Relasi Kekuasaan Tak Seimbang, Rekonsolidasi Demokrasi Mendesak Dilakukan
Ketidakseimbangan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Namun, optimisme untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa maju tetap harus dijaga.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai tantangan politik dan hukum terus membayangi bangsa Indonesia. Penerapan konsep trias politica, pemisahan dan pembatasan kekuasaan untuk menciptakan keseimbangan dalam sistem ketatanegaraan, justru pincang, bahkan cenderung mengalami kemunduran. Akibatnya, mimpi menuju Indonesia emas tahun 2045 pun menemui persimpangan jalan, memilih kepentingan bangsa atau kepentingan politik di atas segalanya.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, dalam peluncuran dan bincang buku Negara Bangsa di Simpang Jalan, Sabtu (7/8/2021), mengatakan, ketidakseimbangan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan persoalan Indonesia saat ini.
Ia melihat, kekuasaan eksekutif menjadi sangat kuat karena didukung mayoritas kekuatan politik. Apa pun yang diinginkan eksekutif selalu mendapat ”lampu hijau” dari legislatif. Padahal, ketiadaan pengawasan dan kesetimbangan atau check and balances antarlembaga negara itulah yang dikritik publik sejak rezim Orde Baru berkuasa.
Keseimbangan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan persoalan Indonesia saat ini.
Begitu pula lembaga yudikatif, belakangan juga terus memunculkan permasalahan yang tak bisa diterima akal sehat publik, seperti pengurangan hukuman koruptor. ”Jadi, kalau kita bicara mengenai rekonsolidasi demokrasi, menjelang 2045 nanti, maka kita harus membuat kembali ekuilibrium yang membuat lembaga-lembaga itu bisa bekerja dengan baik,” ujar Azyumardi.
Diskusi yang digelar secara virtual itu juga menghadirkan sejumlah pembicara lain, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD; Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan; pendiri Narasi, Najwa Shihab; serta wartawan senior Kompas, Budiman Tanuredjo, yang merupakan penulis buku Negara Bangsa di Simpang Jalan. Adapun Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto hadir memberikan sambutan.
Buku yang diterbitkan oleh Kompas ini berisi kumpulan kolom politik dan hukum Budiman di harian Kompas yang mengulas berbagai problem bangsa saat ini. Buku dengan tebal 378 halaman ini diedit oleh wartawan Kompas, Antony Lee.
Azyumardi menyampaikan, meski berbagai persoalan bangsa masih menghadang, rasa optimisme harus tetap terjaga. Namun, optimisme itu harus dibarengi dengan penguatan kelembagaan, terutama partai politik (parpol). Sebab, parpol yang kini memegang peran utama dalam pengisian jabatan di eksekutif ataupun legislatif kini cenderung oligarkis dan nepotistik. Pembenahan juga perlu dilakukan pada sistem pemilu untuk mencegah politik transaksional.
Hal lain, bangsa ini perlu pula menegakkan kembali kebebasan berpendapat (freedom of speech). Terakhir, mengonsolidasikan kembali masyarakat sipil yang mulai mengalami disintegrasi dan disorientasi.
Negosiasi politik
Najwa Shihab mencoba menarik kesimpulan dari berbagai problematika hukum yang ditulis Budiman. Kesimpulannya adalah hukum di Indonesia kini telah tersandera kekuasaan. Istilah kekuasaan pun sebetulnya tidak hanya merujuk pada mereka yang berada di posisi-posisi politik praktis, tetapi juga penguasa akses-akses ekonomi maupun mereka bercokol di institusi-institusi demokrasi.
Ia tertarik dengan penyebutan ”kamar negosiasi” oleh Budiman untuk menggambarkan relasi antara politik kekuasaan dan hukum. Kebijakan yang diambil sering kali dipengaruhi oleh negosiasi politik, termasuk dalam pemilihan pimpinan lembaga penegak hukum.
Bahkan, ia melihat, satu negosiasi politik acap kali tak berujung konsensus, tetapi negosiasi-negosiasi baru. ”Yang kita lihat sekarang negosiasi yang tanpa henti. Kita semacam masuk labirin di mana negosiasi, transaksi, tarik-menarik, tak ada habisnya,” ucap Najwa.
Anies Baswedan malah melihat, sejak dulu Indonesia selalu menemui persimpangan jalan. Hanya ada dua pilihan saat menemui persimpangan jalan, yakni benar atau salah.
Ia menggarisbawahi, pilihan menjadi benar ketika opsi yang diambil didasarkan pada kepentingan bersama, orang banyak, serta untuk negara. Preferensi itu harus didahulukan dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan lain, termasuk kepentingan politik.
”Jika piihan itu diprioritaskan, kita melewati cross road yang insya Allah akan mengantarkan kita menjadi bangsa yang lebih baik dalam perjalanan ke depan. Ketika pilihannya tidak mencerminkan itu, di situ muncul problem,” katanya.
Di tengah berbagai persoalan itu, Anies menyebut buku Budiman itu lebih dari sekadar memberikan peringatan dini, tetapi juga menjadi alat uji untuk menakar suasana bangsa. Buku ini, disebutnya, sebagai pengingat atau dengan mengutip pernyataan pendiri Kompas, Jakob Oetama, selalu mengetuk (frapper toujours).
”Ini tester kesehatan kewarasan bangsa. Wong tiap mingguan (kolom politik dan hukum Budiman) keluar (di Kompas),” tuturnya.
Mahfud MD mengatakan, jika melihat indeks demokrasi Indonesia, memang terlihat masih ada masalah dalam praktik demokrasi. Namun, jika ditelusuri indikatornya, penurunan indeks demokrasi terjadi akibat fenomena intoleransi.
Jika melihat laporan Kompas pada 3 Mei 2021, ia justru melihat indeks penegakan hukum dan keamanan kian membaik. Kadang kala, menurut dia, bangsa ini terpengaruh media sosial sehingga seakan-akan melihat tak ada perubahan di semua aspek.
Meski demikian, Mahfud mengakui, secara umum masih ada masalah dalam politik dan hukum di Tanah Air. Jika dilihat dari pembangunan hukum, misalnya, praktik tawar-menawar masih banyak terjadi. Bahkan, beberapa kali ditemukan jual-beli pasal.
Dari struktur hukum, ia pun menyebutkan, aparat penegak hukum sekarang masih menjadi masalah besar. Misal, ada penangkapan hakim, jaksa, dan polisi. Bahkan, belakangan, ada pengurangan hukuman bagi koruptor.
”Jadi, kalau dilihat dari sudut politik hukum, pembuatannya sudah bermasalah, penegakannya di tingkat legal structure bermasalah, lalu budaya hukumnya pasti juga bermasalah. Apalagi, budaya hukum ini memengaruhi perilaku demokrasi sehingga turun,” kata Mahfud.
Kegelisahan
Sementara itu, Budiman Tanuredjo menyampaikan, buku ini adalah rekaman peristiwa-peristiwa dalam seminggu, yang ditulisnya menjadi sebuah kolom. Semuanya merupakan catatan-catatan kegelisahannya sebagai wartawan.
Media harus bisa menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan. Media harus betul-betul mampu mewakili kepentingan publik. Artinya, media harus tetap dengan kritik yang keras dalam prinsip dan lentur dalam cara.
”Kemudian, saya menempatkan itu sebagai posisi moral saya atas apa yang terjadi di sana. Saya tetap menginginkan media itu jangan menjadi katedral tanpa roh sehingga selalu ada nilai, selalu ada sesuatu yang diperjuangkan,” ucap Budiman.
Ia mengatakan, beberapa gaya jurnalisme yang dituangkan dalam kolomnya merupakan hasil dialognya bersama dengan pendiri Kompas, Jakob Oetama. Ia selalu ingat bahwa jurnalisme harus berperan sebagai early warning system.
Lebih dari itu, media harus bisa menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan. Media harus betul-betul mampu mewakili kepentingan publik. Artinya, media harus tetap dengan kritik yang keras dalam prinsip dan lentur dalam cara. Dengan begitu, ia yakin media masih bisa berperan membawa bangsa ini ke Indonesia emas pada 2045.
”Kalau saya menulis kolom-kolom, itu adalah bagian dari prinsip jurnalisme,” ujarnya.
Di buku ini, ia menjelaskan, setidaknya mengulas dua isu utama, yakni korupsi dan hak asasi manusia. Secara khusus soal korupsi, ia menilai, ini merupakan isu yang sejak zaman Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC) sampai sekarang tak pernah selesai. Kemudian, isu HAM juga demikian.
”Itu menjadi pekerjaan-pekerjaan rumah dari bangsa ini,” ujar Budiman.