Hak Orang Asli Papua Dinilai Diabaikan dalam Pemekaran Daerah
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, revisi pasal pemekaran memungkinkan pemerintah melakukan pemekaran tanpa persetujuan MRP dan DPRP. Karena itu, pengesahan UU diminta ditunda.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan mengenai pemekaran daerah di Papua dinilai mengabaikan hak orang asli Papua. Pasalnya, revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dinilai mengakibatkan peran Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua semakin dihilangkan. Hal ini dikhawatirkan memicu konflik dan mempersempit ruang dialog masyarakat.
Berdasarkan draf final Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang disetujui pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, Pasal 76 yang mengatur tentang pemekaran telah diubah. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang awalnya terdiri atas satu ayat kini bertambah menjadi lima ayat. Pasal 76 merupakan satu dari tiga pasal revisi usulan pemerintah, selain Pasal 1 tentang ketentuan umum dan Pasal 34 tentang dana otsus.
Sebelum revisi, pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa mendatang.
Setelah direvisi, Pasal 76 Ayat 1 berbunyi, ”Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi,dan perkembangan pada masa yang akan datang”.
Kemudian di Ayat 2 tertulis, ”Pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua”.
Penambahan frasa ”dapat” itu merusak hak OAP karena mengakibatkan persetujuan dari MRP dan DPRP dalam pemekaran tidak lagi bersifat mutlak.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, revisi pasal terkait pemekaran memungkinkan pemerintah melakukan pemekaran daerah di Papua tanpa harus mendapatkan persetujuan MRP dan DPRP. Ini membuat persetujuan MRP dan DPRP yang awalnya merupakan kewajiban berubah menjadi sekadar rekomendasi yang sifatnya tidak wajib dilakukan. Padahal, keberadaan MRP dan DPRP merupakan representasi struktural dari orang asli Papua (OAP).
”Penambahan frasa ’dapat’ itu merusak hak OAP karena mengakibatkan persetujuan dari MRP dan DPRP dalam pemekaran tidak lagi bersifat mutlak,” katanya saat diskusi bertajuk ”Benarkah Hak-hak Orang Asli Papua Diabaikan dalam Revisi UU Otsus?”, Rabu (14/7/2021).
Selain Usman, hadir dalam diskusi tersebut anggota DPD dari Papua, Yorrys Raweyai; Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pendeta Jacky Manuputty; dan tokoh Papua, Simon P Morin.
Kemudian Pasal 76 Ayat (2) pun dinilai Usman lebih bermasalah dan semestinya tidak perlu dibuat. Sebab, keberadaan pasal itu justru memberi kewenangan kepada pemerintah pusat dan DPR untuk melakukan pemekaran wilayah. Artinya, pemekaran bisa dilakukan secara top-down sehingga berpotensi pembentukan daerah otonom baru disesuaikan dengan kepentingan elite di Jakarta.
Apalagi dalam sejarahnya, pemerintah pusat pernah mengingkari aturan dalam pembentukan Provinsi Papua Barat. Dasar hukum pembentukan Provinsi Irian Barat, yakni Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003, dianggap tidak sesuai dengan UU No 21/2021. Sebab, dalam pembentukannya, kala itu pemerintah belum membentuk MRP sehingga tidak mengimplementasikan UU Otsus Papua yang mensyaratkan persetujuan dari lembaga itu dalam pembentukan daerah otonom baru. ”Pemerintah sepertinya mengulangi lagi kesalahan dalam pemekaran wilayah di Papua,” ucapnya.
Keberadaan dua pasal itu, menurut Usman, dikhawatirkan memicu konflik elite dan mempersempit ruang dialog masyarakat Papua. Konflik itu pun bahkan bisa terjadi secara horizontal antar-orang Papua karena pemekaran biasanya melahirkan perebutan sumber daya alam.
Oleh sebab itu, ia berharap DPR, DPD, dan pemerintah mau menunda pengesahan revisi UU Otsus Papua yang dijadwalkan pada Sidang Paripurna DPR, 15 Juli mendatang. Kebutuhan untuk perpanjangan dana otsus bisa dilakukan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kebijakan strategis nasional
Kata ”dapat” itu telah diminta untuk ditarik, tetapi pemerintah berargumen bahwa kebijakan pemekaran merupakan kebijakan strategis nasional yang perlu diutamakan.
Yorrys mengatakan, frasa ”dapat” di Pasal 76 Ayat (1) sempat menjadi perdebatan selama pembahasan. Kata ”dapat” itu telah diminta untuk ditarik, tetapi pemerintah berargumen bahwa kebijakan pemekaran merupakan kebijakan strategis nasional yang perlu diutamakan.
Terkait hal ini, Kompas telah meminta konfirmasi kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej yang sejak awal mengawal revisi ini. Namun, pertanyaan tidak dijawab.
Menurut Yorrys, revisi tersebut telah mengakomodasi berbagai masukan yang diberikan sejumlah kelompok di Papua. Revisi yang telah disepakati merupakan hasil maksimal yang bisa mereka lakukan untuk perkembangan pembangunan Papua dan berlaku selama 20 tahun.
Jacky menuturkan, PGI menaruh perhatian serius terhadap perkembangan di Papua. Oleh sebab itu, pandangan dan sikap PGI telah diberikan kepada beberapa pemangku kebijakan, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Simon mengingatkan, pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan keamanan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah di Papua. Dari pengalaman di Aceh dan Timor Leste, pendekatan keamanan terbukti tidak efektif.