Pemerintah diminta mengawal narapidana kasus terorisme yang telah berikrar setia pada NKRI sebagai bagian dari upaya deradikalisasi. Tanpa hal itu, ikrar kesetiaan sekadar menjadi kegiatan formalitas belaka.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
CIBINONG, KOMPAS — Sebanyak 34 dari 56 narapidana tindak pidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kamis (15/4/2021). Pemerintah tetap perlu mengawal narapidana tersebut secara berkelanjutan agar tidak kembali bergabung dengan jaringan teroris setelah bebas.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jawa Barat Sudjonggo, setelah upacara ikara setia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi narapidana teroris di Lapas Gunung Sindur, mengatakan, dari 56 narapidana tindak pidana terorisme di lapas tersebut, baru 34 narapidana yang menyatakan ikrar setia kepada NKRI. Sisanya, sebanyak 22 narapidana, masih berproses menjalani program deradikalisasi.
”Ikrar NKRI ini merupakan tekad, bukan syarat untuk cepat bebas. Jadi, ini tentang kesadaran masing-masing,” katanya.
Adapun 34 narapidana terorisme yang berikrar berasal dari beberapa jaringan, di antaranya Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), simpatisan Daulah, simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Azam Dakwah Centre (ADC), returnis, dan deportan. Mayoritas mereka berada dalam usia produktif atau 15 tahun hingga 65 tahun.
Setelah mengucapkan ikrar, narapidana kasus terorisme berhak mendapat program-program keringanan hukuman seperti pembebasan bersyarat.
Sementara 22 narapidana terorisme di Lapas Gunung Sindur yang belum menyatakan ikrar setia kepada NKRI akan terus dibina. Sebab dalam melaksanakan program deradikalisasi, ada kendala yang ditemui, seperti pemahaman dan daya nalar yang berbeda-beda antarnarapidana sehingga ikrar pun tidak bisa dilakukan secara bersamaan.
Setelah mengucapkan ikrar, lanjut Sudjonggo, narapidana terorisme tersebut berhak mendapat program-program keringanan hukuman, seperti pembebasan bersyarat. Sebab, hak-hak itu bisa diberikan dengan syarat telah berikrar setia kepada NKRI.
Seusai mengucapkan ikrar, ia berharap agar narapidana tersebut mampu melepaskan diri dari kegiatan-kegiatan terorisme. Mereka juga diharapkan menjadi agen yang membantu pemerintah mencegah penyebaran paham radikalisme di masyarakat.
”Semoga ini menjadi awal untuk membuka jalan narapidana terorisme kembali ke masyarakat. Jangan sampai mereka kembali mengulangi perbuatannya hanya karena perutnya lapar dan tidak diterima oleh masyarakat,” tutur Sudjonggo.
Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai, program deradikalisasi tidak cukup hanya mengucapkan ikrar setia kepada NKRI. Pemerintah perlu tetap mengawal secara berkelanjutan narapidana yang telah berikrar tersebut agar tidak kembali ke jaringannya seusai bebas.
Sebab, merujuk temuan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dirilis 4 September 2020, ada 94 residivis narapidana terorisme yang kembali tertangkap dalam kurun waktu 2002 hingga Mei 2020. Jumlah residivis itu berkisar 11 persen dari seluruh narapidana terorisme yang ditangkap, yakni 825 orang.
Kebutuhan narapidana kasus terorisme setelah bebas, seperti akses pendidikan dan kesehatan, pekerjaan, serta penghidupan yang layak untuk keluarga, harus diberikan pemerintah.
Untuk mencegah kembalinya narapidana terorisme yang telah berikrar setia kepada NKRI ke jaringan teroris, program deradikalisasi perlu mengedepankan pendekatan emosional kepada seluruh narapidana itu. Kebutuhan mereka setelah bebas, seperti akses pendidikan dan kesehatan, pekerjaan, serta penghidupan yang layak untuk keluarga harus diberikan pemerintah. Pemenuhan kebutuhan harus diberikan sama kepada seluruh narapidana tanpa memandang individu yang bersangkutan.
”Jika mereka tidak diurus oleh negara, bisa jadi kembali ke jaringan karena pernyataan ikrar hanya sekadar formalitas untuk mendapat kemudahan pembebasan bersyarat,” tutur Ridlwan.