Meski Sudah Buat Tim Pengkaji, Keseriusan Pemerintah Revisi UU ITE Tetap Ditagih
Rapat kerja Menkumham Yasonna H Laoly dengan Baleg DPR, kemarin, RUU ITE bukan termasuk 33 RUU yang jadi prolegnas. Panduan impelementasi Polri dan Kominfo dianggap juga belum memadai. Revisi UU ITE pun jadi pilihan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembuatan panduan impelementasi oleh kepolisian terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pada kenyataannya tidak memadai untuk memutus potensi multitafsir di dalam penerapan UU ITE. Oleh karena itu, keseriusan pemerintah merevisi UU ITE ditagih, dan revisi UU itu sebaiknya segera diajukan untuk masuk menjadi prioritas dalam program legislasi nasional tahunan.
Dalam rapat kerja antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (9/3/2021), RUU ITE bukan termasuk ke dalam 33 RUU yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Revisi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No 19/2016 tentang ITE itu masih tercatat ke dalam daftar tunggu Prolegnas Prioritas 2020-2024.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyayangkan belum dicantumkannya RUU ITE ke dalam daftar prolegnas prioritas tahunan. Hal ini menyiratkan keraguan pemerintah untuk melakukan revisi. Di sisi lain, pembuatan Telegram Polri tentang Pedoman Penanganan Kasus UU ITE ternyata belum optimal untuk menghentikan kemungkinan multitafsir terhadap pasal-pasal ”karet” di dalam UU ITE.
Buktinya, SAFEnet dalam beberapa hari ini masih menangani kasus warga di Sumatera Barat yang diproses oleh kepolisian setempat karena dilaporkan oleh kepala koperasi unit desa (KUD) dan pimpinan kesatuan adat di Tiku Lima Jorong, Kabupaten Agam. Warga yang dilaporkan adalah mahasiswa yang membela kepentingan warganya lantaran hak-hak warga dalam pengelolaan kelapa sawit tidak dibayarkan selama tiga tahun oleh pimpinan KUD. Warga kemudian beberapa kali mengunggah kegiatan advokasi dan demonstrasinya yang diliput media ke Facebook. ”Ini yang dijadikan dasar laporan pelanggaran UU ITE,” kata Damar, saat dihubungi, Kamis (11/3/2021) dari Jakarta.
Damar mengatakan, kasus di Sumbar itu menunjukkan pedoman teknis dalam penanganan kasus UU ITE saja tidak cukup untuk menghentikan multitafsir dalam penerapan pasal-pasal UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian berbasis SARA. Sekalipun telah ada pedoman teknis penerapan UU ITE, polisi masih saja memproses warga dengan UU ITE yang tafsirnya berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pedoman saja tidak cukup karena yang harus direvisi ialah pasal-pasal yang menjadi akar persoalannya. Kami mendorong agar pasal-pasal itu direvisi total atau dihapuskan. (Damar Juniarto)
”Pedoman saja tidak cukup karena yang harus direvisi ialah pasal-pasal yang menjadi akar persoalannya. Kami mendorong agar pasal-pasal itu direvisi total atau dihapuskan,” katanya.
Dalam sepekan terakhir, pihak yang pernah menjadi pelapor atau terlapor dalam kasus UU ITE telah dimintai pendapat oleh Kementerian Politik Hukum dan Keamanan. Demikian pula kalangan aktivis, prodemokrasi, dan pegiat bidang siber dan internet, serta kelompok pers. Secara umum, mereka menginginkan pemerintah merevisi UU ITE, bukan sekadar membuat pedoman teknis penerapan UU ITE.
Dengan belum dimasukkan RUU ITE ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, menurut Damar, pemerintah terkesan masih ingin meyakinkan diri soal substansi pasal-pasal yang dinilai karet. Terlebih lagi jika merujuk perkataan dari Presiden Joko Widodo yang mengatakan akan melakukan revisi jika pembuatan pedoman implementasi terhadap UU ITE tidak juga memberikan keadilan. ”Ini sudah terbukti kalau pedoman itu belum memberikan keadilan sehingga harus dilakukan revisi,” ujarnya.
SAFEnet, antara lain, memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah jika dorongan untuk menghapus pasal-pasal ”karet” itu tidak dipenuhi. Pertama, untuk Pasal 27 Ayat (3), sebaiknya mengadopsi seluruhnya rumusan Pasal 310 KUHP sehingga mempertegas adanya unsur kesengajaan dengan maksud merendahkan martabat orang, untuk diketahui umum, dan pengubahan ancaman pidana menjadi sembilan bulan. Selain itu, pasal itu sebaiknya dilengkapi dengan keharusan pelapor adalah individu atau orang per orang yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Kedua, untuk Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, sebaiknya membatasi antargolongan hanya pada ras, negeri asal, tempat, asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara, ataupun identitas lain yang bersifat melekat dan sulit untuk diubah. Harus pula dilekatkan adanya unsur dengan maksud.
Sebelumnya, Yasonna dalam raker dengan Baleg DPR mengatakan, pemerintah masih melakukan kajian dan pendalaman terhadap revisi UU ITE. Oleh karena itu, RUU ITE itu belum diusulkan untuk masuk ke dalam prolegnas prioritas tahunan. ”Soal UU ITE, ini sedang dibahas dan masih dilakukan public hearing. Dan ini ada kaitannya dengan KUH Pidana. Dalam rangkaian ini, karena kita sudah punya semacam preseden dan kebijakan, maka nanti dalam prolegnas kita bisa evaluasi kembali, per semester, sehingga kita lihat perkembangan-perkembangan berikutnya,” katanya.
Selain Polri, Kementerian Komunikasi dan Informasi juga telah membuat pedoman pelaksanaan UU ITE. Namun, dianggap juga belum memadai. Sejauh ini, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan juga tengah mengkaji revisi UU ITE dengan terlebih dahulu membentuk dua tim pengkaji revisi UU ITE dan tim pengkaji pedoman UU ITE selama dua bulan. Revisi baru akan dilakukan setelah dua tim pengkaji itu selesai menjalankan tugasnya.
Tunggu usulan pemerintah
Apa yang disampaikan oleh Presiden mengenai kemungkinan revisi UU ITE, kan, telah ditindaklanjuti oleh Kemenko Polhukam. Menteri (Yasonna) juga telah menjawab kalau pemerintah masih melakukan kajian dan persiapan, baik draf maupun naskah akademisnya. Memang, kalau usulan dari pemerintah akan lebih baik, dan lebih cepat, karena prinsipnya fraksi-fraksi di DPR setuju.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, revisi UU ITE itu memang sebaiknya menjadi usulan dari pemerintah. Fraksi-fraksi di DPR pun pada dasarnya tidak ada yang berkeberatan dengan revisi UU itu. Namun, kembali merujuk pada jawaban Yasonna, saat ini DPR masih menunggu hasil kajian dari pemerintah terhadap revisi UU ITE.
”Apa yang disampaikan oleh Presiden mengenai kemungkinan revisi UU ITE kan telah ditindaklanjuti oleh Kemenko Polhukam. Menteri (Yasonna) juga telah menjawab kalau pemerintah masih melakukan kajian dan persiapan, baik draf maupun naskah akademisnya. Memang, kalau usulan dari pemerintah akan lebih baik, dan lebih cepat, karena prinsipnya fraksi-fraksi di DPR setuju,” kata Supratman.
Keluarnya pedoman pelaksanaan UU ITE oleh Polri, menurut Supratman, adalah juga suatu kemajuan, karena hal itu sudah sesuai dengan perintah presiden. Oleh karena itu, apakah UU ITE akan direvisi ataukah tidak sangat tergantung pada hasil kajian dan pertimbangan pemerintah.
”Apakah cukup dengan peraturan kapolri itu, atau harus revisi UU ITE, itu tergantung dari usulan pemerintah. Kalau revisi UU ITE, lewat pemerintah pasti lebih cepat,” ucapnya.