Menanti Strategi Satgas BLBI Buru Rp 110 Triliun Dalam 2,5 Tahun
Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI diberi waktu hingga 31 Desember 2023 atau kurang lebih 2,5 tahun untuk mengejar aset perkara BLBI yang mencapai Rp 110 triliun. Strategi dan kinerja mereka dinanti publik.
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI telah dibentuk. Satgas tersebut diberi tugas menangani dan memulihkan hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI.
Jumlah sisa piutang BLBI memang tidak main-main, mencapai Rp 110 triliun (sebelumnya sempat disebut lebih dari Rp 108 triliun). Demikian menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Angka itu sekitar 3,9 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 yang mencapai Rp 2.750 triliun.
Di Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021, susunan organisasi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI terdiri atas Pengarah dan Pelaksana. Pengarah terdiri dari tiga Menteri Koordinator (Menko) ditambah Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI.
Adapun Pelaksana terdiri dari Ketua Satgas yang adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu dengan Wakil Satgas adalah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan RI. Kemudian terdapat Sekretaris Satgas yang adalah Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam serta tujuh anggota Satgas yang adalah eselon I dari beberapa kementerian dan lembaga.
Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI tersebut bertanggung jawab kepada Presiden dan diberi wewenang untuk membentuk tim ahli atau tim kerja sesuai kebutuhan.
Dalam melaksanakan tugasnya, mereka diberi waktu hingga 31 Desember 2023 atau kurang lebih 2,5 tahun sejak Keppres ditetapkan, yakni pada 6 April 2021. Ketua Satgas diminta melaporkan pelaksanaan tugas kepada Pengarah dan Presiden paling sedikit sekali per enam bulan.
Tugas Satgas pertama-tama adalah melakukan inventarisasi dan pemetaan hak tagih negara dan aset properti BLBI. Selain itu, Satgas juga dapat melakukan upaya hukum atau upaya lainnya yang efektif dan efisien bagi penyelesaian, penanganan, dan pemulihan hak tagih negara dan aset properti BLBI.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Krusial untuk Kejar Rp 108 Triliun
”Karena MA menyatakan bahwa tidak ada unsur pidana dalam perkara BLBI, kemudian peninjauan kembali yang diajukan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak diterima MA, sekarang negara menagih utang debitur itu sesuai dengan mekanisme hukum perdata,” kata Mahfud, Senin (12/4/2021).
Adapun kasus BLBI bermula dari kondisi kesulitan perbankan di Indonesia pada 1997. Saat itu likuiditas perbankan terganggu karena tekanan pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang diikuti pengambilan uang dari bank oleh masyarakat secara serentak.
Dalam kondisi itu, pemerintah memutuskan mengucurkan bantuan likuiditas atau pinjaman kepada korporasi perbankan agar bisa memenuhi kebutuhan likuiditas. Dengan demikian, bank dapat bertahan dan menjalankan kewajibannya di tengah situasi yang sulit akibat krisis moneter saat itu.
Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas memulihkan kembali kesehatan bank-bank umum di Indonesia. BPPN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No 27/1998 tentang Pembentukan BPPN.
Dengan tugas tersebut, BPPN menjadi pengawas bank-bank yang memerlukan restrukturisasi, dan mengelola proses restrukturisasi. Kemudian, BPPN menjadi lembaga pengelola aset sehubungan dengan restrukturisasi bank.
Untuk menyehatkan bank, BPPN dapat mengambil langkah, seperti penambahan modal, merger, atau akuisisi. Setelah menjalankan tugas selama sekitar enam tahun, tugas BPPN dinyatakan berakhir dan BPPN dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15/2004.
Kemudian, aset yang sebelumnya dikelola BBPN menjadi kekayaan negara yang dikelola Menteri Keuangan. Kekayaan negara tersebut termasuk masih adanya hak tagih negara atas sisa piutang negara maupun aset properti terhadap beberapa korporasi atau perseorangan.
Diperkirakan, aset terkait BLBI tidak hanya beragam bentuknya, tetapi status hukumnya pun diperkirakan berbeda-beda. Hal inilah yang menurut pakar hukum pidana pencucian uang Yenti Garnasih mesti diperhatikan sedari awal. Sebab, bisa jadi terdapat aset yang terkait dengan BLBI masih sebagai aset sitaan bank, masih berperkara baik perdata maupun pidana, atau dikuasai swasta.
Di sisi lain, Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI juga mesti melacak lokasi-lokasi aset tersebut yang berada di dalam maupun luar negeri. Menurut Yenti, penelusuran aset yang berada di luar negeri akan menjadi tantangan bagi satgas meski bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan.
Masa tugas 2,5 tahun
Di sisi lain, satgas tersebut bertugas dengan jangka waktu yang terbatas, yakni hingga 31 Desember 2023. Itu berarti waktu kerja satgas adalah sekitar 30 bulan atau 2,5 tahun. Periode waktu tersebut bisa dipandang bukan waktu yang singkat dibandingkan dengan tugas yang harus dilakukan. Padahal, hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset.
Mahfud, Senin (12/4/2021), mengatakan, Keppres 6/2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI dibuat untuk menagih secara perdata aset yang dijaminkan negara oleh obligor dalam kasus BLBI. Daftar aset itu sebenarnya sudah dikantongi pemerintah sejak 2004.
Satgas tersebut bekerja sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) bahwa perkara tersebut tidak ada unsur pidananya. Misi utama satgas adalah menyelamatkan aset Rp 110 triliun agar bisa dikembalikan ke kas negara sesuai dengan mekanisme hukum perdata.
”Namun, selama ini aset yang berupa jaminan surat, uang, deposito, itu belum bisa dieksekusi karena menunggu putusan dari Mahkamah Agung. MA melalui putusannya pada Juli 2019 menyebut bahwa tidak ada unsur pidana dalam kasus dana BLBI pada saat krisis moneter 1998. Kebijakan BLBI dianggap selesai dan benar meskipun negara rugi karena situasinya menghendaki hal tersebut,” kata Mahfud sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis.
Selain itu, release and discharge (R&D) yang diterbitkan dalam rangka penyelesaian perkara BLBI telah dianggap sebagai kebijakan negara yang dilakukan secara sah, final, dan mengikat. R&Dmerupakan surat yang menyatakan bahwa debitor telah menyelesaikan kewajiban dan mendapatkan pembebasan sesuai master of settlement and acquisition agreement (MSAA) atau perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset.
Menurut Mahfud, sebagaimana data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan Agung, utang perdata debitor dalam kasus BLBI mencapai hampir Rp 110 triliun. Namun, pemerintah masih akan menghitung kembali untuk mendapatkan nilai yang realistis yang kemudian ditagih secara hati-hati.
Mahfud memastikan Satgas akan bekerja secara transparan kepada masyarakat, antara lain, dengan mengumumkan nilai aset BLBI yang dapat langsung dieksekusi ataupun aset yang tak dapat dieksekusi. Sementara kendala Satgas, antara lain, nilai aset yang sudah tidak sesuai dengan yang tertera di sertifikat.
Baca juga: Transparansi Satgas Penanganan Hak Tagih BLBI Dinanti
Aset yang dijaminkan ke negara bisa jadi sudah berkembang atau malah menyusut. Demikian pula ditemukan adanya surat pernyataan utang, tetapi belum ada pengalihan ke aset negara karena masih dalam penyidikan dugaan korupsi.
”Semuanya harus dihitung oleh satgas dan harus jelas dulu posisi hukumnya. Apa yang bisa dikembalikan ke negara harus diserahkan menjadi aset negara,” kata Mahfud.
Tugas berat berada di pundak Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Meski UU Perampasan Aset masih belum ada hingga kini, masyarakat patut berharap besar agar pemerintah dapat benar-benar merampas aset terkait BLBI yang jumlahnya cukup fantastis itu.