Antisipasi Potensi Konflik Pascapengesahan Tiga RUU DOB Papua
Besok, pemerintah dan DPR dijadwalkan tetap mengesahkan tiga RUU daerah otonom baru di Papua. Pemekaran Papua berpotensi memicu konflik.
Oleh
IQBAL BASYARI, FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Di tengah pro dan kontra yang belum berakhir, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dijadwalkan tetap mengesahkan tiga rancangan undang-undang daerah otonom baru di Papua. Potensi konfik pascapengesahan harus diantisipasi agar implementasi pembentukan tiga provinsi baru itu berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Konsolidasi harus segera dilakukan agar kelompok yang sempat berbeda pendapat tidak berlarut dan bisa menerima keputusan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan akan dimintakan persetujuan pengesahan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (30/6/2022). Pengesahan itu dilakukan dua hari setelah persetujuan tingkat pertama antara Komisi II DPR dan pemerintah, Selasa (28/6).
Sekalipun sembilan fraksi di DPR, termasuk Komite I Dewan Perwakilan Daerah, tidak ada yang menolak pengesahan ketiga RUU tersebut, pembahasannya sempat memunculkan perbedaan pendapat dari masyarakat Papua. Majelis Rakyat Papua meminta pembahasan tiga RUU daerah otonom baru (DOB) dibahas setelah Mahkamah Konstitusi memutus uji materi UU Otonomi Khusus Papua.
Sementara dalam kunjungan kerja Komisi II DPR ke Papua akhir pekan lalu, muncul perbedaan dari kepala daerah di Provinsi Papua Tengah pendapat mengenai lokasi ibu kota provinsi. Dari delapan bupati, dua di antaranya, yakni Bupati Mimika dan Bupati Puncak, meminta agar ibu kota Papua Tengah ada di Timika. Sementara enam bupati lain sependapat dengan usulan Komisi II DPR yang menginginkan ibu kota berada di Nabire.
Komisi II DPR sempat meminta delapan kepala daerah tersebut bermusyawarah untuk menentukan ibu kota provinsi. Namun, pada akhirnya ibu kota Papua Tengah diputuskan tetap di Nabire sesuai dengan usulan awal karena tidak ada kesepakatan di antara para bupati tersebut. Sementara penolakan dari sejumlah tokoh adat agar Pegunungan Bintang tetap di Provinsi Papua akhirnya diputuskan sesuai dengan rencana awal bergabung dengan Provinsi Papua Pegunungan.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Faisal Ramadhani ketika ditemui di Jayapura pada Rabu (29/6/2022) membenarkan bahwa status keamanan di Mimika siaga satu seusai penetapan ibu kota Papua Tengah. Meskipun situasi disebut masih kondusif, ada sekitar 1.000 personel gabungan Polri dan TNI disiagakan untuk mengantisipasi gangguan keamanan di daerah tersebut.
”Hingga saat ini situasi di Mimika dan Pegunungan Bintang masih kondusif setelah putusan di DPR RI pada Selasa kemarin. Kami terus berupaya melaksanakan pendekatan persuasif dengan berbagai tokoh di kedua daerah ini,” ujar Faisal.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, DPR telah mendengarkan berbagai kelompok kepentingan dalam pembentukan tiga RUU DOB di Papua. Sebagian besar setuju dengan pemekaran, tetapi suara yang tidak setuju tetap didengar. Bahkan, Komisi II DPR pun datang ke Papua untuk mendegarkan masukan-masukan dari kepala daerah dan tokoh adat Papua.
Adanya sebagian kelompok yang berbeda pendapat dengan keputusan akhir yang dihasilkan, lanjut Saan, harus diselesaikan oleh pemerintah dengan melakukan konsolidasi. Pemerintah bersama kepala daerah dan tokoh adat yang sempat berbeda pendapat mesti dipertemukan agar semua pihak menerima keputusan yang dihasilkan dalam UU. Selain itu, Majelis Rakyat Papua yang sebagian mendukung pemekaran sebaiknya melakukan konsolidasi internal dengan seluruh MRP. ”Dari yang kami dapatkan selama pembahasan di DPR ataupun dalam kunjungan di Papua, umumnya sepakat dengan pemekaran,” ujar Saan.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengingatkan, potensi konflik pascapengesahan tiga RUU DOB Papua harus diantisipasi. Misalnya, problem penetapan ibu kota Papua Tengah yang sempat memunculkan dua pendapat harus dikawal agar semua kepala daerah yang menolak Nabire dijadikan ibu kota bisa menerima keputusan tersebut. Pemerintah pusat harus segera mengajak dialog dua kepala daerah yang mengusulkan Mimika sebagai ibu kota provinsi tersebut agar tidak memunculkan ibu kota ”kembar”.
Penerimaan dari semua kepala daerah, menurut dia, amat penting dalam mengimplementasikan pembangunan Nabire sebagai ibu kota Papua Tengah. Perbedaan pendapat ini mesti segera diakhiri agar kejadian pembentukan Provinsi Papua Tengah pada 1999 yang akhirnya gagal terbentuk salah satunya akibat perebutan ibu kota provinsi tidak terulang. Bahkan, jika penolakan ini tak kunjung berakhir, dikhawatirkan bisa mengganggu jalannya pemerintahan.
”Penjabat Gubernur dan sumber daya aparatur beserta fasilitas pendukung nantinya akan berada di ibu kota provinsi sehingga perbedaan pendapat sebaiknya segera diselesaikan melalui cara-cara yang bijak,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Djohermansyah, beberapa potensi konflik yang perlu di antisipasi ialah terkait batas wilayah, penyerahan aset, bantuan keuangan dari provinsi induk ke DOB, serta pembagian dana otonomi khusus. UU tiga DOB semestinya mengatur tentang dana otsus sehingga bisa langsung mendapatkan dana tersebut ketika UU diimplementasikan.
Di sisi lain, ia mengingatkan agar dana untuk DOB yang berasal dari transfer pemerintah pusat dan bantuan dari provinsi induk bisa segera dianggarkan sesuai dengan garis kebijakan yang direncanakan. Penjabat gubernur di tiga provinsi mesti segera ditetapkan agar bisa merencanakan kebutuhan anggaran sekaligus menyusun kebutuhan aparatur di DOB. Sebab, sebagai provinsi baru, ketiganya belum memiliki pendapatan daerah sehingga hanya mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat dan provinsi induk untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Mini.
”Kalau tidak disiapkan atau anggarannya kurang memadai, akan menurunkan kualitas pelayakan publik,” kata Djohermansyah.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Komarudin Watubun, mengatakan, pembiayaan untuk persiapan tiga DOB tidak menggunakan dana otsus, tetapi dari APBN. Sebab, dana otsus sudah ditentukan penggunaannya, antara lain untuk pendidikan, kesehatan, dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Oleh sebab itu, ia mengingatkan agar pemerintah mendukung penganggaran sehingga pembangunan fasilitas di tiga DOB Papua bisa segera dilaksanakan. Sebab, kegiatan pemerintahan di provinsi baru tidak akan berjalan maksimal jika tidak mendapat dukungan anggaran. Tata ruang dan tata wilayah pun mesti diatur dengan baik sejak awal. ”Begitu ketok palu dan ada penjabat gubernur, harus segera melakukan proses kegiatan pemerintahan,” ucapnya.
Komarudin menilai, pemekaran bukan satu-satunya solusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, melainkan menjadi salah satu solusi yang perlu dilakukan. Prosesnya pun sudah dimulai, bahkan, sejak 2002 hingga akhirnya terwujud 20 tahun kemudian. Adanya pro dan kontra pun dianggap wajar. Namun, ia menolak jika pemerintah dan DPR dinilai memaksakan kehendak sebab ada banyak kelompok pun yang mendukung pemekaran ini.
”Pemekaran bertujuan untuk peningkatan dan percepatan pembangunan, terutama bagi OAP, agar bisa mengejar ketertinggalan dari daerah lain,” katanya.