Menkumham: Koruptor Tidak Bisa Lagi Sembunyi di Singapura
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan pemerintah akan mendorong percepatan ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Setelah perjanjian diratifikasi, penegak hukum bisa memanfaatkan mekanisme itu.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah memastikan upaya ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura dapat menjadi jaminan bagi penegakan hukum, utamanya dalam kasus korupsi. Koruptor kini tidak bisa lagi bersembunyi di Singapura karena telah ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara bertetangga itu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan, walaupun perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ditandatangani bersamaan dengan perjanjian Flight Information Region (FIR) dan Defense Cooperation Agreement (DCA), masing-masing perjanjian tetap memiliki alur negosiasi dan proses ratifikasi sendiri-sendiri.
Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ditandatangani Yasonna Laoly serta Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura K Shanmugam, serta disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
”Pemerintah akan mendorong percepatan proses ratifikasi dan kami percaya bahwa seluruh pihak terkait akan memiliki pandangan yang sama, mengingat besarnya manfaat yang akan kita peroleh dalam upaya mengejar pelaku tindak pidana,” ungkap Yasonna, Rabu (2/2/2022), di Jakarta.
Baca juga:Ruang Gerak Koruptor Semakin Dipersempit
Yasonna mengatakan, selama ini upaya pemerintah memulangkan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura ataupun transit di Singapura kerap kandas karena tidak adanya perjanjian bilateral antara kedua negara. Dengan adanya perjanjian ekstradisi ini, kedua negara memiliki landasan hukum yang disepakati bersama.
Sebab, perjanjian ini mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana melakukan suatu tindak pidana di suatu negara tertentu, yang melarikan diri ke negara lain. Negara yang terikat oleh perjanjian ekstradisi itu dapat meminta penyerahan tersangka atau terpidana itu kepada negara mitra yang juga telah meneken perjanjian tersebut.
Dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi juga telah diatur. Sesuai hasil kesepakatan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi.
Baca juga: Ekstradisi Harus Diiringi Kemauan
Tidak hanya itu, perjanjian ini juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan.
Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana. Tentunya, kami selaku central authority dari ekstradisi akan memberikan upaya terbaik untuk membantu menangani permohonan yang disampaikan. (Yasonna Laoly)
Selain itu, dengan memanfaatkan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun, ekstradisi masih dapat dimohonkan untuk mereka yang melakukan tindak pidana tersebut di masa lampau.
”Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana. Tentunya, kami selaku central authority dari ekstradisi akan memberikan upaya terbaik untuk membantu menangani permohonan yang disampaikan,” ujar Yasonna.
Singapura merupakan negara yang cukup selektif dalam membentuk perjanjian bilateral terkait ekstradisi. Walaupun Indonesia dan Singapura sama-sama merupakan anggota dari beberapa konvensi internasional, selama ini ekstradisi belum dapat dilakukan karena syarat utama ekstradisi dalam hukum nasional Singapura adalah adanya perjanjian bilateral.
Baca juga: Setelah Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Ditandatangani...
Oleh sebab itu, Yasonna meyakini perjanjian ini adalah awal dari babak baru dalam penegakan hukum Indonesia. Lebih lanjut, salah satu pengarah dalam Satgas BLBI ini juga menjelaskan, penegak hukum dapat memanfaatkan perjanjian ini untuk mengejar obligor dan debitor yang mengalihkan aset jaminan BLBI.
Pemerintah saat ini berupaya memulihkan kerugian negara akibat BLBI dengan melakukan eksekusi aset yang menjadi jaminan. Namun, proses eksekusi tersebut mengalami hambatan karena banyaknya aset yang telah mengalami peralihan kepemilikan. Oleh karena itu, masa retroaktif selama 18 tahun ini sudah dapat memfasilitasi kebutuhan untuk menjerat mereka.
”Pemerintah tentunya memiliki berbagai pertimbangan dan telah melakukan inventarisasi kepentingan dalam melakukan negosiasi untuk mengubah masa retroaktif menjadi 18 tahun,” kata Yasonna.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani berharap perjanjian ekstradisi ini dapat meningkatkan penegakan hukum di Indonesia. ”Tentunya perjanjian ini akan membantu para penegak hukum menjalankan tugas-tugasnya, khususnya dalam kasus-kasus transnasional. Ini pencapaian yang baik, apalagi perjanjian ekstradisi tersebut memiliki masa retroaktif selama 18 tahun ke belakang,” papar Puan.
Selain soal ekstradisi, ada dua kesepakatan lain yang dilakukan Indonesia. Pertama adalah mengenai penyesuaian pengelolaan ruang udara Indonesia yang selama ini dipegang Singapura atau flight information region (FIR) di atas wilayah Kepulauan Riau (Kepri) dan sekitarnya.
Salah satu poin kesepakatan seputar FIR disebut masih mengizinkan Singapura mengelola ruang udara di wilayah tersebut. Puan meminta pemerintah memberikan penjelasan yang lebih komprehensif kepada publik. ”Harus ada penjelasan yang lebih mendalam sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya.
Terbuka
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, perdebatan terkait untung ruginya kesepakatan penyesuaian pelayanan ruang udara (realignmentflight information region) antara Pemerintah Indonesia dan Singapura yang terus bergulir di media perlu disikapi pemerintah dengan bersikap transparan menjelaskan detail isi kesepakatan yang telah ditandatangani.
”Kesepakatan yang dibuat dengan negara lain termasuk dalam kategori kebijakan publik karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan juga menyangkut kedaulatan negara. Maka dokumen kesepakatan baik terkait ekstradisi, pelayanan ruang udara, dan kerja sama pertahanan yang telah ditandatangani wajib untuk dapat diakses oleh publik. Sejauh ini yang beredar adalah penjelasan poin-poin kesepakatan, bukan dalam bentuk dokumen resmi yang telah ditandatangani,” katanya.
Menurut anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS itu, wilayah Kepulauan Natuna dan Kepulauan Riau sangat strategis bagi Indonesia. Publik berharap kedaulatannya baik di darat, laut, maupun udara dalam ruang kendali pihak Indonesia.
”Berdasarkan kesepakatan yang termaktub dalam UNCLOS III 1982 dan Konvensi Chicago 1944, kedaulatan negara di ruang udara di atas teritorinya adalah bersifat eksklusif. Artinya, ruang udara di atas wilayah kepulauan Natuna dan Riau adalah kedaulatan Indonesia. Jika mendasarkan klaim ini, mestinya pengelolaan FIR di wilayah tersebut dikelola oleh Indonesia,” katanya.
Menurut Sukamta, jika pemerintah saat ini sudah memiliki kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang navigasi serta teknologi keselamatan penerbangan, semestinya negosiasi untuk mendapatkan ruang udara di atas wilayah kepulauan Natuna dan Riau akan lebih kuat.
”Saya menduga poin-poin kesepakatan terkait FIR terasa tidak banyak perubahan dibanding kesepakatan lama, seperti terkait pengelolan ruang udara pada ketinggian 0 sampai 37.000 kaki masih menjadi kewenangan Singapura. Ini karena daya tawar Indonesia tidak cukup kuat. Indonesia sejauh ini belum bisa masuk anggota ICAO (International Civil Aviation Organization) kategori III, sementara Singapura sudah pada Kategori II,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Sukamta berharap dokumen MOU bisa diakses oleh publik sehingga semua pihak dapat memberikan penilaian yang obyektif terhadap poin-poin kesepatan yang telah ditandatangani.