Presiden ke-3 RI BJ Habibie hanya 517 hari memimpin pemerintahan. Tak hanya membawa Indonesia terlepas dari krisis multidimensi, Habibie juga mewariskan landasan teknokratik yang kuat.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun ini sedianya Presiden ke-3 RI Baharuddin Jusuf Habibie berusia 85 tahun. Peringatan hari ulang tahun Habibie dirayakan dengan webinar bertajuk ”Masa Depan Demokrasi dan Tekno-Ekonomi Indonesia di Tengah Krisis dan Pandemi: Menjaga Warisan Habibie”. Sekalipun hanya 517 hari memerintah, Habibie dan kabinetnya dipandang mewariskan landasan teknokratik yang kuat dalam mengatasi krisis multidimensi.
Diskusi yang diadakan secara daring, Jumat (25/6/2021), digelar oleh LP3ES, IABIE, dan Yayasan Dandara. Sebanyak 500 partisipan hadir secara daring dan menyimak perbincangan para pembicara yang merupakan orang-orang dekat Habibie atau dalam kiprahnya pernah bersinggungan dengan Habibie. Mereka antara lain mantan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, mantan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, mantan Ketua MPR Amien Rais, Senior Fellow The Habibie Center Umar Juoro, serta cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra dan Fachry Ali.
Dalam acara yang dipandu ekonom Didik J Rachbini itu, Ginandjar mengungkapkan, Habibie telah mampu mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1998. Ketika itu, kondisi Indonesia sangat buruk. Krisis ekonomi yang bergerak menjadi krisis politik mengantarkan huru-hara serta jatuhnya korban pada peristiwa Trisakti dan Semanggi. Kondisi ini nyatanya dapat dihadapi oleh Habibie kendati masa pemerintahannya sangat singkat.
”Kondisi saat itu angka kemiskinan naik hampir dua kali lipat, padahal kita sudah mendorong angka kemiskinan sampai 11 persen sejak 1970-an. Tetapi, pada 1998, angkanya naik menjadi 24 persen. Itu kenaikan yang drastis,” katanya.
Kondisi ini membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan mereka beralih dari kota ke desa. Perekonomian mereka pun bergeser. Jika sebelumnya bergantung pada permodalan yang dibiayai bank dan bernilai dollar, berubah menjadi tidak bergantung pada pinjaman bank dan tidak menggunakan nilai tukar rupiah ke dollar khas perekonomian perdesaan. Namun, justru dengan ekonomi perdesaan itulah, perekonomian Indonesia bisa bangkit. Ini karena dalam ekonomi skala kecil itu tidak ada representasi utang yang berlipat-lipat akibat naiknya nilai tukar dollar dan ekonomi menggeliat.
Menurut Ginandjar, tim ekonomi Habibie juga berusaha keras memanfaatkan momentum, termasuk dengan membuat fondasi perbankan yang lebih sehat. Hanya pada masa Habibie, Bank Indonesia tidak lagi menjadi ”kasir” pemerintah dan bersifat independen. Kondisi ini menjadikan BI benar-benar dapat berfungsi menjalankan perannya dalam mengawasi sektor keuangan dan perbankan.
Fundamen ekonomi yang baik itu, lanjutnya, adalah warisan tidak ternilai dari Habibie. Sebab, ketika krisis ekonomi kembali memukul pada 2008, yang saat itu tidak hanya memukul Indonesia, tetapi juga dunia, Indonesia mampu bertahan.
”Dari sisi politik, Indonesia juga berubah dari negara yang sangat sentralistik menjadi negara demokratis. Dari negara otoriter menjadi negara demokratis,” ucapnya.
Pada era Habibie yang sangat singkat itu, kata Ginandjar, kebebasan pers dijamin karena tidak ada lagi pemberian izin terbit. Pengawasan arus bawah tidak lagi dilakukan pemerintah. Selang setahun kemudian, tahun 1999, di bawah pemerintahan Habibie, Indonesia mampu menggelar Pemilu 1999 yang diklaim merupakan pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia setelah Pemilu 1955.
Dipo Alam mengatakan, warisan lain dari Habibie ialah kepeduliannya pada peningkatan dan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Hal itu pun tidak selalu diukur dengan besarnya anggaran. Ia mencontohkan Jerman yang meskipun anggarannya untuk riset, inovasi, dan teknologi bukan yang tertinggi di negaranya, indeks kesiapan teknologi di Jerman berada di peringkat ke-9 dunia. ”SDM inilah yang sebenarnya ketika dia sebagai menristek selalu dijaganya,” katanya.
Berkaca dari raihan Indonesia sebagai negara demokratis, Dipo mengkritik kondisi pemerintahan saat ini yang dipandang justru memanfaatkan pandemi untuk mengonsolidasikan kekuasaan oligarki dan membuka celah baru korupsi. Turunnya indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi menunjukkan krisis demokrasi itu.