Stop Politik Identitas untuk Hentikan Spiral Kekerasan
Pascakekerasan terhadap pengajar Universitas Indonesia, Ade Armando, elite politik harus memberikan contoh baik untuk menghentikan spiral kekerasan tanpa ujung akibat polarisasi dan politik identitas sejak Pilpres 2014.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elite politik harus memberikan contoh baik untuk menghentikan spiral kekerasan tanpa ujung sebagaimana tergambarkan dalam kekerasan yang menimpa Ade Armando. Spiral kekerasan yang muncul akibat wacana polarisasi yang ditumbuhkan elite politik melalui politisasi identitas tidak mudah dihilangkan kendati kontestasi itu telah usai.
Peristiwa kekerasan yang terjadi pada pengajar Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, mencederai rasa kemanusiaan. Penegak hukum diminta segera mengungkap pelaku kekerasan terhadap Ade, yang disinyalir bukan berasal dari kalangan mahasiswa, melainkan kelompok yang menumpang dalam aksi mahasiswa, Senin (11/4/2022), di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Kendati demikian, kekerasan yang dialami oleh Ade dapat dirunut ke belakang sebagai suatu peristiwa yang tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari spiral kekerasan yang tidak berujung. Politik identitas yang menempatkan masyarakat dalam dua kubu yang terbelah dalam kontestasi politik sejak Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019 bermanifestasi dalam segitiga kekerasan yang saling terkait.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, dalam teori konflik sosial dikenal adanya segitiga kekerasan. Tiga sudut segitiga itu meliputi kekerasan verbal atau kultural, kekerasan struktural, dan kekerasan langsung. Ketika sudut kekerasan verbal atau kultural itu bertemu dengan kekerasan struktural, kekerasan langsung itu hanya tinggal menunggu waktu untuk terjadi.
Teori konflik sosial dikenal adanya segitiga kekerasan. Tiga sudut segitiga itu meliputi kekerasan verbal atau kultural, kekerasan struktural, dan kekerasan langsung. Ketika sudut kekerasan verbal atau kultural itu bertemu dengan kekerasan struktural, kekerasan langsung itu hanya tinggal menunggu waktu untuk terjadi.
Apa yang terjadi pada Ade Armando, menurut Wijayanto, adalah kekerasan langsung sebagai efek dari bertemunya dua kekerasan lain sebelumnya, yakni kekerasan verbal/kultural dan kekerasan struktural. Selama bertahun-tahun, sudut-sudut kekerasan itu ditajamkan dalam berbagai kontestasi elektoral demi meraih suara publik. Akibatnya, kekerasan itu lama-kelamaan bermanifestasi dalam bentuknya yang paling nyata, yakni kekerasan langsung.
”Selama bertahun-tahun, kita hidup dalam polarisasi masyarakat, di mana satu sama lain melontarkan kekerasan verbal/kultural. Julukan kadrun (kadal gurun), cebong, dan kampret muncul di media sosial dan percakapan masyarakat. Itu, kan, suatu sikap yang mendehumanisasi satu sama lain, sebab itu panggilan binatang, bukan manusia,” katanya, Selasa (12/4/2022), di Jakarta.
Kekerasan verbal itu terus terjadi dan berulang di media sosial. Di tengah situasi yang demikian, muncul kekerasan struktural berupa kebijakan-kebijakan politik yang memicu ketimpangan ekonomi, sosial, dan menguntungkan segelintir kelompok, serta menguatkan penguasaan oligarki dalam kehidupan sosial-politik. Kekerasan struktural ini termasuk juga kemiskinan, yang memicu keresahan sosial.
Saat kekerasan struktural itu bertemu dengan sentimen kekerasan verbal yang mengental, kekerasan langsung hanyalah tinggal menunggu waktu.
”Saya menyayangkan kekerasan apa pun, termasuk kekerasan langsung yang terjadi pada Ade. Namun, untuk mengurai ini harus pula disadari adanya kekerasan kultural yang lebih dulu ada dan kekerasan struktural. Selama bertahun-tahun, kekerasan kultural disulut karena polarisasi politik yang dibalut ujaran kebencian, dan ini harus dibayar dengan sangat mahal,” ucapnya.
Untuk mengatasi spiral kekerasan ini, menurut Wijayanto, politik identitas yang dibalut dengan ujaran kebencian harus dihentikan oleh elite politik. Jangan lagi politik identitas digunakan untuk menggerakkan atau memobilisasi massa dan pemilih untuk datang ke bilik suara.
Saya menyayangkan kekerasan apa pun, termasuk kekerasan langsung yang terjadi pada Ade. Namun, untuk mengurai ini harus pula disadari adanya kekerasan kultural yang lebih dulu ada dan kekerasan struktural. Selama bertahun-tahun, kekerasan kultural disulut karena polarisasi politik yang dibalut ujaran kebencian, dan ini harus dibayar dengan sangat mahal.
Kedua, mewaspadai penggunaan pendengung (buzzer) politik yang secara empirik menampilkan bahasa yang agitatif dan bahkan menunjukkan premanisme digital. ”Bahasa mereka menghakimi orang lain dengan kadrun untuk merujuk pada orang yang beragama dengan corak yang kearab-araban. Selain itu, ada istilah cebong dan kampret. Ini merupakan kekerasan dalam bentuk verbal atau kultural,” katanya.
LP3ES pernah melakukan kajian mengenai fenomena buzzer, influencer, dan akun-akun anonim, antara lain dengan pendekatan etnografi. Dari kajian LP3ES melalui wawancara, sebagian dari mereka mengaku menerima bayaran dari pihak-pihak lain, seperti politisi, pebisnis, bahkan partai politik. Untuk kasus tertentu, seperti isu new normal, berasal dari pemerintah.
LP3ES juga melakukan pendekatan etnografi digital dengan menggali observasi interaksi di media digital. ”Yang kami temui ialah bahasa buzzer itu violence, dan biasanya semakin anonim akan semakin keras bahasa yang dia gunakan, seperti bahasa-bahasa ultranasionalisme dan fanatisme agama yang dipakai,” ungkap Wijayanto.
Kembali ke elite
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, spiral kekerasan ini selalu bermula dari elite politik sehingga untuk memutus juga harus dimulai dari perubahan sikap elite politik. Upaya-upaya untuk kian mendekatkan kurva masyarakat yang ada di ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri harus dilakukan sehingga jejaring kelompok moderat yang dominan di tengah dapat mendekati keduanya.
Dalam peristiwa kekerasan terhadap Ade, misalnya, harus diakui beberapa orang bersikap permisif dan menilai itu suatu ”karma” yang harus ditanggung korban. Sikap itu muncul karena didasarkan pada sikap politik mereka.
”Bagaimana peristiwa ini agar tidak berulang. Yang paling utama ialah menghentikan praktik politisasi identitas. Kalau kita berkaca pada pemilu terakhir, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama menggunakan identitas sebagai instrumen politik,” ucapnya.
Akan menjadi percuma jika masyarakat terus-terusan yang diyakinkan, sementara elite sendiri justru memproduksi berbagai macam kontroversi yang membuat orang marah dan membuat orang tetap terbelah.
Elite politik harus memperagakan politik yang kondusif bagi penyatuan masyarakat. Hal itu hanya mungkin dilakukan jika elite politik yang memulainya dan menghentikan politisasi identitas.
”Akan menjadi percuma jika masyarakat terus-terusan yang diyakinkan, sementara elite sendiri justru memproduksi berbagai macam kontroversi yang membuat orang marah dan membuat orang tetap terbelah,” ucap Ismail.
Kendati demikian, Wijayanto dan Ismail mengingatkan, kekerasan terhadap Ade jangan sampai mengaburkan substansi yang dibawa dalam perjuangan dan aksi mahasiswa, yakni demokratisasi. Mahasiswa bergerak untuk menolak isu penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan, dan presiden tiga periode, serta meminta perhatian atas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Kekerasan terhadap Ade diyakini tidak dilakukan oleh mahasiswa, melainkan oleh ”penumpang gelap” yang mencoba melakukan pembusukan untuk merusak kredibilitas gerakan mahasiswa.
”Kasus AA hendaknya tidak membuat kita lupa hal penting bahwa gerakan ini awalnya dilatarbelakangi oleh kehendak penundaan pemilu dari elite, yang sudah disampaikan secara eksplisit oleh beberapa ketua umum partai. Dan para ketua umum itu menyampaikan bahwa ada orang dalam istana yang meminta mereka,” kata Wijayanto.