RUU Perampasan Aset Krusial untuk Kejar Rp 108 Triliun
Meskipun UU Perampasan Aset belum ada, hal itu tidak boleh menghalangi upaya pemerintah memburu aset-aset terkait BLBI. Hanya saja, jika ada UU itu, upaya pemerintah dinilai akan jadi lebih mudah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang akan memburu aset Rp 108 triliun akan sangat terbantu apabila Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perampasan Aset. Sebab, regulasi itu memungkinkan penegak hukum untuk mengejar harta kekayaan penjahat ekonomi sebelum, selama, dan setelah proses persidangan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly di Jakarta, Sabtu (10/4/2021), mengatakan, Kemenkumham akan mengupayakan proses perdata terkait BLBI yang jumlahnya lebih dari Rp 108 triliun meskipun saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset. Yasonna mengaku telah bertemu dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
”Kami sedang terus berupaya. Kami akan mendorong Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Kami berharap itu dapat kami selesaikan secara bertahap,” kata Yasonna.
Menurut Yasonna, meskipun UU Perampasan Aset belum ada, hal itu tidak boleh mencegah atau menghalangi upaya pemerintah memburu aset-aset terkait BLBI. Hanya saja, jika ada UU tersebut, upaya pemerintah akan menjadi lebih mudah.
Saat ini, lanjut Yasonna, pemerintah akan melakukan langkah-langkah sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Salah satu yang dapat dilakukan adalah melalui gugatan perdata oleh jaksa pengacara negara. Kejaksaan sebagai pengacara negara diharapkan juga segera memproses hal tersebut, terutama mengajukan gugatan secara perdata.
”Saya kira Kejaksaan Agung maupun KPK akan mempunyai strategi untuk itu,” ujarnya.
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan terhadap pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih, pemerintah berupaya menagih dan memburu aset-aset terkait kasus BLBI. Jumlah utang perdata terkait BLBI lebih dari Rp 108 triliun.
Terkait hal itu, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, pada 6 April, menyebut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
”Di Keppres tersebut ada lima menteri ditambah Jaksa Agung dan Kapolri yang ditugasi mengarahkan satgas melakukan penagihan dan pemrosesan semua jaminan agar segera jadi aset negara,” kata Mahfud.
Adapun perkara BLBI bermula dari kondisi kesulitan perbankan di Indonesia pada 1997. Saat itu likuiditas perbankan terganggu karena tekanan pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang diikuti pengambilan uang dari bank oleh masyarakat secara serentak. Dalam kondisi itu, pemerintah memutuskan memberikan bantuan likuiditas atau pinjaman kepada bank agar bisa memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Belakangan ditemukan ada penyimpangan, kelemahan sistem, serta kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan penggunaan BLBI yang merugikan keuangan negara. Dari total BLBI yang dikucurkan Rp 144,5 triliun, terdapat potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen (Kompas, 25/5/2003).
RUU Perampasan Aset
Kepala PPATK Dian Ediana Rae berpandangan, apabila RUU Perampasan Aset dapat disahkan, hal itu akan sangat membantu pemerintah dan aparat penegak hukum dalam mengambil alih aset hasil kejahatan, termasuk korupsi. Sebab, RUU Perampasan Aset tidak mempersoalkan keputusan pidana dari kasus yang berjalan, tetapi sebelum, selama, dan setelah proses persidangan, aparat penegak hukum tetap dapat mengejar harta kekayaan para penjahat ekonomi.
Demikian pula ketika kasus sudah kedaluwarsa, lanjut Dian, dengan dasar UU Perampasan Aset, aset pun tetap dapat dikejar secara perdata. Sebab, RUU tersebut memang menggunakan proses perdata melalui jaksa pengacara negara.
”Inilah kenapa PPATK dan pemerintah berkehendak agar RUU ini dapat segera dijadikan prolegnas prioritas. Kalau bisa tahun 2021 ini karena ada urgensi upaya mengembalikan aset negara yang dikorupsi, ataupun hasil kejahatan ekonomi lainnya. Intinya, tidak boleh membiarkan uang hasil kejahatan bisa dinikmati sampai kapan pun. Harus ada faktor penjera,” kata Dian.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Yenti Garnasih menuturkan, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI diperkirakan akan bertugas dalam masa yang cukup panjang, lebih dari satu tahun. Dalam periode itu, banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan, terutama dasar hukum memburu dan merampas aset BLBI, yakni UU Perampasan Aset.
Menurut dia, satgas tersebut pertama-tama mesti menginventarisasi aset-aset yang terkait dengan BLBI. Setelah itu, aset-aset tersebut dikelompokkan sesuai dengan kesamaan masalahnya. Sembari hal itu dijalankan, dasar hukum berupa UU Perampasan Aset harus segera dibuat.
Di sisi lain, menurut dia, jenis aset yang terkait dengan BLBI tentu bermacam-macam, semisal aset yang masih menjadi sitaan bank, aset yang terkait pidana maupun perdata. Bukan tidak mungkin pula terdapat aset negara yang dikuasai swasta. Selain itu, lokasi aset kemungkinan tersebar di seluruh Indonesia, termasuk luar negeri.
“Harus dijelaskan betul dari Rp 108 triliun itu mana yang terkait BLBI mana yang bukan. Harus dipilah-pilah. Sementara tidak mungkin dari itu semuanya dianggap perkara perdata atau sebaliknya semua dianggap perkara pidana,” kata Yenti.
Menurut Yenti, kejaksaan khususnya di bidang perdata dan tata usaha negara memiliki pengalaman dalam menangani aset, seperti aset milik pemerintah daerah atau badan usaha milik negara. Pengalaman tersebut akan berguna dalam memburu aset terkait BLBI.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak tidak merespons pertanyaan terkait upaya kejaksaan dalam mengejar aset BLBI.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, pada prinsipnya Polri akan selalu mendukung setiap kebijakan yang diambil pemerintah. Namun, Argo belum dapat memberikan keterangan mengenai langkah yang akan diambil Kapolri dalam mengejar aset BLBI.