Ancaman terhadap Postur Pertahanan RI akibat Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina berakibat langsung pada kekuatan pertahanan Indonesia. Tidak saja kekurangan senjata, pesawat tempur Sukhoi terancam tak bisa dioperasionalkan.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·4 menit baca
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menemui Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Kamis (7/4/2022) dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Jumat (8/4/2022). Bisa diduga, sebagian pembicaraan mereka terkait serangan Rusia ke Ukraina yang juga membuat postur pertahanan Indonesia babak belur.
Pasca-embargo senjata di pengujung Orde Baru, Indonesia berupaya untuk tidak tergantung sepenuhnya pada AS dan sekutunya. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat tahun 1980-2000, lima besar dari 17 importir senjata adalah Jerman, Inggris, AS, Belanda, dan Perancis yang memasok 87,5 persen impor senjata ke Indonesia. Tahun 2001-2021 terlihat ada perubahan, yaitu lima besar importir dari 26 negara adalah Korea Selatan, Rusia, Belanda, AS, dan Inggris yang memasok 69,3 persen.
Postur pertahanan RI terancam oleh berbagai masalah. Yang pertama, baik Ukraina dan Rusia akan mengerahkan sumber dayanya untuk perang ini. Akibatnya, suku cadang, jasa perawatan dan pemeliharaan untuk negara-negara pengguna alutsistanya jadi terbengkalai. Fasilitas serupa otomatis tak bisa diberikan oleh negara sekutu Ukraina ataupun Rusia.
Bagi Indonesia, yang paling terkena dampak adalah persenjataan dan suku cadang Sukhoi, amunisi kaliber besar, dan rudal. Daftarnya sebenarnya panjang.
Dari Ukraina, Indonesia mengimpor rudal R-27 R/T untuk Sukhoi dan armored personal carrier (APC) Kozak-2M. Dari Belarusia, diimpor amunisi kaliber besar, sistem antitank dan pertahanan udara. Sementara dari Rusia, berturut-turut 16 Sukhoi Su-27S dan Su-30MK yang dioperasikan TNI AU, helikopter Mi-17 dan Mi-35P TNI AD, masing-masing dengan persenjataannya seperti rudal air to air R73 dan R77, serta rudal air to surface Kh29 dan Kh59 untuk Sukhoi dan rudal antitank untuk Mi35P. TNI AL juga menggunakan rudal Rusia, Yakhnot untuk kapal-kapal frigate. Sementara marinir sebagian besar menggunakan APC dan infantry fighting vehicle (IFV) buatan Rusia, yaitu BMP-3F.
Masalah kedua lebih pelik lagi, yaitu sanksi finansial. Sanksi finansial pada Rusia dan Belarusia membuat negara mana pun sulit berdagang dengan mereka. Perbankan asing dan lembaga-lembaga keuangan tentunya enggan memberikan pinjaman untuk pembelian militer dari kedua negara itu. Apalagi dengan adanya CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act). CAATSA adalah kewenangan AS menjatuhkan sanksi pada negara yang bekerja sama dengan beberapa negara seperti Rusia.
Alman Helvas Ali, dari konsultan alutsista PT Semar Sentinel mengatakan, CAATSA bisa juga diterapkan pada suku cadang. CAATSA menjadi salah satu penyebab pembelian pesawat tempur Sukhoi Su 35 yang sudah ditandatangani tahun 2018 tak jelas nasibnya hingga hari ini. Alman mencontohkan, ada alokasi pinjaman luar negeri 163,8 juta dollar AS untuk membeli empat jenis rudal untuk Sukhoi pada tahun 2021. Ia menduga, prosesnya akan terhenti karena CAATSA.
Kedua masalah ini tidak saja berefek pada pengadaan dan pemeliharaan, tetapi juga operasional. Seorang pilot Sukhoi TNI AU bercerita, rudal untuk pesawatnya punya masa kadaluwarsa dalam beberapa tahun mendatang, dan untuk bisa tetap digunakan, rudal-rudal itu harus diperiksa dan dirawat rutin oleh teknisi dan alat yang didatangkan dari Rusia. Hal ini dibenarkan Agus Setiadji, Ketua STIE Bisnis Indonesia (STIEBI) yang juga Sekjen Kementerian Pertahanan 2019-2020. ”Karakter operasional semua alutsista dari blok Rusia memang rata-rata masih bergantung pada negara asal,” kata Agus.
Masalah ketiga, hampir semua negara menahan alutsistanya, berjaga-jaga kalau terseret perang yang lebih besar. Tidak saja harga senjata jadi melesat tinggi, tetapi juga barang tidak ada di pasar. Contohnya, Belgia, Denmark, Belanda, Norwegia, Portugal, dan Yunani membatalkan niat melego pesawat tempur F16 bekas. Bahkan, Yunani yang tadinya akan menjual 12 pesawat F16 C/D blok 30 nya ke Indonesia mundur teratur.
Tidak terbang
Postur pertahanan udara Indonesia berhadapan pada situasi sulit. Kontrak pembelian enam pesawat Rafale yang diharapkan bisa datang mulai tahun 2023 belum efektif karena Indonesia belum menyetor uang muka. Saat ini, Indonesia hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 yang usianya sudah di atas 30 tahun dan 16 pesawat Sukhoi yang hampir 20 tahun. Itu pun, tidak semua dalam kondisi prima. Bisa-bisa, pesawat Sukhoi tidak punya senjata atau demi keamanan tidak dioperasikan dulu.
Untuk jangka menengah, Dosen Binus University Currie Maharani mengusulkan perubahan pemasok dari blok Rusia ke negara-negara lain yang independen. ”Untuk jangka pendek, Kementerian Pertahanan perlu buat pemetaan negara-negara mana saja yang pernah terima transfer teknologi dari Rusia,” kata Currie.
Dibutuhkan pemerintah yang piawai dan solid agar Indonesia bisa memainkan kartu-kartunya untuk mendapatkan daya ungkit yang memadai. Untuk jangka panjang, tidak ada jalan lain selain industri pertahanan dalam negeri yang kuat.