Buka Partisipasi Publik Bermakna dalam Pembahasan RKUHP di DPR
Kalangan masyarakat sipil mengungkap masih banyak persoalan krusial dalam RKUHP yang belum diperbaiki pemerintah. Oleh karena itu, partisipasi publik harus dibuka di DPR sebelum RKUHP disahkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana diharapkan tetap membuka ruang partisipasi publik yang bermakna. Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji formil UU Cipta Kerja telah menjelaskan secara rinci tentang arti partisipasi publik bermakna. Masyarakat sipil menilai, jika RKUHP mengabaikan prinsip itu, bisa cacat formil dan dibatalkan oleh MK.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej mengatakan, pemerintah bersama DPR segera menyelesaikan pembahasan RKUHP. Diperkirakan, pembentuk UU tinggal membutuhkan satu hingga dua kali rapat sebelum RKUHP disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. Pembahasan RKUHP akan dilanjutkan setelah Ketua DPR Puan Maharani berkirim surat kepada Presiden. Surat rencananya akan dikirimkan setelah rapat Badan Musyawarah DPR pada 20 Juni nanti, (Kompas, 15/6/2022).
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur saat dihubungi, Rabu (15/6/2022), berharap pembahasan RKUHP di DPR melibatkan partisipasi bermakna sesuai dengan putusan MK. Partisipasi bermakna yang tertuang dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu harus memenuhi tiga prasyarat, yakni hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik itu diterapkan terutama untuk kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap RUU yang sedang dibahas.
”Pemerintah dan DPR mengakui bahwa pasca-penolakan di berbagai tempat pada September 2019 lalu, masih banyak pasal bermasalah. Dari pantauan koalisi masyarakat sipil tak hanya di 14 isu krusial, tapi lebih banyak dari itu. Kalau perlu perbaikan, ya harus ada partisipasi publik bermakna,” kata Isnur.
Isnur menerangkan, seharusnya, setelah putusan MK tentang uji formil UU Cipta Kerja membuat pembentuk UU mengevaluasi diri. Jangan sampai, praktik pembuatan UU yang ugal-ugalan seperti UU Cipta Kerja dilanjutkan. Sebab, itu akan berdampak buruk pada masyarakat dan membuat kebijakan hukum kian semrawut. Padahal, semangat dari RKUHP adalah untuk membuat tatanan hukum baru bagi kehidupan bermasyarakat. Seharusnya, ada prinsip kehati-hatian dalam penyusunan agar tidak menyebabkan kerugian yang lebih besar.
”Artinya, masyarakat harus didengar pendapatnya, diterima masukannya dengan prinsip partisipasi bermakna tersebut. Bagaimana masyarakat mau terlibat jika tidak dibuka rapat dengar pendapat (RDP) di DPR,” jelas Isnur.
Membuka partisipasi masyarakat dalam RDP di DPR, lanjutnya, penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hasil penyisiran koalisi masyarakat sipil masih ada pasal antidemokrasi, misalnya di Pasal 240 RKUHP yang mengatur penghinaan terhadap pemerintah. Selain itu, juga Pasal 353 yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pasal ini dinilai bersifat karet karena definisinya sangat subyektif. Selain itu, juga bisa dipakai untuk membungkam kritik masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga negara.
”Jika pasal-pasal ini tetap dipertahankan, akan mengancam demokrasi dan masa depan hukum itu sendiri. Masyarakat tidak akan percaya pada hukum sehingga mereka tidak akan menghargai dan menjalankan hukum. Padahal, masyarakat adalah obyek yang diatur dalam hukum tersebut,” papar Isnur.
Sementara itu, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal mengatakan, pembentuk UU harus membuka ruang bagi partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat itu tidak terbatas pada 14 isu krusial yang sudah disampaikan oleh pemerintah. Seharusnya, pasal-pasal lain yang bermasalah di luar 14 isu krusial itu tetap dibahas ulang dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
”RKUHP ini kan menyangkut kehidupan sehari-hari, dan itu juga mengatur hubungan masyarakat dengan negara. Jika RKUHP langsung disahkan tanpa mendengar masukan dari masyarakat, akan banyak pasal yang mencederai prinsip demokrasi,” terang Nicky.
Senada dengan Isnur, Nicky juga menyisir masih banyak di luar 14 isu krusial yang dibahas oleh pemerintah, memuat pasal karet yang mengancam demokrasi. Misalnya, Pasal 273 RKUHP yang mengatur demonstrasi tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara bisa dipidana satu tahun penjara. Selain itu, juga Pasal 240 dan Pasal 353 yang mengatur penghinaan pemerintah dan lembaga negara atau kekuasaan umum. Pasal ini dinilai dapat membungkam kritik dan pengawasan publik terhadap jalannya pemerintahan.
”Sayangnya pasal-pasal bermasalah itu tidak masuk dalam 14 isu krusial yang sudah diperbaiki oleh pemerintah. Pasal-pasal itu juga tidak masuk dalam agenda sosialisasi di 12 kota hanya terbatas pada 14 isu krusial. Oleh karena itu, partisipasi publik harus dibuka di DPR sebelum pengesahan,” kata Nicky.
Jika tak ada partisipasi publik bermakna dalam pengesahan RKUHP itu, Nicky khawatir undang-undang itu akan cacat formil dan bisa dibatalkan jika diuji formil di MK.
Sayangnya, pasal-pasal bermasalah itu tidak masuk dalam 14 isu krusial yang sudah diperbaiki oleh pemerintah. Pasal-pasal itu juga tidak masuk dalam agenda sosialisasi di 12 kota, hanya terbatas pada 14 isu krusial. Oleh karena itu, partisipasi publik harus dibuka di DPR sebelum pengesahan
Sebelumnya, anggota Komisi III Arsul Sani juga mengatakan, pintu pembahasan RKUHP masih terbuka. Pembahasan terbatas pada poin-poin perubahan di RKUHP bisa ditempuh setelah pemerintah mengajukan kembali RKUHP dengan mekanisme RUU luncuran (carry over) dari DPR periode 2014-2019. Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini berpandangan keputusan rapat yang membahas RKUHP antara pemerintah dan Komisi III DPR pada 25 Mei lalu sama sekali tak menutup kemungkinan pembahasan kembali RKUHP. DPR akan melakukan klarifikasi atau pembicaraan kembali dengan pemerintah terkait dengan redaksional atau rumusan pasal dalam RKUHP. Namun, pembahasan tidak akan dilakukan dari awal lagi, (Kompas, 4 Juni 2022).
Sebelumnya, RKUHP sempat disetujui dan disahkan di tingkat pertama oleh pemerintah dan Komisi III DPR periode 2014-2019. Hanya saja, RKUHP batal dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk pengambilan keputusan tingkat kedua atau persetujuan pengesahan RUU menjadi UU karena unjuk rasa penolakan pengesahan RKUHP di sejumlah daerah pada September 2019. Pembahasan RKUHP lantas disepakati dilanjutkan pemerintah dan DPR 2019-2024.