Indonesia Pantang Menyerah
Esok hari, Indonesia akan berusia 76 tahun. Sepanjang lintasan zaman, negeri ini telah menghadapi berbagai tantangan, tetapi mampu mengatasi.
Esok hari, Indonesia akan berusia 76 tahun. Sepanjang lintasan zaman, negeri ini telah menghadapi berbagai tantangan, tetapi mampu mengatasi. Kini, saat pandemi Covid-19 melanda, segenap komponen bangsa juga bergerak berupaya mengatasinya. Orkestrasi atas segenap daya tersebut mesti terus diupayakan.
Selama satu setengah tahun ini, Indonesia pun didera pandemi Covid-19. Pandemi tidak hanya menyerang kesehatan, tetapi juga melemahkan perekonomian dan menimbulkan dampak sosial yang berat. Dalam kondisi tidak mudah ini, segenap elemen masyarakat di Tanah Air bergerak untuk berkontribusi menangani pandemi, baik pemerintah, organisasi kemasyarakatan, tenaga kesehatan, pengusaha, maupun masyarakat sipil.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, masyarakat Indonesia memang punya tradisi kebersamaan dan solidaritas. Hal itu tecermin dalam sejumlah ungkapan, di antaranya ”gotong royong”, ”mangan ora mangan asal ngumpul”, dan ”berat sama dipikul ringan sama dijinjing”.
”Kebersamaan dan kedermawanan ini menguat dan bangkit dalam masa sulit seperti wabah Covid-19. Ini adalah modal sosial yang sangat penting untuk menyelamatkan Indonesia di masa krisis. Modal sosial juga sangat instrumental ketika pemerintah tidak mampu sepenuhnya mengatasi krisis dan dampak sosial, ekonomi, dan politik, yang disebabkan Covid-19,” kata Azyumardi.
Kebersamaan untuk bersama mengatasi pandemi ini tampak di berbagai sektor. Di sektor usaha, salah satunya bantuan yang disalurkan perusahaan otomotif, Toyota Indonesia, sejak awal pandemi tahun 2020 lalu sampai saat ini. Bentuknya beragam, mulai dari sembako untuk masyarakat, bantuan ambulans, masker dan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan, serta tabung oksigen bagi masyarakat yang melakukan isolasi mandiri.
”Bantuan ini mungkin tidak seberapa dibandingkan beban penderitaan yang dirasakan masyarakat. Tetapi kami tetap usahakan, apa yang bisa kami bantu, kami lakukan,” kata Direktur Corporate Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam, Sabtu (14/8/2021).
Baca juga: Wiranto: Peringatan Kemerdekaan Momentum Meminggirkan Perbedaan
Bob mengatakan, berbagai bantuan itu berbeda dengan program corporate social responsibility (CSR) rutin yang tetap dilakukan selama pandemi. Untuk donasi selama pandemi ini, perusahaan mengalihkan seluruh anggaran acara perayaan hari ulang tahun ke-50 tahun Toyota Indonesia.
Terakhir, Toyota Indonesia juga membeli 76.500 dosis vaksin dan membagikannya secara gratis kepada masyarakat di sekitar lingkungan pabrik dan diler. Vaksin tersebut diadakan melalui program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) yang diadakan Kadin Indonesia.
Pemberian vaksin gratis bagi masyarakat setempat itu berbeda lagi dengan vaksin yang diberikan khusus karyawan Toyota dan keluarganya. ”Kalau untuk karyawan sendiri, kami sudah membeli 15.000 dosis, dan sekarang ini hampir 100 persen karyawan kami dan keluarganya sudah divaksin,” kata Bob.
Baca juga: ”Indonesia Raya” Terus Berkumandang Melintasi Zaman
Selain bantuan untuk masyarakat sekitar, Toyota Indonesia juga menghindari melakukan pemotongan gaji atau pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya selama pandemi.
Organisasi kemasyarakatan juga banyak terlibat dalam upaya mengatasi Covid-19. Hingga saat ini ada 86 rumah sakit Muhammadiyah yang menjadi RS rujukan Covid-19. Per 3 Agustus 2021, RS di bawah pengelolaan Muhammadiyah telah melayani 25.944 pasien Covid-19. Selain terus menangani pasien, RS Muhammadiyah juga melayani vaksinasi Covid-19. Program itu bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Agus Samsudin yang dihubungi dari Jakarta, Rabu, mengatakan, tolong-menolong merupakan DNA Muhammadiyah. Pada tahun 1912, Muhammadiyah didirikan dengan semangat membantu sesama agar warga bisa keluar dari penjajahan.
Begitu pula saat ini, ketika bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu juga ikut mengambil peran guna mengatasi pandemi bersama elemen masyarakat lainnya.
Dalam program vaksinasi, Muhammadiyah ingin membantu mengakselerasi pencapaian target pemerintah, yakni 2 juta dosis per hari. Untuk mewujudkan target tersebut, vaksinasi reguler di sejumlah RS ditambah dengan program vaksinasi di perguruan tinggi Muhammadiyah.
Kegiatan dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya di Jawa. Terakhir, vaksinasi dilakukan di Maumere dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di daerah, agenda ini juga dikenal dengan nama vaksinasi lintas agama karena penyelenggaraannya melibatkan berbagai tokoh dan organisasi keagamaan setempat.
Selain di ranah medis, Muhammadiyah juga menyalurkan bantuan di bidang sosial ekonomi. Selama 1,5 tahun ini, 500.000 paket kebutuhan pokok didistribusikan kepada masyarakat terdampak. Kampanye dan sosialisasi juga dilakukan agar masyarakat menaati protokol kesehatan.
Tidak dimungkiri, seluruh upaya ini membutuhkan tenaga dan biaya besar. Meski demikian, kata Agus, gerakan solidaritas ini tidak mampu menyelamatkan bangsa jika dijalankan sendiri. Seluruh elemen bangsa mesti bersatu tanpa mempertimbangkan identitas untuk menyelesaikan pandemi secara bersama-sama.
”Sekarang ini kita harus bersatu padu, bersama-sama memikirkan bagaimana Indonesia bisa keluar dari pandemi Covid-19,” kata Agus.
Nahdlatul Ulama juga melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung kelompok paling rentan dalam pandemi. Fasilitasi vaksinasi, pembagian bantuan sosial, hingga aktivasi semua RS NU di seluruh daerah untuk menangani pasien Covid-19, serta sosialisasi yang dilakukan kader-kader NU. Dalam pengadaan sentra vaksinasi, NU bekerja sama dengan Polri, TNI, dan Kementerian Agama, selain juga berkolaborasi dengan elemen masyarakat lintas agama.
Kelompok rentan yang juga mendapat perhatian ialah warga pesantren di pelosok-pelosok daerah yang tidak semuanya dapat menjangkau sentra vaksinasi. Untuk melayani warga, Satuan Tugas NU Peduli Covid-19 mengadakan mobil vaksinasi ke pesantren-pesantren maupun warga sekitar. Sedikitnya 90.000 orang telah terjangkau vaksinasi dengan fasilitasi Pengurus Besar NU (PBNU) di berbagai daerah.
”Kami di bulan kemerdekaan ini juga ingin merdeka dari Covid-19. PBNU ingin membantu mewujudkan herd immunity (kekebalan kelompok). Dengan strategi promotif, preventif, kuratif, aktif, dan kolaboratif, kami menggerakkan semua elemen NU, baik di struktural maupun non-struktural untuk menyosialisasikan protokol kesehatan, dan mencegah penularan Covid-19 secara masif di masyarakat,” ucap Ketua Satgas NU Peduli Covid-19 Makky Zamzami.
Dalam praktiknya, Satgas NU juga harus berhadapan dengan sejumlah warga yang menolak vaksinasi. Namun, sosialisasi dan edukasi terus dilakukan agar mereka menyadari pentingnya vaksinasi.
Kendati demikian, Makky meyakini warga yang menolak vaksin jumlahnya jauh lebih sedikit daripada warga yang bersedia divaksinasi. Bahkan, Satgas NU di berbagai daerah kini melaporkan kekurangan vaksin lantaran banyaknya permintaan dari masyarakat.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 untuk Tokoh Agama, Contoh Baik untuk Publik
Semangat Hari Kemerdekaan 17 Agustus dimaknai NU sebagai momentum untuk meningkatkan gotong royong. Penyelesaian pandemi tak bisa dilakukan oleh pemerintah sendirian, melainkan harus melibatkan sebanyak mungkin masyarakat. ”Kedepankan peran serta masyarakat dalam menyelesaikan pandemi. Gandeng unsur ormas, ajak berdiskusi untuk mengatasi pandemi, karena tidak mungkin menyelesaikan pandemi ini sendiri,” kata Makky.
Membangun harapan
Solidaritas untuk menghadapi pandemi Covid-19 juga dibangun gereja. Di lingkup Keuskupan Agung Jakarta, setiap paroki membentuk tim gugus kendali untuk mencegah munculnya kluster baru dari kalangan umat Katolik.
Keuskupan Agung Jakarta juga membentuk lembaga baru yang belum pernah ada sebelumnya, yakni Badan Amal Kasih Katolik. Badan ini membantu menyalurkan bantuan yang dihimpun bukan hanya dari umat Katolik, melainkan juga dari masyarakat umum.
Selain itu, umat Katolik melalui Tim Domus Isoman Santa Maria Fatima juga menginisiasi pengubahan fungsi Sekolah Santa Maria Fatima, Jakarta, menjadi rumah sakit darurat untuk pasien Covid-19. Rumah sakit darurat ini diperuntukkan bagi warga prasejahtera yang membutuhkan tempat untuk isolasi mandiri. Di samping menyediakan tempat, rumah sakit darurat ini juga dilengkapi dengan pelayanan dari para dokter, menyediakan makanan, serta obat dan vitamin yang dibutuhkan pasien secara gratis.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Ignatius Kardinal Suharyo mengatakan, seluruh upaya tersebut merupakan wujud dari spiritualitas pengharapan. Di tengah situasi yang sulit, umat tidak sekadar menunggu, tetapi juga berusaha mencari jalan keluar. Meski kecil, semangat itu perlu ditularkan kepada komunitas masyarakat yang lain agar menjadi gerakan yang besar untuk keluar dari pandemi Covid-19.
”Watak bangsa Indonesia dalam hal solidaritas itu dahsyat, sangat kuat. Tinggal siapa yang mau menggerakkan itu,” ungkap Kardinal.
Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menggalakkan vaksinasi di berbagai daerah dan telah dilakukan oleh 91 sinode di Indonesia. Sedikitnya 6.000 orang telah divaksinasi dengan fasilitasi PGI. Hal lain yang dilakukan ialah pemberian bantuan sosial berupa sembako, vitamin, dan obat-obatan kepada warga yang membutuhkan.
PGI juga melakukan sosialisasi, edukasi kepada warga mengenai Covid-19, serta menolong warga yang sedang terpapar Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri. RS PGI juga menyediakan lebih dari 200 kamarnya khusus untuk mereka yang terpapar Covid-19.
”Kami juga mengimbau kepada anggota gereja PGI untuk memberikan ruangan dan gedung yang dimiliki sementara untuk ruang isolasi. Itu sudah dilakukan oleh Gereja Kristen Pasundan, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Protestan di Indonesia Barat Immanuel,” kata juru bicara PGI, Philip Situmorang.
Dorongan kerja bersama juga ditunjukkan umat Konghucu. Sejak awal pandemi, umat Konghucu diimbau mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Mereka juga aktif menggalang bakti sosial dengan menyumbang masker, cairan pencuci tangan, sembako, dan mengadakan vaksinasi di kelenteng-kelenteng, maupun aktif dalam sentra vaksinasi lintas iman.
Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Budi Santoso Tanuwibowo, warga tidak boleh lagi dikotak-kotakkan berdasarkan kelompok atau golongan, sebab yang dibutuhkan saat ini ialah kerja bersama dalam mengatasi persoalan pandemi.
”Bangsa ini didirikan oleh penduduk Nusantara waktu itu yang sadar untuk merdeka. Karena itu, kerja-kerja elemen masyarakat tidak perlu dikotak-kotakkan dari mana asalnya dan kelompoknya,” katanya.
Orkestrasi
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, sikap tolong-menolong dan saling membantu sudah merupakan budaya bangsa. Keterlibatan semua elemen masyarakat dalam mengatasi pandemi pun dipandang sebagai perwujudan dari karakter bangsa yang solider.
Pemerintah juga secara khusus mengapreasiasi kerja-kerja organisasi masyarakat keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, KWI, PGI, Buddha Tzu Chi, para filantropi, perusahaan swasta, dan kelompok masyarakat lainnya, yang selama ini sangat aktif membantu pemerintah mengatasi pandemi.
”Tanggung jawab pemerintah ialah bagaimana melakukan orkestrasi ini sehingga semangat yang ada itu tidak bergerak sendiri-sendiri. Soal ini, Pak Presiden (Joko Widodo) dalam rapat-rapat kabinet selalu menekankan tentang solidaritas nasional. Bahkan, secara khusus menugaskan Menko PMK (Muhadjir Effendy) untuk mengonsolidasikan solidaritas nasional ini,” ucapnya.
Pemerintah menyadari pandemi bukan seperti umumnya kejadian luar biasa (KLB) yang timbul akibat bencana alam, yang sifatnya lokal atau sektoral. Dampak pandemi ini sangat luas, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga sosial dan ekonomi.
Untuk menangani pandemi diperlukan kerja sama semua elemen bangsa. Napas panjang diperlukan untuk mengatasi pandemi dan berbagai dampaknya kepada warga bangsa. Untuk memenuhi tujuan itu, semua kapasitas dan modal sosial bangsa selayaknya mesti dikerahkan.
”Perjuangan mengatasi pandemi ini seperti perjuangan kemerdekaan dulu. Jika dulu kita melawan kolonialisme atau penjajahan di semua wilayah Indonesia, sekarang juga begitu dengan mengatasi pandemi ini. Kita mengalami persoalan yang sama di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, untuk menanganinya pun diperlukan perjuangan bersama,” katanya.
Peran-peran orkestrasi itu, menurut Abetnego, berusaha dijalankan semua struktur pemerintahan baik di pusat maupun daerah untuk merangkul elemen-elemen masyarakat. KSP, antara lain, membuka komunikasi dengan berbagai jaringan masyarakat sipil, ormas keagamaan, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
KSP memfasilitasi penyediaan data dan informasi, sekaligus juga menjembatani kepentingan-kepentingan elemen masyarakat itu untuk mengatasi pandemi. Demikian pula pemerintah daerah dengan kewenangan masing-masing berusaha menggerakkan tokoh-tokoh masyarakat dan merangkul elemen-elemen masyarakat untuk bersama-sama menangani pandemi.
”KSP terus berkomunikasi dengan semua elemen masyarakat, termasuk epidemiolog, ahli, dan kalangan akademisi untuk merumuskan kebijakan dan menjembatani masukan, termasuk apa saja yang mereka butuhkan untuk membantu menangani pandemi di lapangan,” katanya.
Dia mencontohkan terkait penyaluran masker dan obat-obatan. ”Fasilitasi dan bantuan itu terus kami berikan, dan pemerintah tidak membeda-bedakan, apakah itu RS pemerintah atau bukan. Soal kebutuhan oksigen di RS Muhammadiyah beberapa waktu lalu, kami juga berusaha membantu menyelesaikan hal itu,” katanya.
Modal sosial bangsa, menurut Abetnego, merupakan energi luar biasa bagi Indonesia untuk menangani pandemi. Pemerintah tidak bisa sendirian menangani pandemi, tetapi memerlukan kerja sama dan dukungan semua elemen masyarakat. Secara kultural, modal sosial itu telah ada di tengah-tengah masyarakat dan tinggal diamplifikasi serta direkognisi untuk dijadikan tenaga bangsa.