Adelin Lis, buron pembalakan liar, dapat melenggang keluar negeri dengan paspor "aspal". Investigasi otoritas Singapura mengungkapnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Paspor dengan data palsu yang digunakan Adelin Lis, buron perkara pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, sejak 19 November 2007, selama ia melakukan perjalanan masuk dan keluar Singapura, perlu dijawab pihak Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan paspor asli tapi palsu atau "aspal" itu, Adelin dapat melenggang keluar negeri.
Walaupun dengan paspor itu pula pada akhirnya Adelin dapat ditangkap . Penangkapan itu dilakukan oleh otoritas Singapura, bukan oleh aparat penegak hukum Indonesia.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arya Pradhana Anggakara mengatakan, ketika Adelin Lis mengajukan permohonan paspor, yang bersangkutan telah melengkapi semua berkas persyaratan yang diperlukan
Saat dikonfirmasi pada Jumat (18/6/2021), Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arya Pradhana Anggakara mengatakan, ketika Adelin Lis mengajukan permohonan paspor, yang bersangkutan telah melengkapi semua berkas persyaratan yang diperlukan dan telah melalui prosedur yang ada.
"Atas dasar itu, maka petugas menerbitkan paspor atas nama yang bersangkutan," jelasnya.
Dilansir Yahoo News Singapore, Adelin ditangkap petugas imigrasi Singapura di ruang keberangkatan Terminal 3 Bandara Changi, Singapura, pada 28 Mei 2018. Saat itu ia hendak meninggalkan Singapura menggunakan paspor Indonesia dengan identitas palsu. Paspor itu memuat nama Hendro Leonardi, dan data usianya menjadi lebih muda tiga tahun dibandingkan usia Adelin sesungguhnya. Berdasarkan data buronan yang diumumkan Kejaksaan Negeri Medan, Adelin disebutkan lahir pada Agustus 1957.
Investigasi Singapura
Investigasi otoritas Singapura mengungkap bahwa Adelin memperoleh paspor pada 2008 dan menggunakannya untuk masuk dan keluar Singapura antara Juli 2017 dan 2018, sebanyak empat kali.
Setiap kali tiba di Singapura, Adelin memperoleh Kartu Kunjungan yang berlaku 30 hari. Formulir disembarkasi itu pun ia isi dengan data palsu yang dimuat di paspornya.
Dengan menggunakan paspor yang memuat data palsu itu, Adelin memasuki Singapura pada 20 Juli 2017 melalui Bandara Seletar, 26 Oktober 2017, 11 Februari 2018, dan 16 Mei 2018. Adapun perjalanannya meninggalkan Singapura diketahui pada 24 Juli 2017, 2 November 2017, 20 Februari 2018, dan 28 Mei 2018 saat ia ditangkap otoritas Singapura.
Setiap kali tiba di Singapura, Adelin memperoleh Kartu Kunjungan yang berlaku 30 hari. Formulir disembarkasi itu pun ia isi dengan data palsu yang dimuat di paspornya.
Dokumen pengadilan tidak menyebutkan bagaimana penyamarannya terbongkar dan identitas aslinya diungkap.
Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) Singapura mengatakan Kedutaan Besar RI telah menawarkan untuk memulangkan Adelin melalui transportasi udara pribadi.
"Namun, ICA menolak permintaan (KBRI) ini karena pemulangan semua orang asing yang tidak diinginkan dilakukan secara independen oleh otoritas Singapura. Sesuai prosedur ICA, Adelin Lis akan dipulangkan ke negara asalnya segera setelah pengaturan penerbangan komersialnya dikonfirmasi," kata otoritas setempat.
Terkait penggunaan dokumen palsu hingga pemberian keterangan palsu agar dapat memperoleh izin memasuki Singapura, Adelin diancam enam bulan penjara dan denda sekitar 10.000 dollar Singapura.
Dari dokumen yang diterima Kompas, sejak Adelin ditangkap, ICA telah empat kali mengirimkan surat kepada KBRI di Singapura, yakni pada 12 Juni 2018, 19 November 2018, 3Juli 2019, dan 4 Maret 2021.
Surat itu berisi permintaan konfirmasi mengenai dua nama, yakni Adelin Lis dan Hendro Leonardi. Surat tertanggal 12 Juni 2018 dengan nomor referensi D/0002284/18, ICA, misalnya, menjelaskan bahwa Adelin Lis diproses hukum di Singapura karena memberikan pernyataan bohong saat mengisi formulir disembarkasi ketika masuk Singapura dengan paspor B7348735 atas nama Hendro Leonardi yang diterbitkan Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Selatan tahun 2017.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mendorong agar Ditjen Imigrasi memberikan penjelasan detail kepada publik terkait paspor Adelin. Termasuk prosedur yang telah dilalui Adelin untuk mengurus paspor.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mendorong agar Ditjen Imigrasi memberikan penjelasan detail kepada publik terkait paspor Adelin. Termasuk prosedur yang telah dilalui Adelin untuk mengurus paspor. Sebab, jika dia datang sendiri kenapa tidak bisa terlacak dari sistem saat memberikan data sidik jari dengan data Adelin sebelumnya.
Sebab, sebelumnya kasus serupa pernah terjadi pada perkara buronan kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali tahun 2009, Joko Tjandra. "Jika imigrasi masih tertutup pada publik dalam mengungkap kasus ini, maka hal serupa bisa berulang lagi," jelas Kurnia.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo yang kerap menangani pekerja migran ilegal yang menggunakan paspor dengan data palsu ini mengatakan, secara fisik paspor tidak bisa dipalsukan. Namun, yang bisa dipalsukan adalah datanya. Akar pemalsuan data pada paspor berasal dari data pendukung, seperti kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.
Akan tetapi, lanjutnya, 10 tahun terakhir sudah ada perbaikan yang signifikan pada pelayanan penerbitan paspor. Hanya pemalsuan data paspor masih bisa terjadi karena sistem registrasi di imigrasi belum terkoneksi dengan sistem nomor induk kependudukan.
"Agar hal serupa tidak terjadi lagi, perlu ada pemberantasan pemalsuan data-data pendukung (paspor)," jelasnya. (PDS)