2022 sulit dilakukan karena hingga awal 2021 belum juga ada payung hukumnya, Perludem mengusulkan normalisasi pilkada digabung saja pada 2023.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doly Kurnia Tandjung mengatakan, rapat koordinasi internal di Komisi II terkait dengan RUU Pemilu saat ini belum dilakukan. Salah satu penyebabnya ialah karena belum ada rapat paripurna penetapan Prolegnas Prioritas 2021. ”Kami kalau mau rapat apa pun di internal soal legislasi, kan, dilarang sebab belum ada dasarnya,” ucapnya.