Siapkan Kekuatan Udara Hadapi Perang Generasi Kelima
TNI Angkatan Udara menghadapi ancaman perang generasi kelima yang bertumpu pada ancaman nonkinetik. Hal itu mewujud dalam bentuk disrupsi energi, sosial, dan ekonomi, bahkan disinformasi. Perlu diantisipasi dengan baik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perang generasi kelima yang terjadi secara asimetris di berbagai domain menjadi tantangan utama pertahanan udara. Tersisa waktu sekitar 10 tahun bagi TNI Angkatan Udara untuk mengubah manajemen pertempuran sebelum teknologi perang masa depan itu benar-benar mapan di seluruh dunia. Untuk itu, diperlukan investasi dalam teknologi dan sumber daya manusia yang simultan tanpa mendahulukan yang satu ketimbang yang lainnya.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo diJakarta, Rabu (30/3/2022), mengatakan, kekuatan udara yang dibangun sejak awal abad ke-20 telah berevolusi sedemikian rupa dan menjelma sebagai penentu dalam pertempuran masa depan. Dimulai dengan penerbangan pesawat kayu berbalut kain hingga pesawat modern berteknologi mutakhir, saat ini kekuatan udara sudah memasuki domain antariksa. Sejumlah negara di dunia, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia, juga membentuk organisasi baru dalam untuk memanfaatkan domain tersebut.
Pertempuran masa depan yang dimaksud, kata Fadjar, merujuk pada konsep perang generasi kelima yang bertumpu pada berbagai ancaman nonkinetik. Hal itu mewujud dalam bentuk disrupsi energi, sosial, dan ekonomi, bahkan disinformasi. Serangan yang digencarkan bukan dalam bentuk konvensional menggunakan berbagai senjata, melainkan serangan siber dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan sistem otonom (autonomous system).
Konsep ini juga melahirkan sejumlah elemen peperangan baru yang nantinya menjadi kapabilitas dalam kompetisi keunggulan militer. Mulai dari cara berpikir network sentris (network-centric thinking), konstruksi pertempuran awan (cloud combat constructs), pertempuran lintas domain (multi-domain battle), dan perang gabungan (fusion warfare).
”TNI AU harus menyikapi tantangan tersebut dengan membangun kekuatan udara yang mampu mendayagunakan integrasi data dan konektivitas,” kata Fadjar saat membuka seminar bertajuk ”Pembangunan Kekuatan Udara Nasional untuk Menghadapi Ancaman pada Era Perang Generasi ke-5”, di Puri Ardhya Garini, Jakarta.
Ia melanjutkan, untuk menghadapi tantangan perang generasi kelima dibutuhkan lebih dari sekadar akuisisi platform generasi terbaru. Oleh karena itu, pihaknya memulai transformasi TNI AU dengan investasi jangka panjang pada sektor teknologi dan intelektualitas sumber daya manusia (SDM).
Dalam konteks pembangunan SDM, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah mencontohkan, pendidikan secara internal diselenggarakan untuk semua level prajurit, baik tamtama, bintara, maupun perwira. TNI AU juga mengirimkan sejumlah perwira ke luar negeri untuk mendapat pendidikan magister dan doktoral di sejumlah bidang yang belum bisa didapatkan secara optimal di Indonesia. Salah satunya ke National Test Pilot School di Amerika Serikat.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto yang turut hadir sebagai pembicara mengatakan, perang generasi kelima menuntut perubahan dalam manajemen pertempuran udara. Tidak hanya Indonesia, sebagian besar AU di seluruh dunia juga tengah berjibaku untuk meningkatkan level manajemen pertempuran yang umumnya masih berada pada generasi ketiga atau mengacu pada sistem perang yang terjadi pada dekade 1990-an.
Manajemen itu masih terkait dengan penggunaan teknologi sensor dan radar yang ada di pesawat tempur, memandu pesawat menggunakan satelit atau pesawat surveilans.
Sementara itu, dalam konteks perang generasi kelima yang terjadi pada lintas domain, yakni darat, laut, udara, antariksa, dan ruang siber, dibutuhkan superioritas pertempuran (battle superiority) dan kecepatan pengambilan keputusan dalam semua lini pertempuran tersebut. Manajemen perlu menggabungkan manusia dengan seluruh sistem dan domain yang sarat dengan penggunaan teknologi canggih. Untuk menerapkannya, TNI AU juga tidak bisa memilih untuk memprioritaskan salah satu bidang terlebih dahulu, semuanya harus dilakukan secara simultan.
Menurut Andi, masih ada waktu untuk mempersiapkan itu semua. Sebab, teknologi perang generasi kelima diprediksi akan digunakan secara matang pada kurun waktu 2032-2037. ”Kita punya waktu sekitar 10 tahun atau tiga renstra (rencana strategis) untuk berevolusi menuju manajemen pertempuran generasi kelima yang memungkinkan untuk memproyeksikan kekuatan yang relevan dengan perang generasi kelima,” kata Andi.
Dalam mempersiapkan hal itu, tambahnya, ada sejumlah tren global yang perlu diperhatikan, di antaranya perkembangan teknologi di Amerika Serikat sebagai negara dengan budget pertahanan tertinggi di dunia, perkembangan jet tempur, evolusi pesawat pengebom (bomber), tren antikapal selam, dan penggunaan pesawat nirawak (unmanned aerial vehicle/UAV). Terkait penggunaan pesawat nirawak, hal itu bisa diperhatikan dalam serangan Rusia ke Ukraina beberapa hari lalu.
”UAV itu memperlihatkan battle superiority karena sudah kombinasi lintas domain yang menjadi indikasi awal manajemen pertempuran udara generasi kelima,” ujar Andi.
Sesuai kebutuhan
Panglima Komando Operasi Udara III Marsekal Muda Samsul Rizal menambahkan, pembangunan kekuatan tempur udara ke depan juga harus disesuaikan dengan potensi ancaman yang paling mungkin dihadapi TNI AU. Salah satunya adalah operasi udara dalam mengatasi konflik di wilayah regional.
Pemilihan teknologi juga hendaknya memperhitungkan potensi ancaman setidaknya selama 20 tahun ke depan. Dalam kurun waktu tersebut, diperkirakan penggunaan pesawat nirawak akan semakin masif, begitu juga dengan pesawat tempur generasi kelima dan keenam, sistem senjata hipersonik di darat, laut, dan udara, serta serangan awan juga akan terus terjadi.
Samsul menggarisbawahi, meski harus memenuhi tuntutan zaman, pemenuhan teknologi perang generasi kelima tak serta merta harus berorientasi pada senjata mahal karena belum tentu berguna. Perang masa depan kemungkinan juga akan menjadi jauh lebih murah dengan kehadiran teknologi nano yang bisa menyiapkan pasukan penyerang tidak berawak dan berukuran kecil.
”Kita harus cerdas dalam memilih teknologi yang paling bermanfaat, efektif, dan efisien,” katanya.
Oleh karena itu, pembangunan SDM, baik dalam ranah penelitian, perencanaan, operator, maupun pemeliharaan teknologi, menjadi kunci pembangunan kekuatan tempur jangka panjang. Pembangunan infrastruktur berbasis teknologi tinggi juga perlu dilakukan tanpa kesalahan.
”Kemandirian teknologi juga harus segera dirintis oleh pemerintah dalam mempersiapkan kekuatan tempur udara yang modern, karena tanpa kemandirian teknologi, maka kemahalan harga yang harus dibayar akan semakin tak bisa diatasi,” ujar Samsul.