Komisi II DPR Kritisi Program Sertifikat Tanah Elektronik
Komisi II DPR mengkritisi program sertifikat tanah elektronik di Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021. Sebab, sertifikat warga akan ditarik untuk disimpan menjadi warkah di kantor pertanahan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat mengkritisi program sertifikat tanah elektronik yang dikeluarkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021. Sebab, salah satu pasal mengatur agar sertifikat warga ditarik untuk disimpan menjadi warkah di kantor pertanahan.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menilai, kebijakan kementerian itu kurang tepat karena sejumlah alasan.
Pertama, warga akan kehilangan bukti fisik kepemilikannya atas tanah jika sertifikat miliknya itu ditarik oleh kantor pertanahan. Kedua, niatan digitalisasi sertifikat itu baik, tetapi harus dilihat apakah jaringan internet di seluruh Indonesia telah memadai dan dapat menjamin dokumen sertifikat dalam bentuk elektronik itu dapat diakses oleh warga. Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) mengoperasikan penatalaksanaan digitalisasi sertifikat tanah warga itu.
”Program ini, kan, belum pernah disampaikan kepada Komisi II DPR oleh kementerian. Tentu ini perlu nantinya segera diagendakan dalam waktu dekat untuk menjelaskan program ini,” kata politisi Partai Golkar ini, di Jakarta, Kamis (4/2/2021).
Baca Juga: Presiden: Kepemilikan Sertifikat Tanah Redam Konflik
Doli menyarankan, sebaiknya data sertifikat tanah warga itu dirapikan terlebih dulu. Setelah dirapikan, barulah sertifikat fisik itu dapat didigitalisasi atau diubah ke dalam bentuk elektronik. Namun, idealnya, sertifikat fisik yang telah disimpan oleh pemilik tanah itu tidak diambil kantor pertanahan. Sebab, hal itu akan menimbulkan risiko pemalsuan atau penyalahgunaan sertifikat oleh pihak-pihak lain yang tidak berhak.
”Dengan sertifikat fisik saja dapat dimanipulasi dan kerap dijadikan dasar bagi klaim-klaim tanah. Banyak juga konflik yang timbul karena ada pemalsuan sertifikat ini. Jika nantinya digitalisasi dilakukan dan warga tidak memiliki sertifikat fisik, bagaimana dapat menjamin sertifikat elektronik itu tidak dipalsukan. Sebab, dengan perkembangan teknologi saat ini, dokumen digital rentan dimanipulasi atau dipalsukan oleh orang lain. Hal-hal semacam ini harus pula dipertimbangkan,” paparnya.
Pasal 16 Ayat (3) Permen ATR/BPN No 1/2021 tentang Sertipikat Elektronik itu mengatur, kepala kantor pertanahan menarik sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada kantor pertanahan. Substansi pasal ini, lanjut Doli, perlu untuk diterangkan oleh kementerian supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
Hal serupa diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo. Pasal tersebut dinilai berbahaya karena berpotensi menghilangkan hak warga atas bukti klaim terhadap tanah yang mereka miliki.
Idealnya, menurut dia, sertifikat tanah warga tidak diambil oleh kantor pertanahan sehingga warga tidak kehilangan bukti fisik atas kepemilikan tanah mereka.
”Boleh saja kalau digitalisasi sertifikat itu dilakukan, sepanjang sertifikat fisik warga tidak ditarik. Karena kalau ditarik, warga berpotensi kehilangan haknya atas tanah. Sebab, sejauh mana teknologi itu dapat dipercaya kredibilitasnya. Jaringan internet kita, kan, masih naik turun. Jangan sampai program ini menimbulkan manipulasi atas tanah rakyat. Pasal itu perlu diubah,” ungkapnya.
Arif mengatakan, pihaknya dalam waktu dekat mendorong agar Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil dipanggil untuk memberikan keterangan kepada Komisi II DPR.
Menurut dia, digitalisasi dapat dipahami sebagai upaya untuk memudahkan penataan data. Sebab, di gudang-gudang kantor pertanahan juga banyak tersimpan salinan sertifikat warga. Oleh karena itu, pendekatan digitalisasi untuk menguragi salinan sertifikat data di kantor pertanahan dapat saja dilakukan. Namun, bukan berarti sertifikat fisik yang disimpan oleh warga harus ditarik oleh kantor pertanahan.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, menuturkan, sertifikat asli yang dimiliki warga tidak perlu diserahkan kepada kantor pertanahan. Sebab, sertifikat adalah bukti kepemilikan tanah rakyat. Logikanya, bukti itu harus dipegang oleh rakyat yang memiliki tanah itu.
”Boleh saja bukti itu didigitalisasi, tetapi bukti aslinya sebaiknya tetap dipegang oleh pemilik tanah. Oleh karenanya, apa maksudnya pemerintah mengeluarkan permen itu harus dijelaskan,” tuturnya.
Tidak mendesak
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, sertifikat elektronik bukan hal yang mendesak dan prioritas. Sebab, pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan.
”Seharusnya konsentrasi dana APBN dan kerja kementerian diarahkan kepada usaha pendaftaran seluruh tanah di Indonesia, tanpa kecuali, baik tanah kawasan hutan maupun tanah nonkawasan hutan. Dengan usaha ini, terangkum basis data pertanahan yang lengkap sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional ataupun sebagai basis pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya Land Reform,” ujarnya.
Sertifikasi dan digitalisasi harusnya langkah terakhir, setelah mandat utama Undang-Undang Pokok Agraria, pendaftaran tanah secara nasional, sejak tingkat desa dijalankan terlebih dahulu. Selain itu, dari sisi proses, implementasi digitalisasi ini akan dimulai dari tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik. Lalu bisa dicetak di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.
”Titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha. Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut sebab tanah-tanah yang sudah bersertifikat tersebut banyak yang bermasalah. Misalnya, tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang beperkara di pengadilan, sementara sistem antarinstansi, seperti pengadilan, belum terhubung,” paparnya.
Dewi mengatakan, digitalisasi sertifikat ini juga rentan bagi rakyat. Banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat, yang seharusnya justru dituntaskan lebih dahulu konfliknya, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha.
Dari sisi hukum, menurut Dewi, rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh dihilangkan dengan program itu. Hal lainnya, sertifikat elektronik, warkah tanah, dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja dan bertujuan memudahkan basis data tanah di kementerian. ”Jadi, digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli,” katanya.
Baca juga: Sertifikat Tanah Penangkal Sengketa Tanah
Sebelumnya, staf khusus Menteri ATR BPN Bidang Kelembagaan, Teuku Taufiqulhadi, menjelaskan, sertifikat tanah tidak dikumpulkan begitu saja, tetapi akan ditukar menjadi sertifikat elektronik. ”Tidak persis demikian, tetapi persisnya adalah ditukar. Ditukar antara sertifikat manual (hard copy) dan sertifikat elektronik,” katanya kepada Kompas.com, Rabu (3/2/2021).
Kemudian, jika sudah ada sertifikat elektronik, yang manual wajib diserahkan kepada BPN untuk dokumen.
Dia menjelaskan, ketika ada perubahan dari sertifikat manual menuju sertifikat elektronik, warga tidak membutuhkan lagi sertifikat manual. ”Kenapa? Sertifikat manual itu sangat tidak aman. Mudah hilang, mudah diambil orang, dan mudah digandakan,” ujarnya.
Sementara itu, menurut dia, sertifikat elektronik sangat aman karena itu berada dalam basis data. Dengan demikian, itu tidak mudah hilang, tidak mudah digandakan, dan tidak akan rusak.
Taufiq pun menjelaskan, program itu sudah dimulai saat ini, tetapi baru terbatas pada kantor pertanahan yang siap dan mudah diawasi, seperti Jakarta dan Surabaya. ”Tidak bisa dilaksanakan secara serentak. Namun, kita laksanakan secara gradual,” katanya.