”Rakyat tahu, DPD tahu, bahwa Anda seharusnya membayar jauh lebih banyak. Masa ditagih yang sesuai dengan yang ada di catatan saja masih mau mangkir. Kami buru sampai dapat,” ujar Menko Polhukam Mahfud MD.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai utang yang telah dibayarkan para debitor dan obligor penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan besaran dana yang semestinya dikembalikan. Oleh karena itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan akan terus memburu para debitor dan obligor yang mengelak dari kewajibannya.
Hal itu diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD seusai bertemu pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/12/2021). Menurut Mahfud, dia diundang DPD dalam kapasitasnya selaku Ketua Pengarah Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI.
Dalam pertemuan tersebut, Mahfud menerima beberapa catatan, khususnya mengenai jumlah piutang negara yang harus ditagih kepada para obligor dan debitor BLBI sebesar lebih dari Rp 110,45 triliun. Mahfud menyebutkan, ada yang mengatakan bahwa jumlahnya sampai Rp 400 triliun, ada pula yang mengatakan sampai Rp 1.000 triliun.
”Saya bilang itu bagus. Tetapi Satgas BLBI itu menagih saja yang ada di dalam perjanjian keperdataan yang sudah disahkan oleh DPR dulu dan disahkan oleh Mahkamah Agung,” kata Mahfud.
Sebagai pihak yang menagih piutang, Satgas BLBI bergerak di ranah perdata, bukan pidana. Namun, jika di kemudian hari terdapat temuan-temuan lain, maka bisa diajukan ke ranah pidana.
Meski demikian, Mahfud mengingatkan para debitor dan obligor penerima BLBI bahwa jumlah piutang yang ditagih Satgas BLBI kepada mereka masih jauh lebih sedikit dari jumlah yang secara wajar seharusnya dibayarkan. Oleh karena itu, tidak alasan bagi Satgas BLBI bahwa mereka akan mangkir.
”Rakyat tahu, DPD tahu, bahwa Anda seharusnya membayar jauh lebih banyak. Masa ditagih yang sesuai dengan yang ada di catatan saja masih mau mangkir. Kami buru sampai dapat,” ujar Mahfud.
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021, Presiden memberi waktu kepada Satgas BLBI untuk menyelesaikan penagihan piutang BLBI senilai total Rp 110,45 triliun hingga Desember 2023. Hal itu telah diatur dalam Keppres No 6/2021 yang terbit April lalu.
Secara terpisah, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Yenti Garnasih berpandangan, peringatan dari Menko Polhukam terhadap para debitor dan obligor penerima BLBI agar membayar utangnya sudah pernah dikatakan sebelumnya. Peringatan yang hanya sebatas imbauan tersebut dinilai tidak akan berdampak besar dalam mempercepat pembayaran piutang BLBI.
”Piutang yang harus ditagih Satgas BLBI banyak, tapi masih sangat besar pula yang belum dikembalikan. Saya tidak yakin semua akan bisa ditagih nanti tepat pada waktunya. Apalagi kita tidak punya Undang-Undang Perampasan Aset,” kata Yenti.
Menurut Yenti, semestinya perkara BLBI tidak diselesaikan dengan pendekatan perdata, tetapi pidana. Sebab, dana BLBI tersebut merupakan uang negara atau uang rakyat yang kemudian digunakan oleh pihak swasta.
Piutang yang harus ditagih Satgas BLBI banyak, tapi masih sangat besar pula yang belum dikembalikan. Saya tidak yakin semua akan bisa ditagih nanti tepat pada waktunya. Apalagi kita tidak punya Undang-Undang Perampasan.
Namun, perkara tersebut menjadi semakin rumit karena kebijakan yang diambil pemerintah saat itu dinilai tidak hati-hati atau dasarnya lemah. Dengan demikian, jika pemerintah melayangkan gugatan perdata pun, belum tentu dapat dimenangkan pemerintah.
Dalam konteks itu, kata Yenti, proses penagihan piutang oleh Satgas BLBI yang dilakukan saat ini bisa jadi merupakan usaha yang paling mungkin dilakukan pemerintah. Karena itu, Yenti pun ragu hasil kerja Satgas BLBI akan bisa maksimal atau bisa menagih seluruh piutang BLBI.
”Ini kesalahan masa lalu yang sulit diatasi, maka Satgas BLBI ini salah satu cara yang mungkin bisa dilakukan pemerintah saat ini. Kalau pemerintah saat ini melakukan gugatan perdata, maka bisa jadi malah rugi,” ujar Yenti.