Belum Disahkan, RKUHP Sudah Dipertimbangkan untuk Diuji ke MK
Pemerintah dan DPR sepakat untuk langsung melanjutkan pembahasan RKUHP ke tingkat II, yakni pengesahan di paripurna. Padahal, masyarakat sipil melihat masih banyak pasal yang problematik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan dan penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana selama hampir tiga tahun ternyata tidak juga berhasil memberikan rumusan pasal-pasal yang sepenuhnya diterima oleh publik. Karena itu, meski saat ini belum disahkan, Aliansi Nasional Reformasi KUHP sudah bersiap untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Sejumlah pasal dalam RKUHP yang telah diperbaiki pemerintah dianggap masih problematik dan menyisakan persoalan di benak publik. Beberapa pasal yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, kini dihidupkan atau diatur kembali di dalam RKUHP sekalipun dengan reformulasi norma yang berbeda.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rachmawati mengatakan, dengan telah dicapainya kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meneruskan pembahasan ke tingkat selanjutnya, yakni paripurna, pembahasan kembali poin-poin krusial di dalam RKUHP itu kian sulit dilakukan. Padahal, masih ada sejumlah pasal-pasal yang perlu untuk dielaborasi lebih jauh, setidaknya pada poin-poin yang dipersoalkan oleh publik.
”Makin sulit sekalipun kami sudah berusaha menyuarakan terus. Ini tampaknya telah ada kesepakatan awal antara pemerintah dan DPR,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/5/2022).
Menurut Maidina, saat ini Aliansi Nasional Reformasi KUHP, di mana ICJR termasuk di dalamnya, sedang menyiapkan beberapa kajian terhadap pasal-pasal tertentu untuk dibawa ke MK. Pengujian akan dilakukan setelah RKUHP disahkan menjadi UU.
”Hal yang pasti kami akan mengajukan judicial review pada pasal-pasal yang sudah pernah dihapus oleh MK. Misalnya, penghinaan presiden, penghinaan pemerintah, serta pasal-pasal sejenis, seperti penghinaan badan negara,” katanya.
Dimintai konfirmasi mengenai mekanisme pembahasan RKUHP yang merupakan RUU carry over (operan) dari periode DPR sebelumnya (2014-2019), Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, pembahasannya tidak harus dari nol.
Hal yang pasti kami akan mengajukan ”judicial review ” pada pasal-pasal yang sudah pernah dihapus oleh MK. Misalnya, penghinaan presiden, penghinaan pemerintah, serta pasal-pasal sejenis, seperti penghinaan badan negara
”Bisa dilanjutkan untuk langsung disahkan ataupun dibahas sedikit pun boleh. Artinya, tidak perlu ada surpres baru, tidak perlu dari nol lagi,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan tersebut.
14 poin krusial
Dalam rapat Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan HAM, 25 Mei lalu, telah disepakati dua RUU carry over, yakni RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan, tidak perlu dibahas ulang. Kedua RUU itu disepakati untuk langsung diajukan ke paripurna untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan.
Alasannya, pembahasan tingkat I kedua RUU itu sudah selesai dilakukan pada 2019. Namun, pembahasan tidak dilanjutkan ke tingkat II karena muncul penolakan dan demonstrasi besar-besaran terhadap pengesahan RUU tersebut. Pembentuk UU sepakat untuk menunda pembahasan tingkat II, yakni pengesahan di dalam Rapat Paripurna DPR. DPR kemudian meminta pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada publik terkait dengan sejumlah ketentuan di RUU KUHP yang memicu pro dan kontra. Sejumlah pasal juga kemudian diperbaiki dan disempurnakan oleh pemerintah.
Dalam rapat kerja 25 Mei lalu, DPR menerima dan menyetujui laporan dari pemerintah mengenai sosialisasi 14 poin krusial dalam RKUHP. Dari 14 poin itu, dua poin di antaranya dihapuskan, yakni mengenai pemidanaan terhadap praktik kedokteran gigi yang tidak berizin dan ketentuan mengenai advokat curang.
Adapun 12 poin lainnya tetap diatur dengan beberapa rumusan, di antaranya dilakukan perbaikan, dan sisanya tetap pada rumusan awal sesuai dengan usulan pemerintah. Poin-poin itu meliputi penjelasan mengenai living law (hukum adat), pidana mati sebagai pidana alternatif, penghinaan terhadap presiden menjadi delik aduan, pelarangan siaran langsung jalannya proses pengadilan, dan pengaturan penodaaan agama.
Selain itu, isu krusial lainnya ialah soal penganiayaan hewan, pengaturan penggelandangan agar tidak mengganggu ketertiban umum, pengaturan aborsi yang dikecualikan pada situasi kedaruratan medis atau korban pemerkosaan, perzinahan yang dapat dilaporkan oleh suami/istri ataupun anak atau orangtua, pengecualian pelaporan kohabitasi oleh kepala desa, dan pengaturan mengenai pemerkosaan di dalam perkawinan (marital rape).
Mengenai mekanisme carry over yang berjalan terhadap kedua RUU itu, Baidowi mengatakan, memang harus ada kesepakatan di antara pembentuk UU. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan jika dikehendaki adanya pembahasan terbatas pada poin-poin tertentu yang disepakati pemerintah dan DPR.
“Ya memang begitu. Artinya diberi peluang untuk tidak membahas dari nol. RUU carry over bisa langsung disahkan, atau bisa juga dibahas sebentar seperti RUU Minerba dan RUU Bea Materai, yang itu semua kan carry over,” kata Baidowi.
Abaikan transparansi
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, seharusnya kesempatan pembahasan terbatas dalam RUU carry over itu dimanfaatkan oleh pembentuk UU. Artinya, kedua RUU tersebut tidak perlu langsung dibawa ke pembahasan tingkat selanjutnya. Sebab, masih ada kepentingan untuk mendalami sejumlah pasal yang problematik.
Agil mengatakan, dengan langsung membawa kedua RUU itu ke pembahasan selanjutnya, pembentuk UU terlihat kurang serius dalam menerapkan prinsip transparansi dan keterbukaan dalam pembahasan legislasi. “Seharusnya ada proses yang dibuka kembali. Setelah mendengarkan laporan dari pemerintah, DPR dapat meminta kembali masukan dari masyarakat sipil atau publik terkait dengan kedua RUU itu, sehingga ada dinamika aspirasi dari publik yang berusaha dikonfirmasi oleh pembentuk UU,” katanya.
Namun, pada kenyataannya, dinamika pembahasan itu tidak terjadi. DPR langsung menerima dan menyetujui laporan sosialisasi pemerintah terhadap RKUHP dan membawanya ke pembahasan tingkat selanjutnya. Tidak ada lagi pembahasan poin per poin dari 14 poin krusial yang menjadi perhatian publik. Padahal, pada 2019 RUU itu ditunda pengesahannya karena ada keberatan dan penolakan dari publik.
“Ada potensi pelanggaran dalam aspek formil pembahasan RKUHP karena esensi keterbukaan dan partisipasi publik tidak secara sungguh-sungguh dilakukan oleh pembentuk UU,” kata Agil.